Seputar Batavia

Sejarah Jakarta tempo doeloe
Peta Ommelanden (sekitar Batavia)


Penutupan abad kedelapan belas menyaksikan terkoyaknya keamanan publik di Ommelanden Batavia. Gerombolan-gerombolan yang berkeliaran menyatroni kawasan itu, pembunuhan merajalela, mengacau ketertiban, dan pertempuran kecil-kecilan antar-kelompok etnis bahkan terjadi di tempat-tempat terpencil. Di Tangerang, di perbatasan dengan Banten, orang Cina dan Jawa bentrok, beberapa kampung dibakar, dan tak jauh dari situ, warga Belanda dan bekas heemraad Andries Teisseire dibunuh para bandit. Di sebelah timur Batavia, di Marunda, penduduk setempat bersekutu dengan pasukan Inggris. Pihak berwenang mengalami kesulitan besar untuk menghimpun keterangan intelijen tentang situasi saat itu dan memulihkan ketertiban. Bahkan sesudah 180 tahun kehadiran Belanda, sangat terasa bahwa kontrol Belanda atas Ommelanden sangat rapuh.
[ … ]
Pemukiman di Ommelanden muncul dari dua arah. Mula-mula, tentu saja, berlangsung eksplorasi dan pembudidayaan bertahap hutan-hutan di sekitar Batavia. Pada tahun 1620-an, orang Belanda dan Cina membersihkan lahan di luar tembok kota dan menanam kelapa. Eskpansi ini terutama mengarah ke selatan, di sepanjang Sungai Ciliwung. Sebelah timur dan barat kota tanahnya bergambut dan tidak cocok untuk bercocok tanam dan pemukiman hingga sistem drainase kanal dan parit menyingkirkan halangan-halangan paling buruk ini. Selain proses terkenal penggarapan lahan yang dilakukan para pengusaha kota itu, terjadi pula imigrasi dan pemukiman perlahan-lahan namun terus meningkat dari orang-orang Jawa, baik dari barat, dari wilayah Banten, maupun dari timur, provinsi-provinsi Mataram. Apa pun alasan politis atau ekonomi mereka, yang jelas para imigran terus mengalir, dan berbondong-bondong mendatangi wilayah yang dikontrol Kompeni di sekitar Batavia atau daerah tak bertuan di pegunungan di selatan Batavia. Walaupun Kompeni berusaha mengonsentrasikan orang Jawa di satu tempat, mereka memperlihatkan kecenderungan meningkat untuk menyebar ke segala penjuru pedalaman, menetap di tanah milik pribadi, atau di daerah-daerah tak bertuan yang jauh dari kota.
Baru sesudah tahun 1650 pihak berwenang menyatakan bertanggung jawab untuk mengarahkan, melindungi, dan membantu pembersihan tanah di Ommelanden. Fase campur tangan pemerintah ini dipicu oleh ancaman militer dari Banten, pertambahan penduduk Ommelanden, dan peningkatan konflik atas kepemilikan dan batas tanah. Sebuah langkah penting dilakukan pada tahun 1656–1657 berupa pembangunan enam benteng kecil sejauh satu hingga dua kilometer dari tembok kota. Sebuah badan terpisah, heemraden, dibentuk untuk mencatat hibah tanah dan mengelola jalan serta angkutan air.
Periode ini juga ditandai dengan dua pengembangan aturan yang sepenuhnya berbeda, yang akan mengubah secara dramatis penampilan Batavia. Salah satunya adalah keputusan pemerintah untuk melarang semua orang Jawa berada di dalam tembok kota dan mengonsentrasikan mereka di beberapa lokasi di Ommelanden, dipimpin oleh kepala kampung mereka masing-masing dan diawasi oleh seorang pejabat Eropa. Langkah ini menjadi model selama 150 tahun berikutnya, yang dalam kurun itu kehidupan Muslim nyaris disingkirkan dari dalam kota. Peristiwa lainnya, terjadi pada tahun 1656, adalah kedatangan rombongan pertama pasukan bantuan dari Kepulauan Ambon. Mereka ditundukkan oleh Panglima Arnout de Vlamingh van Outshoorn dan selanjutnya dimasukkan ke dalam dinas militer Kompeni. Sesekali mereka bertempur dalam ekspedisi militer besar-besaran Kompeni selama periode itu: Sailan, Sumatra, dan Sulawesi. Walaupun kebanyakan orang Ambon lebih sering bertugas di luar negeri ketimbang di Batavia, mereka diberi sebidang tanah di dekat Marunda, sebelah timur Batavia yang berbatasan dengan Karawang.
Orang-orang Ambon itu segera disusul oleh pasukan-pasukan lain, Makassar, Bugis, dan Bali yang diperlakukan sama seperti orang-orang Ambon. Hampir tanpa perkecualian, mereka diundang ke Batavia setelah dibujuk masuk dinas militer Kompeni selama berbagai ekspedisi militer di Kepulauan Ambon, di Sulawesi selatan, atau di Jawa. Dengan cara itu, Kompeni memastikan loyalitas kelompok-kelompok yang sebagian besar dahulu adalah musuhnya. Salah satu contoh terakhir prosedur ini adalah bangsawan Bali Gusti Ktut Bedahulu yang, setelah memerangi Kompeni di Jawa timur, menyerah kepada Belanda pada tahun 1708 dan dihadiahi sebidang tanah sebagai imbalan di Bacherachsgracht di sebelah barat kota. Menjadi tulang punggung sistem kampung, kelompok-kelompok militer itu diikuti dan segera dikalahkan jumlahnya oleh banyak budak yang dibebaskan yang menetap di Ommelanden, waktu berlalu dan pemerdekaan budak menjadi pemasok utama bagi komunitas kampung (kecuali orang Jawa, yang jarang terwakili dalam populasi budak, dan yang komunitasnya membesar hanya dengan imigrasi “bebas”).
Meningkatnya jumlah orang Jawa dan penduduk Indonesia lainnya setelah tahun 1656 menyodorkan beberapa problem bagi pihak berwenang, dan pemisahan tampaknya menawarkan solusi. Salah satu problem adalah dugaan ancaman terhadap ketertiban publik dari kelompok-kelompok tentara itu, juga kemungkinan bentrok antara berbagai kelompok tersebut. Problem lainnya adalah keengganan pemerintah untuk campur tangan dalam urusan-urusan pribumi atau dalam administrasi hukum pidana. Selanjutnya, diharapkan komunitas-komunitas itu bisa dimobilisasi dengan mudah apabila Kompeni membutuhkan tentara. Perlahan-lahan berkembang sebuah sistem untuk mengatur kelompok-kelompok yang baru tiba di Batavia; tetapi baru pada tahun 1686, ketika sebuah gardu jaga kota diserang bandit-bandit Bali, pemerintah memutuskan untuk menuntaskan persoalan kelompok-kelompok Indonesia, dan menerbitkan berbagai peraturan terperinci yang mencakupi seluruh komunitas di Ommelanden. Diangkatlah para kepala kampung yang memperoleh pangkat kapten. Mereka mendapat imbalan tanah untuk menopang hidup mereka dan menampung para pengikut mereka. Dengan cara ini berbagai komunitas dijauhkan dari dalam kota, menegakkan yurisdiksi sipil dalam komunitas masing-masing, mencukupi diri sendiri, dan mudah dimobilisasi dengan perantaraan para kepala kampung yang ditunjuk. Dengan demikian prinsip administratif kolonial pemerintahan tidak langsung dalam skala kecil tercermin di Ommelanden.
Kebijakan pemisahan berbagai komunitas Indonesia menyerupai, dan barangkali ditopang oleh, praktek yang lazim berlaku di kebanyakan kota bandar Asia Tenggara yaitu memberikan wilayah khusus bagi komunitas dagang asing dan menjamin kebebasan pelaksanaan yurisdiksi mereka sendiri. Berbagai prakarsa untuk mencapai tujuan serupa sesungguhnya juga dilakukan di Batavia pada tahun 1620-an dan 1630-an, dalam skala kecil, dan lambat laun semacam pemisahan sendiri terjadi di kalangan Mardijker (Kristen Asia), Cina, dan yang disebut Moor (Muslim India) di beberapa pinggiran kota. Tetapi pemisahan kelompok-kelompok Indonesia yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan bertolak belakang dengan proses pemisahan diri tersebut dalam ihwal keketatan aturan formalnya dan (sebagian) dalam tujuan-tujuannya. Pemisahan itu didasarkan pada pertimbangan kemanfaatan, dan pada saat bersamaan dimaksudkan untuk mengatasi persoalan keamanan publik di Ommelanden dan keruwetan administratif yang disebabkan oleh kehadiran kelompok-kelompok etnis yang sangat beragam itu.
Berbagai komunitas Indonesia tetap menjalankan fungsi militer mereka hingga akhir periode VOC. Bahkan pada tahun 1773 pemerintah mengharapkan para perwira Indonesia “[...] agar mereka selalu siaga dan bersedia ditugaskan dalam salah satu ekspedisi [...].” Sedikit demi sedikit perekrutan bahkan mencapai tugas di kapal-kapal Kompeni sewaktu Kompeni semakin kesulitan melengkapi kapal-kapal mereka dengan para pelaut dari Republik Belanda. Baru pada tahun 1780-an, ketika kekurangan tenaga kerja menjadi sangat gawat dan penduduk kampung-kampung Batavia makin enggan diikutsertakan, Kompeni berpaling ke sumber-sumber lain. Makin banyak orang yang direkrut di Madura, di sepanjang pantai utara Jawa, bahkan di wilayah-wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.

Dipetik dari Remco Raben, Seputar Batavia: Etnisitas dan otoritas di Ommelanden, 1650–1800, dalam Jakarta Batavia: esai sosio kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)