Kemerosotan VOC



Sejarah Jakarta - Batavia
Batavia VOC


Pada tahun 1733 sebuah penyakit mematikan tak dikenal mewabah di Batavia, markas besar Kompeni Hindia Belanda (VOC) di Asia. Angka kematian personelnya melonjak tajam dan menyebabkan kekurangan pelaut, tentara dan tukang. Makin banyak orang yang harus dikirim dari Belanda ke Batavia untuk menggantikan kehilangan besar itu. Akhirnya, kekurangan semakin menjadi-jadi hingga pos-pos militer tidak bisa diisi lagi, kapal yang hendak pulang tidak bisa diawaki, dan muatan berharga tertahan di Batavia. Ketidaksehatan kota itu, yang sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan kemakmuran koloni dan menghancurkan kepentingan dan keuangan Kompeni, tidak kunjung berlalu dan menelan lebih dari 85.000 jiwa personel VOC.
Tidak sehatnya Batavia” sesudah 1733 tetap diselimuti kabut selama berabad-abad: penyebabnya tidak pernah ditentukan, cakupannya tidak pernah dipastikan, dan konsekuensi-konsekuensinya tidak pernah diselidiki.
[ … ]
VOC adalah sebuah perusahaan dagang Belanda, didirikan untuk melakukan perdagangan di wilayah-wilayah yang disebut “IndiĆ«”. Ketika VOC didirikan pada tahun tahun 1602, Staten-Generaal mengeluarkan sebuah piagam yang menetapkan karakter dan struktur operasional perusahaan itu. Piagam yang tersohor itu memberi Kompeni monopoli perdagangan dan pelayaran di sebelah timur Tanjung Harapan dan di sebelah barat Tanjung Horn. Selain diberi wewenang berperang, melakukan perundingan dan membangun benteng serta pos-pos dagang atas nama Staten-Generaal, ia juga berwenang menjalankan otoritas sipil, yudisial dan militer di koloni-koloni Asia. Piagam itu menjadikan VOC sebagai senjata dalam perang melawan Spanyol dan Portugal selama Pergolakan Belanda (1567–1648) seperti yang kemudian terjadi pada Kompeni Hindia Barat.
VOC berkembang pesat menjadi sebuah perusahaan besar. Setiap tahun ia mempersiapkan sekitar tiga puluh armada kapal East Indiamen bersenjata dan merekrut tujuh ribu hingga delapan ribu orang untuk ditugaskan di Timur, terutama sebagai tentara, pelaut dan tukang. Pada mulanya perdagangan terkonsentrasi pada rempah-rempah, seperti merica, cengkeh, bunga pala, dan pala. Tetapi tidak lama berselang kain katun, porselen, kopi, teh dan sekitar dua puluh komoditas Oriental berlainan dikapalkan ke Belanda dalam jumlah besar. Dari sana barang-barang itu dijual ke seluruh Eropa pada lelang tahunan. Di Asia permintaan akan produk-produk Eropa sangat terbatas, sehingga barang-barang Oriental itu harus dibayar dengan perak atau emas.
Keseluruhan manajemen VOC berada di tangan Heeren XVII—sebuah komite beranggotakan tujuh belas wakil dari enam Kamar VOC (Amsterdam, Zeeland, Rotterdam, Delft, Hoorn, dan Enkhuizen). Masing-masing kamar mempunyai dewan direksi, galangan kapal, gudang, balai lelang, dan armada kapal sendiri. Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas VOC merupakan perusahaan terbesar di Belanda, juga perusahaan multinasional yang pertama.
Manajemen di Asia dipegang oleh dewan pengelola (Hoge Regering atau Pemerintah Tinggi) di Batavia. Dewan Hindia ini terdiri atas seorang gubernur jenderal dan enam penasihat, yang ditunjuk oleh Heeren XVII. Sekitar dua puluh koloni berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Tinggi. Koloni-koloni itu tersebar di seluruh wilayah yang termaktub dalam piagam, dari pesisir barat Sumatra hingga Kepulauan Maluku, dari pesisir India, Benggala dan Sri Lanka sampai Deshima di Jepang. VOC di Asia adalah organisasi besar dengan sebuah hierarki kompleks pegawai yang menyandang gelar seperti kepala saudagar, saudagar, saudagar muda, dan asisten. Organisasi itu juga memiliki kekuatan militer besar dan operasi maritim ekstensif lengkap dengan kapal dan doknya. Di samping itu, organisasi tersebut juga menguasai beberapa sektor seperti peradilan, pelayanan kesehatan, sekolah dan gereja. Pada abad kedelapan belas keseluruhan personel di Asia berjumlah 23.000, lebih dari 90 persen di antaranya berasal dari Eropa dan bertugas berdasarkan kontrak lima tahun (Lequin 1982: 349). Ada yang menandatangani kontrak beberapa kali dan sebagian memilih tinggal di Asia setelah kontrak mereka dengan VOC berakhir. Tetapi Asia adalah tempat yang tidak sehat bagi orang Eropa. Selama dua ratus tahun masa hidupnya, VOC mengapalkan 1.000.000 orang ke Timur; hanya 320.000 orang yang pulang.
Kemerosotan VOC bermula pada abad kedelapan belas dan dikaitkan dengan bermacam-macam faktor: mahalnya biaya pengapalan dan administrasi kewilayahan, birokrasi dan manajemen yang buruk, pembukuan yang kabur dan dividen yang kelewat tinggi, meningkatnya korupsi dan perdagangan pribadi yang dilakukan para pegawai Kompeni. Sesudah 1730, keuntungan anjlok dan utang membengkak. Apalagi setelah Perang Inggris-Belanda Keempat (1780–1784), kemerosotan meluncur makin cepat. Pada tahun 1795 Kompeni—berikut segala miliknya dan utang sebesar 120 juta gulden—dinasionalisasi Republik Batavia (Bataafsche Republiek, kini Belanda). Pada abad kesembilan belas, sebagai buah dari ekspansi teritorial dan perluasan kontrol Belanda, koloni-koloni VOC di Kepulauan IndiĆ« berkembang menjadi Hindia Timur Belanda (kini Indonesia).
[ ... ]
Bagi VOC, tidak sehatnya Batavia menyebabkan kekurangan personel yang kronis. Tingginya angka kematian di antara para pelaut di Batavia merupakan ancaman serius bagi perdagangan antara Asia dan Republik Belanda (Van der Brug 1994: 155), yang merupakan urat nadi Kompeni. VOC menutup kekurangan personel dengan merekrut banyak sekali pelaut dan tukang tambahan di Eropa untuk dipekerjakan di Timur.
Ketidaksehatan Batavia juga menimbulkan pembengkakan pengeluaran. Rata-rata hunian harian rumah-rumah sakit Kompeni meningkat dari 300 menjadi 1000 pegawai; tingkat hunian pada bulan Agustus pernah melonjak menjadi 1800. Pengeluaran rumah sakit membengkak hampir sepuluh kali lipat antara tahun 1733 dan 1754. Penggantian banyak pegawai yang sakit dengan personel pribumi dan Cina juga menyebabkan peningkatan biaya. Tetapi pengeluaran tertinggi jelas bersangkutan dengan ongkos mendatangkan personel tambahan dari Eropa guna mengatasi kekurangan personel di Batavia. Secara keseluruhan VOC merekrut 75.000 orang di Belanda antara 1733 dan 1795 yang – setelah perjalanan mahal selama delapan bulan – berakhir sekarat di Batavia tak lama sesudah mendarat (Van der Brug 1994: 151, 153). Juga terjadi kehilangan keuntungan ketika kapal yang hendak pulang berikut muatan berharganya harus tertahan di Batavia karena tidak ada awaknya.
Berkenaan dengan uang, ketidaksehatan Batavia menimbulkan peningkatan pengeluaran sebesar 900.000 gulden setahun, dan kehilangan keuntungan sebesar 300.000, untuk total kehilangan 1,2 juta gulden. Angka-angka ini didasarkan pada berbagai perkiraan, menggunakan data dari catatan pembukuan VOC dan dokumen-dokumen lain.
[ … ]
Problem paling penting yang menghadang VOC antara 1730 dan 1780, yakni keuntungan yang tidak memadai, tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan ketidaksehatan Batavia. Bagaimanapun, pengeluaran dan hilangnya kerugian karena ketidaksehatan mencapai 1,2 juta per tahun, dan itu lebih besar daripada rata-rata keuntungan tahunan VOC (di Nerderland dan Asia) sebesar 1 juta gulden. Tidak diragukan bahwa merosotnya keuntungan setelah 1730 sebagian disebabkan oleh meningkatnya persaingan dengan kongsi dagang lain, oleh korupsi dan perdagangan pribadi para pegawai Kompeni, dan oleh semua sebab lain yang disebutkan para sejarawan. Meski demikian, sesungguhnya jika Batavia sehat, keuntungan bersih yang diperoleh akan dua kali lebih tinggi: 2,2 juta gulden per tahun dalam dekade-dekade sebelum 1780. Dengan demikian keuntungan (keuntungan berupa persentase nilai komoditas yang diperdagangkan) tentunya akan mencapai 11 persen, bukan 5 persen. Pada masa kejayaan Kompeni selama abad ketujuh belas keuntungan yang dicapai adalah 15 persen. Sehingga cukup masuk akal menyatakan bahwa posisi keuangan VOC mestinya jauh lebih kuat sewaktu Perang Inggris-Belanda pecah kalau saja tidak ada tambak di daerah luar boom.
Kesimpulan pastinya adalah: malaise dan merosotnya Kompeni pada abad kedelapan belas dan kelemahan posisi keungannya menjelang Perang Inggris-Belanda Keempat (utang berbunga sebesar 25 juta gulden) sebagian besar buah dari ketidaksehatan Batavia sejak tahun 1733, disebabkan oleh sekitar satu kilometer persegi tambak pesisir.
Pada akhir Perang Inggris-Belanda Keempat (1780–1784), utang-utang VOC melonjak dari 25 juta gulden menjadi 50 juta gulden – sebuah situasi tanpa harapan, karena utang sebesar itu tidak bisa diselesaikan. Sekalipun begitu, berbagai operasi dimulai lagi pada tahun 1784, namun Kompeni tidak pernah bisa mendapatkan keuntungan lagi. Sesudah 1784, kerugian finansialnya begitu gawat – sekitar 7 juta gulden setiap tahun – hingga VOC tidak bisa lagi menghindari tangan pemerintah. Sebelas tahun kemudian, pada 1795, Kompeni diambil alih oleh Republik Batavia (kini Belanda), dan kepemilikan VOC di Kepulauan Hindia Timur menjadi landasan bagi koloni yang dikenal sebagai Hindia Timur Belanda (kini Republik Indonesia).

Dipetik dari Peter H. Van Der Brug, Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas, dalam Jakarta Batavia: esai sosio kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.

Sumber gambar:

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)