Batavia dan Malaria




Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC
Peta Batavia 1840


Didirikan pada tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen sebagai markas besar VOC di Asia, Batavia dengan cepat berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Kota yang terletak di pantai utara Jawa di muara Sungai Ciliwung itu menyerupai sebuah kota Belanda di daerah tropis. Pusat kota itu (kini disebut Kota, bagian tertua Jakarta masa kini) dikelilingi tembok dan gerbang, di sana dibangun kanal dan rumah-rumah Belanda, gereja dan kedai minum, sebuah balai kota, jembatan tarik, gudang dan kincir angin. Tepi laut didominasi oleh sebuah bangunan besar, Benteng, yang menjadi pusat pemerintahan. Dari situ, seluruh koloni Belanda di Asia dikendalikan selama hampir dua ratus tahun. Batavia adalah pusat segala aktivitas VOC di Asia; hampir semua kapal dari Belanda berlabuh di Batavia dan sebagian besar komoditas Oriental dikapalkan ke tanah air (Belanda) dari sana. Batavia adalah pelabuhan kedatangan semua pegawai baru VOC di Asia; dari sana mereka disebar ke seluruh koloni. Pelabuhan itu juga merupakan pangkalan embarkasi; setiap pegawai yang ingin pulang ke tanah air harus pergi ke Batavia terlebih dahulu untuk menunggu armada yang akan pulang.
Kota dalam tembok itu tidak besar—hanya 1 kali 1,5 km—tetapi di luar tembok terdapat kawasan perumahan yang luas dan di kawasan pedesaan sekitar bisa dijumpai rumah-rumah pedesaan yang mengesankan dengan jalanan yang indah. Sekitar 20.000 orang tinggal di dalam tembok kota, 100.000 lainnya tinggal di luarnya—sebuah populasi yang ukurannya sama dengan Amsterdam, Madrid atau Roma saat itu. Populasi itu sangat kosmopolitan, kebanyakan terdiri atas kaum migran dan tidak terlalu banyak anak di sana. Orang-orang Cina dan budak amat banyak jumlahnya—masing-masing berjumlah lebih dari 30.000. Orang-orang Eropa hanya merupakan minoritas kecil: sekitar 5.000 pegawai Kompeni dan 2.000 warga bebas. Hanya personel senior Kompeni—sekitar seratusan orang—yang tinggal di kota dan mempunyai kehidupan keluarga. Ribuan serdadu, tukang dan pelaut tinggal di barak-barak, pos penjagaan dan galangan kapal, atau di kapal-kapal di pangkalan laut.
Kompeni membangun dua rumah sakit bagi personelnya di Batavia. Reputasi kedua rumah sakit itu amat buruk: kotor, miskin ventilasi, penuh sesak, dan angka mortalitasnya tinggi. Para serdadu, tukang dan pelaut berusaha menghindari rumah sakit, tetapi mereka tidak punya pilihan; para pegawai senior, sebaliknya, dirawat di rumah ketika mereka sakit. Yang paling buruk namanya adalah Rumah Sakit Dalam; lebih dari 160.000 pegawai Kompeni menemukan ajal di sana. Setelah tahun 1730 satu dari empat pegawai dari Belanda yang bertugas di Timur meninggal dunia di Rumah Sakit Dalam.
Batavia terletak di lokasi buruk kawasan pantai landai dengan rawa-rawa mengelilinginya, sudah begitu kota tersebut tidak direncanakan dengan baik. Kanal-kanalnya hampir tidak mengalir, sedimen dari sungai-sungai penuh lumpur mengendap di dasar kanal. Pantai juga menimbulkan problem karena cepatnya pengendapan pantai. Pada akhir abad kedelapan belas, Benteng, yang tadinya dibangun di tepi pantai, terletak dua kilometer dari laut. Pada zaman VOC, terdapat pantai lumpur hutan bakau lebat berbau menyengat sejauh satu kilometer lebih antara kota dan laut.
Pendangkalan pantai berperan besar dalam ketidaksehatan kota (Swaving 1878: 72). Saat laut pasang kawasan ini tergenang air dan dipenuhi sampah kota. Ketika surut, air laut tertinggal di tambak, kubangan atau kolam, dan permukaan luas dasar laut berlumpur ini terpanggang sinar matahari, bersama “bermacam-macam ubur-ubur gosong dan sampah, bangkai dan ikan yang membusuk.” Penduduk Batavia sangat khawatir dengan pantai berbau tidak sedap ini, karena pada umumnya dipercaya bahwa penyakit disebar oleh “uap jahat” yang muncul dari tanah dan mengandung miasmata—partikel-partikel kecil pembawa penyakit. Orang-orang masa itu mencurigai pengendapan lumpur pantai sebagai biang penyakit, terutama karena ketidaksehatan hanya terdapat di kawasan sepanjang pantai. Makin dekat ke pantai, makin tidak sehat; kesehatan bisa ditemukan dalam satu jam jalan kaki menjauhi pantai. Orang-orang kaya pindah ke pedesaan dan distrik-distrik kota yang tadinya amat megah menjadi rusak dengan cepat.
Sebetulnya bukan pantai saja yang dituding sebagai sumber penyakit. Kanal yang tercemar, kuburan di halaman gereja, kualitas air minum, dan penggalian saluran air beroleh reputasi jelek sesudah tahun 1733. Pemerintah Tinggi melakukan tindakan-tindakan tak terbilang mahalnya untuk memulihkan kesehatan: pintu-pintu air dibangun, rumah-rumah diperbaiki, tumbuhan bakau ditebangi, saluran air dialiri, penyulingan arak, tobong gamping dan kuburan gereja dipindah ke luar kota—tetapi apa pun yang mereka lakukan, Batavia tetap tidak sehat.  
Sepanjang abad kesembilan belas dan kedua puluh, setelah era VOC berakhir, banyak tulisan yang mengangkat masalah ketidaksehatan, tetapi tidak ada penjelasan yang meyakinkan. Berbagai literatur menyebut-nyebut epidemi tifus, malaria dan disentri, yang dihubungkan dengan rawa-rawa, kanal tercemar, dan jeleknya mutu air minum. Ada pula yang menyalahkan penebangan hutan, penggalian saluran air di sekitar kota, atau pencemaran Sungai Ciliwung oleh pabrik gula di pedesaan sekitar. Yang lainnya berpendapat bahwa penyakit di kapal dari Eropa barangkali mengganas di Batavia. Menurut saya semua penjelsan itu tidak meyakinkan karena dua alasan: semua penyebab yang disebutkan itu sudah ada jauh sebelum 1733 dan tidak satu pun yang bisa menjelaskan kemunculan ketidaksehatan yang tiba-tiba.
[ … ]
Walaupun dalam berbagai literatur disentri, malaria dan tifus selalu disebut sebagai penyebab ketidaksehatan, saya yakin bahwa malaria—dan hanya malaria—yang bertanggung jawab atas meningkat pesatnya ketidaksehatan Batavia sesudah 1733. Memang ini tidak bisa lagi ditopang dengan diagnosis medis, tetapi berbagai karakteristik ketidaksehatan menunjukkan tanpa keraguan bahwa malarialah penyabab peningkatan drastis angka kematian setelah 1733.
Karakteristik-karakteristik itu, muncul dari data numerik yang tersedia maupun dari deskripsi dalam berbagai dokumen VOC, adalah sebagai berikut:
-    Ketidaksehatan, seperti terukur oleh laju mortalitas di kalangan pegawai VOC, meningkat secara epidemis antara 1733 dan 1738 dan tetap tinggi sesudah itu.
-     Ketidaksehatan dicirikan oleh orang-orang yang mampu mengembangkan kekebalan terhadap penyakit itu. Ini menjelaskan rendahnya angka kematian para penduduk Kristen dewasa, yang sesudah tahun 1733 tetap bertahan pada angka pra-1733. Tampaknya para pegawai Kompeni di Batavia juga mengembangkan semacam kekebalan, sebab mereka yang jatuh sakit terutama adalah para pendatang baru dari Eropa.
-          Ketidaksehatan yang membuahkan laju mortalitas di kalangan para pendatang itu lebih dari 50 persen terjadi dalam setengah tahun pertama kedatangan mereka. Orang-orang yang selamat tetap sakit dan lemah selama beberapa tahun sesudahnya.
-          Ketidaksehatan itu bersifat musiman. Mortalitas bulanan meningkat tajam pada bulan Agustus, bulan yang paling kerontang, dan pada Januari serta Februari, bulan-bulan paling basah.
-          Ketidaksehatan terbatas secara geografis. Setelah 1733 Batavia tidak sehat, tetapi hanya di sepanjang pantai. Dokumen-dokumen VOC tidak menyisakan keraguan tentang itu. Sebelum 1733 daerah pesisir sama sehatnya dengan pedalaman.
-          Ketidaksehatan dicirikan oleh fakta bahwa malam hari dan larut malam adalah waktu yang berbahaya berada di luar rumah. Ini sering disebut dalam berbagai dokumen. Rumah-rumah lalu dipasangi kaca jendela dan orang membiarkan jendela mereka tertutup. J.A. Paravicini, seorang kepala saudagar VOC, menyatakan dalam laporannya tentang ketidaksehatan bahwa siapa saja yang tidur di luar rumah semalam saja, sebagaimana yang sering dilakukan sebelum 1733, boleh jadi tidak bakal bisa menceritakan apa yang terjadi (Semmeling 1885:359). Mereka yang berada di dalam kota hanya pada siang hari tidak dihinggapi demam (Raffles 1817: apendiks A viii).

Dari seluruh penyakit yang diketahui di dunia, malaria adalah satu-satunya penyebab enam karakteristik ketidaksehatan Batavia ini. Malaria boleh jadi muncul mendadak secara epidemis dan tetap bertahan pada tingkat yang tinggi sesudah itu. Pada akhirnya orang menjadi kebal terhadap malaria. Angka kematian malaria-tropica tak terawat mencapai 50% atau lebih; 50% yang selamat menderita malaria-cachexie selama beberapa tahun sesudahnya. Karena malaria ditularkan melalui serangga, penyakit itu sering kali terbatas menurut musim dan geografi; apalagi nyamuk anofeles betina yang menularkan malaria tidak terbang jauh-jauh dari tempat bertelurnya, di mana ia kembali setiap dua hari sekali untuk bertelur. Dan akhirnya, infeksi malaria hanya tersebar di malam hari atau larut malam, karena nyamuk anofeles hanya menggigit setelah matahari terbenam. Karena tidak ada penyakit lain selain malaria yang ciri-cirinya diperlukan untuk menjelaskan enam karakteristik itu, bisa dipastikan malarialah penyebab meningkatnya ketidaksehatan Batavia.


Dipetik dari Peter H. Van Der Brug, Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas, dalam Jakarta Batavia: esai sosio kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.

Sumber gambar:

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)