Pandangan Personal Penerjemah



Pandangan personal penerjemah

Saya orang Jawa. Lahir, besar, dan hidup di Jawa. Wajar jika, seperti anggapan yang umum dialamatkan kepada orang Jawa, boleh jadi saya menyimpan sentimen rasis terhadap orang Cina* Indonesia. Persoalan rasisme memang pelik. Kata Martin Jacques dalam, When China Rules The World, “Rasisme adalah subjek yang orang sering berusaha menghindarinya, dianggap terlalu tidak mengenakkan secara politis, sekadar menyebutkan keberadaannya saja sering mengundang reaksi amarah meledak-ledak dan penolakan mentah-mentah. Padahal rasisme sangat penting bagi wacana sebagian besar, kalau bukan  seluruh, masyarakat. Ia selalu mengintai di suatu tempat, kadang-kadang di permukaan, kadang-kadang di bawahnya. Ini juga tidak mengherankan. Manusia  memandang diri sehubungan dengan kelompok, dan perbedaan fisik adalah penanda yang jelas dan tegas dari berbagai kelompok. Sekadar untuk memudahkan saja jika orang menghubungkan karakteristik kultural dan mental dengan suatu kelompok berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik kasatmata: dengan kata lain, untuk merumuskan secara esensial perbedaan-perbedaan fisik itu, menambatkan budaya pada alam, untuk menyamakan kelompok-kelompok sosial dengan unit-unit biologis.
Yang tertanam dalam benak saya adalah: “Orang Cina itu hidupnya cuma untuk memburu uang. Lima rupiah pun akan mereka kejar meski tengah malam menembus gelap gulita perkebunan karet. Pelitnya minta ampun karena itu. Pokoknya, Paman Gober terlihat dermawanlah kalau disejajarkan dengan para singkek itu. Mereka, yang kaya, suka bersikap semau-mau terhadap pekerja mereka yang orang Jawa”, dan hal-hal serupa itu.
Pandangan komunal turun-temurun memang kuat tertanam. Tetapi bukan tidak bisa dilunakkan dengan pengalaman. Saya menyelesaikan sekolah menengah di Surakarta (Solo) yang, konon, sentimen anti-Cinanya cukup tinggi. Teman-teman saya anak Baluwarti dan sekitarnya sering bercerita betapa mereka sering melihat gadis-gadis Cina mengalami pelecehan seksual dan pemuda-pemudanya dipukuli tanpa alasan. Saya tidak gembira mendengar kisah-kisah tersebut. Mungkin itu pengaruh masa kecil saya di Parakan, Temanggung, yang masyarakat Jawanya menyebut orang-orang Cina dengan sapaan Koh dan Cik. Misalnya Cik Suat, pemilik salon kecil langganan ibu saya. Beberapa tetangga Cina saya bahkan disapa dengan nama-nama pembauran seperti Nyah Tebok, Nyah Urip, Bah Kedung. Meski ketika beranjak remaja saya tinggal di Ngawi di mana para pemilik toko Cina biasa disapa dengan nama saja seperti Siang Kim dan Ah Siong.
Bahwa sentimen rasial berpengaruh terhadap pandangan politik itu jelas. Bahwa pandangan politik berpengaruh dalam penerjemahan saya sering mendapati contohnya. Dahulu saya pernah membaca kalimat “Pemberontak Palestina itu mampus diterjang timah panas petugas keamanan Israael.” Kalau saya penerjemahnya, kalimat itu pasti berbunyi “Pejuang Palestina itu meninggal ditembak tentara Israel.” Sebab itu penerbitan untuk umum. Kalau menuruti kata hati saya, seperti penulis kalimat pertama tetapi di kubu seberang, yang tertulis adalah: “Pejuang Palestina itu gugur diberondong membabi-buta oleh begundal Israel.” Sikap tidak memperturutkan kata hati mengikuti pandangan politik saya mengalami ujian berat ketika harus menyunting (tetapi akhirnya menerjemahkan ulang, seperti biasa) buku Fascism karya Walter Laqueur. Sebisa mungkin saya menerjemahkan buku itu dengan kata-kata netral sambil menahan geram terhadap pandangan-pandangan Laqueur yang sangat menyudutkan umat Islam. Saya berhasil menyelesaikan pekerjaan sangat berat itu dengan sikap profesional. Meski sebagai Muslim saya girang bukan kepalang ketika direktur penerbitan yang mengorder terjemahan itu marah dan membatalkan penerbitan buku Fasisme sebanyak tiga jilid itu. Dia marah besar karena Mutahhari dibilang sebodoh-bodoh manusia oleh Laqueur. Desas-desusnya, pak direktur itu berkecenderungan Syiah.
Buku When China Rules The World Martin Jacques yang menjelaskan bahwa Cina sebagai satu-satunya peradaban yang kurang lebih tetap utuh sejak 5.000 silam dan tidak lama lagi akan menjadi penguasa dunia itu ditulis dengan objektif, kendati Jacques terang-terangan menyatakan kekecewaan terhadap perlakuan terhadap mendiang istrinya karena warna kulit. “Mendiang istri saya orang Malaysia-India, dia mempunyai kulit cokelat gelap terindah, tetapi dengan perasaan getir saya menyadari bahwa tidak semua orang memandang warna kulitnya seperti saya, terutama orang-orang Cina Hong Kong.” Saya pun tidak mengalami pertentangan batin. Hanya ada sedikit kegusaran ketika sampai bagian Uyghur dan Tibet, itu pun tidak sampai membuat saya menerjemahkan kata “dead” yang merujuk pada kaisar-kaisar Cina menjadi mampus, meninggal dunia pun tidak. Sejak kecil saya diajari untuk menggunakan kata mangkat bagi meninggalnya para raja. Bahkan untuk para raja dan kaisar di pihak “sana”.
Belum lama ini saya menyelesaikan penerjemahan buku Liem Sioe Liong’s Salim Group. Tak ada yang istimewa dengan order terjemahan ini sebetulnya. Hanya saja, semasa kuliah dulu saya lama berpantang mengonsumsi Indomie sebagai bentuk protes terhadap dominasi perekonomian oleh taipan terkaya se-Asia Tenggara itu dan sebagainya dan seterusnya. Perlu waktu puluhan tahun bagi saya untuk sepenuhnya sadar bahwa para pemilik warung burjo yang bertebaran di sekitar kampus itu pribumi. Bukan pandangan politik yang merisaukan saya dalam penerjemahan kali ini, tetapi pandangan pribadi soal penulisan nama Pak Harto oleh dua penulis buku itu, Richard Borsuk dan Nancy Chng. Borsuk dan Chng menyebut beliau Suharto, kendati dalam buku itu Retno Abdulgani-Knapp dikutip menyebutkan Soeharto. Bagi saya, nama presiden kedua Republik Indonesia itu mestinya ditulis Soeharto. Karena nama tidak tunduk pada kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sedangkan nama presiden pertama Republik Indonesia ditulis Sukarno, karena beliau menghendaki namanya ditulis demikian demi menghormati perubahan ejaan yang diprakarsai menteri pendidikannya. Meski sering rewel untuk soal-soal begini, tentu saja saya tetap menuliskan Suharto sebab penulisnya memilih tata tulis begitu.  
Di balik semua upaya tidak bias dalam menerjemahkan, saya tetap manusia biasa yang susah menahan diri untuk tidak memperlihatkan penghormatan kepada Pablo Neruda, Edward Said, Avram Noam Chomsky, dan Subhas Chandra Bose dalam kerja-kerja penerjemahan saya. Tak ada gading yang tak retak adalah pembelaan saya jika sikap demikian dianggap keliru.

*  Sampai hari ini saya kukuh menggunakan kata Cina, bukan China, apalagi Tionghoa. Bukan apa-apa, saya tidak setuju dengan pendirian bahwa karena kata Cina beraroma rasis (mungkin terkait makian “Dasar Cina!” atau “Cina lu!”) maka beberapa media menuliskan China. Seorang teman yang pernah bekerja di bank asing mengatakan bahwa bosnya meminta dia menuliskan China dalam bahasa Indonesia karena pertimbangan menghindari bau-bau rasisme itu tadi. Padahal, saya menyepakati Martin Jacques, rasisme itu inheren dalam setiap diri kita. Tinggal bagaimana kita menerjemahkannya dalam sikap dan perbuatan. Salah satu sahabat terbaik yang pernah saya miliki adalah mahasiswi keturunan Cina. Kami pernah berjalan-jalan di Solo semasa kuliah dahulu. Seketika itu saya tidak sadar betapa kami menjadi pusat perhatian banyak mata pejalan kaki dan penumpang bus kota yang terheran-heran.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)