Konfrontasi Sebuah Minoritas Terbelah

Sejarah komunitas Arab di Batavia, Hindia Belanda
Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural

Pada tahun 1901 beberapa pemuka Arab di Batavia, antara lain al-Aydrus bin Syihab dan Muhammad al-Faqir, mendirikan Jamiyat Khair, Perhimpunan untuk Kebaikan. Organisasi ini bertujuan memperkuat karakter Arab komunitas, utamanya budaya dan bahasa Arab, dengan membuka sebuah sekolah Arab di ibu kota dan mengirimkan anak-anak muda untuk melanjutkan studi di negara-negara Arab (Menjelang 1981). Pengajaran dengan sistem kelas diberlakukan dan, walaupun mata pelajaran agama tetap menonjol, perhatian juga mulai diberikan bagi mata pelajaran modern seperti ilmu bumi, aritmetika, dan bahasa Inggris (bukan Belanda). Para pendiri itu berlatar belakang religius konservatif, tetapi di bidang lain pandangan mereka progresif (Pijper 1977: 110). Mereka berusaha mempertemukan tantangan-tantangan abad baru dengan nilai-nilai tradisional. Perkumpulan ini juga terbuka untuk orang Islam bukan Arab (Noer 1973: 58). Salah seorang anggota Jawa adalah Ahmad Dahlan, yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Agar lebih mengerti tentang perkembangan di Timur Tengah, seperti pan-Islamisme dan perdebatan tentang persoalan agama, tiga ulama didatangkan dari dunia Arab pada tahun 1912, satu dari Sudan, satu dari Maroko, dan satu dari Hijaz. Ahmad Surkati dari Sudan, kerabat Mahdi dari Sudan. yang menuntut ilmu antara tahun 1896 dan 1904 di Madinah dan Makkah, menjadi tokoh amat berpengaruh dalam komunitas Arab di dalam maupun di luar Batavia (Affandi 1976: 60). Cukup mengejutkan bagi para pemimpin Jamiyat Khair, ternyata dia adalah pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, duo modernis Mesir, yang mengajarkan kesetaraan seluruh umat Islam dan yang mengusung ide-ide luar biasa progresif tentang pengamalan Islam sesuai tuntutan zaman. Ide-ide Ahmad Surkati menyemai benih silang pendapat dalam komunitas Arab dan mengobarkan perdebatan dahsyat. Pada tahun 1914, beberapa tahun setelah dia dipaksa meninggalkan Jamiyat Kjair, Surkati mendirikan Jamiyat al-Islah wal-Irsyad, Perhimpunan untuk Pembaruan dan Kepemimpinan. Salah seorang pendukung paling gigihnya adalah si “trah rendah” Umar Mangus, kapten Arab Batavia, yang menyumbang sebesar 25.000 gulden. Sumbangan yang lebih besar lagi (60.000 gulden) diberikan oleh sayid filantropis dan pergaulannya luas bernama Abdullah bin Alwi Alatas, salah satu dari sedikit orang yang mampu berdiri netral di atas pihak-pihak yang bertikai (Noer 1973:64). Seperti Jamiyat Khair, al-Irsyad terutama bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan, seperti peningkatan kemampuan baca tulis di kalangan komunitas Arab dan pemajuan adat istiadat Arab yang sejalan dengan Islam (Pijper 1977: 113). Tetapi karena filosofi dasarnya memang berbeda, al-Irsyad berkembang menjadi gerakan pembaruan sejati. Al-Irsyad, yang seperti saingannya juga punya cabang dalam komunitas-komunitas Arab lain di seluruh negeri, menjadi kubu anti-sayid atau kubu syekh, sebutan yang makin sering dipakai untuk semua non-sayid.
Ide-ide Surkati yang paling membuat para sayid naik darah tetapi diamini oleh hampir semua kalangan lainnya bukanlah gagasan yang berkenaan dengan persoalan agama murni—seperti penolakannya terhadap mistisisme dan bid’ah (pembaruan dalam tata cara ibadah), yang dianggapnya bertantangan dengan Qur’an dan Hadits—melainkan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ide-ide kontroversialnya berkaitan dengan posisi mulia yang diklaim Ba’Alawi sebagai hak mereka. Persoalan paling penting yang diperdebatkan adalah kebiasaan mencium tangan (taqbil), kesetaraan kedudukan antara pasangan nikah (kafa’ah), perantaraan (tawassul), dan penggunaan gelar kehormatan sayid.
Surkati tidak menyetujui pretensi aristokratis para sayid dan menolak peran yang dipegang sebagian dari mereka (entah yang sudah meninggal dunia atau yang masih hidup) sebagai perantara antara kaum mukminin dan Allah. Islam yang diajarkan Nabi tidak membeda-bedakan para pemeluknya menurut leluhur atau kriteria lain mana saja. Maka dari itu, tak seorang pun berhak mendapatkan kedudukan istimewa. Karena alasan ini, Surkati mendesak agar kebiasaan menyalami sayid dengan mencium tangan ditinggalkan saja. Salah seorang yang pertama kali mengikuti nasihat ini di depan orang ramai adalah Umar Mangus, sebuah tindakan yang selama bertahun-tahun menjadikannya kambing paling hitam bagi golongan konservatif dalam komunitas (Affandi 1976: 56). Surkati juga memaklumkan penolakannya terhadap aturan pernikahan yang diikuti anak turun Husein. Para anggota suku Nabi Muhammad, terutama anak turunnya, menganggap diri sebagai bangsawan agama. Pernikahan antara seorang gadis keturunan “darah biru” dan seorang lelaki awam dianggap tercela. Pada tahun 1912, selama menetap di Solo, Surkati memaklumkan bahwa pernikahan antara seorang sayidah dan seorang non-sayid mesti diperbolehkan. Pada tahun 1914 dia mengeluarkan fatwa mengenai topik ini, yang mengalienasi sayid konservatif selama-lamanya. Surkati juga menentang pemahaman yang berlaku, terutama di kalangan non-Arab, bahwa seorang sayid bisa membantu urusan seseorang dengan Allah atau bahwa berdoa maupun bernadzar di kuburan mereka akan mendatangkan berkah. Dia juga tak bosan-bosan menekankan bahwa kata sayid digunakan secara keliru sebagai gelar, makna asli kata itu sama dengan mijnheer dalam bahasa Belanda atau monsieur dalam bahasa Prancis.
Gagasan-gagasan Surkati menaungi sebuah periode panjang intoleransi, kebencian, dan permusuhan dalam komunitas Arab, yang menyebar ke berbagai perkampungan Arab lain di Jawa dan memancing reaksi bahkan sampai ke Hadramaut (Bujra 1967). Hingga akhir 1930-an, pihak-pihak yang bersebarangan sering kali saling serang dalam pidato dan media cetak atau menyudahi silang pendapat mereka dengan adu jotos. Pada tahun 1913 sekelompok sayid mengacau rapat orang-orang al-Irsyad di rumah Syekh Isa bin Badr. Dalam insiden itu, yang harus dihentikan oleh polisi, tiga pengikut Surkati terluka (Affandi 1976: 120-1). Itulah seri pertama dari rangkaian aksi kekerasan fisik di kalangan orang Arab di Hindia Belanda (De Jonge 1991: 96). Kurang brutal tetapi tak kalah provokatif adalah tuduhan dan tuduhan balik di surat kabar, jurnal, pamflet, dan tulisan satir. Golongan sayid menuding lawan mereka sebagai ahli bid’ah, tukang fitnah, komunis, atau Bolshevis; kubu syekh balik mengecam mereka sebagai pembual dan penyemu. Untuk mengejek lawan mereka, kubu syekh menambahkan awalah sayid di tanda tangan mereka, juga pada papan nama di rumah mereka. Penggunaan gelar secara main-main ini sungguh membuat berang golongan sayid. Tidak puas dengan upaya Jamiyat Khair dalam membela status mereka, pada tahun 1928 mereka mendirikan organisasi sendiri, Rabitah al ‘Alawijah, Liga Keturunan Nabi. Pada tahun 1931 golongan qabili dari suku al Katsiri, yang secara umum sepakat dengan pandangan golongan masakin, tak ketinggalan membentuk organisasi sendiri juga, al Jami’ah al Katsiriyah al Islahiyah. Perpecahan organisasi Arab ini menimbulkan gelombang polemik baru. Rabitah mengirim petisi kepada pemerintah kolonial guna memohon perlindungan terhadap gelar turun-temurun dan surat kepada dua sultan Hadramaut berisi permintaan agar menertibkan para pembangkang. Hanya Sultan al-Syihr dan Makalla yang memihak mereka, sedangkan gubernur jenderal memilih bersikap netral. Kubu Ba ‘Alawi dan Irsyadi sama-sama mencari dukungan ulama di Timur Tengah dan media massa Arab internasional. Hampir seluruh ulama dan media menganggap sistem kelas impor Hadrami itu anakronis dan tidak pada tempatnya di Hindia Belanda, tentu ini artinya mendukung para Irsyadi (De Jonge 1991: 93-9).
Kontroversi itu berbuntut panjang. Wulaiti memecat para pekerja muwalad mereka, sesama tetangga tidak bertegur sapa lagi, orang-orang yang berseberangan saling menghindar di jalan. Beberapa kali, orang-orang di luar Hadrami, seperti Husein Abdin dari Singapura dan al-Amoedi dari Ambon, berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, tetapi selalu tanpa hasil. Para pemimpin dari masing-masing pihak atau komunitas tidak datang, atau janji yang disepakati tidak ditepati. Komunitas yang dulunya agak tertutup dan tampaknya harmonis itu berubah menjadi sebuah minoritas terbelah di mana masing-masing pihak mencemooh lawannya secara terbuka. Situasi itu makin diperparah oleh fakta bahwa Batavia, bersama Surabaya, adalah pusat jaringan komunikasi komunitas Arab yang tersebar di seluruh Hindia Belanda. Setiap insiden di mana saja akan membangkitkan kegemparan di Batavia, sementara setiap keputusan yang dibuat di markas besar di ibu kota menambah keruwetan di mana-mana.
Pada tahun 1930-an perselisihan itu perlahan-lahan tampil dalam karakter lain. Bukan konflik antara sayid dan syekh lagi, persoalannya bergeser menjadi sengketa antara wulaiti dan muwalad, antara generasi muda dan generasi tua, dan antara pria dan wanita. Inti perdebatannya bukan lagi privilese dan praktik-praktik Ba ‘Alawi, tetapi kedudukan komunitas Arab dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka yang lahir dan besar di Hindia Belanda menyadari bahwa masa depan mereka bukan lagi di Hadramaut melainkan di Indonesia. Oleh karena itu berbagai perubahan dalam tatanan tradisional tak bisa dihindari. Tiga peristiwa mempercepat perubahan. Dalam sebuah kongres Rabitah di Pekalongan yang membahas soal gelar, pada awal 1934, para anggota muda, menimbulkan amarah golongan Arab totok tua, berhasil menghapus topik itu dari agenda dan mengalihkan perhatian pada berbagai persoalan lain yang lebih penting seperti modernisasi sistem sekolah. Pada akhir tahun itu juga, 39 anak muda progresif peranakan Arab dari semua kubu, termasuk wakil Arab pertama di Volksraad, Abdullah al-Attas, mendirikan Persatoean Arab Indonesia. Organisasi yang menghendaki penyingkiran berbagai hambatan sosial tradisioanl dan mendorong integrasi komunitas Arab ke dalam masyarakat Indonesia. Untuk pertama kalinya, orang Arab berani mengatakan – mulanya agak ragu-ragu, tetapi kemudian kian lantang – bahwa mereka sudah menjadi orang Indonesia. Sebuah sandiwara berjudul Fatimah (putri Nabi dan ibu Husein, sayid pertama) mengundang luapan respons. Sandiwara itu mengangkat isu-isu mutakhir dalam komunitas Arab, seperti kedudukan timpang perempuan dan praktik riba kaum wulaiti (Algadri 1984: 161-3). Walaupun rasa permusuhan dalam komunitas sama sekali belum padam, khususnya di Batavia yang secara tradisional banyak menampung wulaiti berlatar belakang sayid, segera menjadi jelas bahwa komunitas Arab yang relatif tertutup sudah tidak ada.

Dipetik dari Huub De Jonge Sebuah Minoritas Terbelah: Orang Arab Batavia, dalam Jakarta Batavia: esai sosio kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)