Ritual diplomatik Batavia



Jakarta - Batavia
Batavia (c. 1780)


Setiap kali peran historis ibu kota Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan disinggung, sepertinya julukan yang paling tepat untuk dilekatkan kepadanya adalah kota diplomasi. Selama empat tahun yang merentang antara Proklamasi Kemerdekaan pada Agustus 1945 dan penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Jakarta menjadi pusat kegiatan pengumpulan data intelijen. Bersamaan dengan itu ibu kota berfungsi sebagai sebuah laboratorium di mana para juru runding pemerintah kolonial Belanda dan Republik Indonesia yang masih muda bisa menguji strategi-strategi politik mereka. Di bagian Jawa yang lain pertempuran berlanjut.
Di kubu Republiken terdapat perbedaan pendapat antara mereka yang meyakini bahwa kemerdekaan harus dicapai lewat diplomasi, dengan demikian menghindari korban nyawa berlebihan dan penderitaan, dan mereka yang percaya bahwa merdeka hanya bisa direbut melalui perjuangan bersenjata.
Argumen-argumen serupa juga bisa ditemukan di kubu Belanda. Strategi-strategi yang disusun para pejabat sipil di meja perundingan dimaksudkan untuk memandulkan republik muda itu di Jawa Tengah dalam jaringan sistem negara konfederasi. Sesungguhnya, inilah tujuan akhir Perundingan Linggadjati. Di lain pihak, militer Belanda berteriak lantang bahwa waktu yang amat berharga hilang ketika negosiasi berlangsung: makin lama para “pemberontak” diberi peluang untuk memperkuat diri, akan semakin sulit menumpas mereka.
Kedudukan Jakarta dalam konflik ini tidak menentu. Bagi bangsa Indonesia kota itu adalah tempat kelahiran Republik baru, sebab Sukarno dan Hatta menyatakan  Proklamasi Kemerdekaan di kota proklamasi ini di kediaman Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagi Inggris beberapa pekan kemudian, Jakarta adalah tempat musuh menyerah, di mana tentara Inggris akan menerima penyerahan pasukan Jepang. Bagi Belanda, tak lama sesudah itu, Batavia—belum Jakarta—akan menjadi pangkalan bagi kampanye militer Belanda untuk menguasai kembali wilayah mereka yang lepas di pulau Jawa begitu mereka sudah cukup kuat. Daerah itu begitu tidak stabil sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 para petinggi pemerintahan Republik, mengkhawatirkan keselamatan mereka, dipaksa mengemasi barang-barang pribadi mereka dan bertolak ke Yogyakarta.
Begitu Perserikatan Bangsa-Bangsa campur tangan, otoritas kolonial Belanda tidak pernah mampu melaksanakan rencana untuk menegakkan kembali hegemoni di medan perang. Ketika kampanye militer besar-besaran mereka, atau “aksi polisional”, akhirnya dilancarkan pada tahun 1947 dengan dalih memulihkan hukum dan ketertiban, protes internasional sedemikian sengitnya hingga penyerbuan itu kedodoran dari sudut pandang politik, meski pada mulanya terlihat sebagai kesuksesan strategis.
Selama empat tahun perjuangan kemerdekaan, Yogyakarta menjadi basis mutlak faksi perjuangan. Yogya menjadi pusat simbolis perlawanan ketika keraton Sultan Hamengkubuwono berubah menjadi markas besar perjuangan Revolusioner, sementara Jakarta tetap merupakan pementasan wayang politik. Para anggota misi asing, para juru runding serta penengah datang dan pergi. Ditilik dari memoar pribadi dan catatan-catatan kontemporer, pertarungan diplomatik di balik layar dipenuhi tindakan sembrono, ilusi, itikad yang disalahpahami, dan ketidakpastian yang umumnya menyertai pembuatan keputusan, Benedict Anderson mengatakan: “Jika seseorang hidup di Djakarta kosmopolitan yang diduduki, sulit untuk tidak mempercayai mutlaknya kebutuhan akan diplomasi. Tetapi jika orang itu hidup di Jogjakarta tradisional yang tidak diduduki, di mana wajah kulit putih jarang terlihat, bagaimana orang itu bisa tidak percaya, mengamati dan mengalami vitalitas bergolak kota itu, bahwa perlawanan mungkin dan harus dilakukan?” (Anderson 1972: 301).
Meski begitu di meja perundinganlah monster pemerintahan kolonial akhirnya terbantai pada tahun 1949. Beberapa tahun kemudian, pada Konferensi Bandung 1955, Republik Indonesia, dianggap sudah cukup umur di pentas diplomasi internasional, menyelenggarakan konferensi tingkat dunia pertama untuk negara-negara non-blok.
Dilihat dalam kilas balik, terlihat nyaris ironis bahwa tempat menonjol Indonesia dalam keluarga bangsa-bangsa melekat sangat erat dengan lokasi perhelatan tersebut, sebuah kota yang di mata orang Betawi tak lain hanyalah pertumbuhan dari sebuah bukit peristirahatan bagi orang kota yang kepanasan. Harga diri daerah yang terkoyak mengatakan bahwa Konferensi Bandung tidak mengizinkan Jakarta menyandang mutiara di mahkotanya.
Penduduk kota diplomasi boleh jadi merasa terhibur dengan gagasan bahwa Batavia/Jakarta, yang menyimpan tradisi panjang sebagai makelar kekuasaan untuk berbagai hubungan internasional di Asia Tenggara, nyaris tidak membutuhkan sehelai bulu lagi untuk mempercantik hiasan kepalanya. Seorang warga Jakarta yang gusar hanya perlu mengingat kembali lalu lintas diplomatik Zaman Kompeni yang hampir terlupakan. Hingga permulaan abad kedua puluh, para duta dari kerajaan-kerajaan Jawa dan utusan dari “raja-raja pribumi” luar Jawa melakukan kunjungan kehormatan kepada gubernur jenderal, “Kepala Pemerintahan Hindia Belanda”, di Batavia, yang kala itu dikenal sebagai “Ratu dari Timur”.
[ ... ] tiga ratus tahun silam pemerintah Batavia mendapat tempat di antara para penguasa Asia dan berusaha mengikuti aturan main yang kala itu dianggap sebagai etiket dan protokol diplomatik Asia. Para kolonis Belanda tentu tidak perlu menciptakan ritual “oriental” guna menyesuaikan dengan konvensi yang berlaku dalam melakukan hubungan luar negeri pada tataran diplomatik di Hindia Timur. Ketika menyebut kata “diplomasi”, istilah itu saya pakai untuk menunjuk proses di mana berbagai pemerintahan bertindak melalui agen-agen resmi yang saling berkomunikasi. Struktur sistem upeti dunia “diplomatik” Timur agak membingungkan para pendatang baru Belanda. Mereka harus mencebur ke dalam kolam bergolak sistem lokal tata dunia hierarkis, yang dirajut oleh relasi kekuasaan vertikal yang terus bergeser di mana pemberian upeti terlebih dahulu ada daripada hubungan diplomatik relatif horizaontal yang lazim di pentas Eropa, yang dari situ Hugo Grotius mendapatkan ide orisinalnya tentang hukum internasional.
Sejauh mana persepsi Belanda tentang relasi kekuasaan Indonesia dan representasi kekuasaan politik dalam perilaku ritual benar dan tepat masih, hingga penelitian lebih lanjut dilakukan, terbuka untuk dipertanyakan. Proses aktual di mana kehadiran Belanda di Hindia Timur mengakar dalam jaringan politik imperium Cina dan Mogul yang jauh dan tata dunia hierarkis yang berorientasi lebih regional para penguasa Jepang, Muang Thai, Birma, Sailan atau Jawa adalah subjek yang sejauh ini hanya mendapatkan sedikit perhatian dari para sejarawan. Pada masa lalu, ekspansi Eropa di Asia dikaji sebagai gerakan penghancuran sepihak, sedangkan saat ini para sejarawan Asia Tenggara berupaya serius menulis sebuah sejarah otonom yang cenderung mengesampingkan keterlibatan Eropa dalam proses historis Asia Tenggara. Sekaranglah saatnya menyingkirkan kedua pandangan historis timpang itu dan mengakui bahwa, di tengah berbagai persekutuan yang berubah dalam politik Asia Tenggara abad ketujuh belas dan kedelapan belas, kemunculan Kongsi Dagang Hindia Belanda sebagai kekuatan teritorial dan maritim yang berhadap-hadapan dengan para tetangganya terus-menerus ditantang. Yang membikin frustrasi Pemerintah Tinggi (Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia) di Batavia, persekutuan antara berbagai penguasa regional terus mengalami pergeseran dan Belanda selalu terancam terseret dalam sengketa-sengketa lokal yang sedikit sekali sangkut pautnya dengan mereka. Dalam hal ini prinsiplah, bukan politik, yang menentukan urusan diplomatik penguasa-pedagang dan prinsip mereka adalah keuntungan komersial, jangan sampai ada kekeliruan soal ini. Di mata Pemerintah Tinggi campur tangan dalam pertikaian lokal dan pembentukan dominion mutlak tetap merupakan gagasan mahal yang harus dihindari sebisa mungkin.
Alhasil, Pemerintah Tinggi di Batavia dengan sadar memanfaatkan sisi seremonial hubungan luar negeri untuk menegakkan kendali atas kepulauan Asia Tenggara, seraya berusaha keras menghindari segala komitmen terhadap campur tangan aktual dalam urusan politik bangsa-bangsa yang tidak memberi kontribusi langsung bagi jaringan perdagangannya. Di samping mengontrol wilayah yang dikuasai langsung maupun tidak di Jawa, Ratu Batavia memegang sebuah “supremasi laut informal” yang diperoleh dan dipelihara dengan manipulasi atas hubungan diplomatik yang dinamis.

Dipetik dari Leonard Blussé, Ratu di antara para raja; Ritual Diplomatik di Batavia, dalam Jakarta Batavia: esai sosio kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.

Sumber gambar:
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Jakarta#/media/File:Ville_de_Batavia_c1780.jpg

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)