MATA YANG SETIA
Roya
Khorshid
Kegelapan menyelimuti gubuk Anaar Gol sebelum dia
menyalakan lampu minyak tua miliknya. Dia baru menyeduh teh panas di teko besi,
menambahkan gula, lalu meletakkannya di dekat sepotong roti dingin di meja.
Itulah menu makan malamnya. Dia makan rotinya beberapa gigit kemudian meneguk
tehnya. Dia merasa sangat letih, jiwa dan raga, sudah seminggu penuh dia
menjahit pakaian untuk keluarga Mirza Habib.
Menjahit telah jadi pekerjaannya sejak lama. Menghabiskan
seluruh waktu hidupnya di sebuah sudut untuk menjahit dengan tangannya, hingga
punggungnya berangsur bungkuk. Impiannya adalah bisa memiliki sebuah mesin
jahit, namun kemelaratan membuat dia tak kunjung mampu membelinya. Seiring
berlalunya hari, dia semakin lemah dan kehilangan kesabaran, jari dan tangannya
tidak lagi berdaya seperti dulu. Punggungnya selalu terasa nyeri, kedua matanya
lelah, tapi dia tak punya pilihan selain duduk dan menjahit.
Malam ini, dia benar-benar lelah dan merasa butuh waktu
lama untuk menghabiskan makan malamnya. Tiba-tiba dia teringat tiga hari lagi
perayaan Nowrouz akan tiba; keluarga Mirza membutuhkan pakaian untuk mereka
sementara dia membutuhkan uang untuk makan. Dia meletakkan makanannya dan mulai
menjahit gaun hijau kepunyaan istri Mirza Habib, Khanom Gol. Tetapi karena
ruangan masih terasa gelap juga, dia manyalakan lampu lebih terang.
Diseruputnya teh itu dan dia lihat bayangan dirinya di dinding dan dia
berpikir: bayangan itulah satu-satunya teman dalam menjalani hidupnya. Orang
mungkin telah berubah pandangan terhadapnya, dan mendamparkan dia di antah
berantah—tapi bayangan itu selalu setia menemaninya. Yang berubah hanyalah
bahwa bayangan itu tampak kian lemah dan kurus dengan lengkung punggung yang
sudah bungkuk. Dulu bayangannya tinggi dan tegak seperti seorang Anaar Gol,
tapi rintangan hidup telah mengubah bayangan itu, dan juga dirinya.
Ayah Anaar Gol meninggal dunia sebelum dia lahir. Ibunya
lari dari desa untuk menghindari kawin paksa dengan kakak iparnya. Dia sembunyi
di Chashma Saar dan bekerja di rumah Mirza Qayum, ayah Mirza Habib, sebagai
pelayan. Orang-orang menerima kehadirannya sampai akhirnya mereka mengetahui
kehamilannya. Tak lama setelah itu, tetua ‘bijak’ dari desa itu menyebarkan
cerita bahwa dia lari karena mengandung anak haram. Mereka menginginkan dia
pergi dari sana karena takut nama baik desa itu tercermar. Namun Mirza Qayum,
dengan kemuliaan hatinya, memohon izin agar perempuan itu dibolehkan tinggal di
rumahnya kalaupun syaratnya adalah bahwa si perempuan dikucilkan dari semua
kegiatan masyarakat. Anaar terlahir ke dunia ibunya yang sepi, dunia yang kelak
diwarisinya juga. Dia terlahir normal, bayi yang sehat dengan rambut hitam yang
indah, hidung mancung, dan sepasang mata yang sangat unik. Bukan bentuk matanya
yang membuat orang terpesona, tapi warna matanya. Satu hitam, sehitam malam
tanpa bulan, sementara satunya lagi biru, sebiru samudra yang perkasa. Bagi
ibunya, mata itu merupakan berkah dari Tuhan, sedang bagi penduduk desa, itu
adalah sebuah kutukan karena terlahir sebagai anak haram. “Kutukan” itu akan
mengikuti dan menghantui seluruh hidupnya dan memang demikianlah yang terjadi.
Dia tumbuh besar sebagai seorang buangan, diperlakukan
tidak adil oleh lingkungannya. Bagi anak-anak, namanya bukanlah Anaar Gol atau
Anaari, panggilan sayang dari ibunya, malahan dia dijuluki “anak iblis”,
“perempuan jejadian”, “anak haram”, dan yang paling jahat “si mata setan”.
Keluguannya membuat dia tidak menyadari semua itu sampai dia menjelang dewasa,
menjadi seorang gadis muda. Dia tidak bisa lagi menerima semua penghinaan itu.
Pikirannya selalu mempertanyakan apa yang aneh di balik matanya dan pengucilan
oleh masyarakat terhadap dirinya. Dia bertaanya kepada ibunya apa yang salah
dan jahat dari matanya. Itukah yang membuatnya tidak disukai orang-orang?
Kenapa matanya seperti itu? Kenapa matanya tidak sama seperti yang lain? Apakah
keanehan matanya itu adalah kutukan karena dia terlahir sebagai anak haram? Dan
ibunya selalu memberi jawaban yang sama: “Matamu yang indah itu adalah berkah,
bukan kutukan. Apa yang mereka katakan tidak berarti apa-apa, karena Tuhan tahu
bahwa kita tidak berdosa.”
Pada awalnya semua jawaban ibunya dapat dia terima;
tetapi sekarang dengan alasan Tuhan pun dia tidak bisa menerimanya. Dia selalu
duduk di sudut Haveli bermandikan sinar matahari. Dan sambil menjahit, dia
memikirkan jalan keluar dari masa lalunya itu. Yang tidak dia sadari adalah
bahwa dia akan menghabiskan bertahun-tahun hidupnya di sudut itu, merenung, dan
satu-satunya hal berguna yang muncul di hadapannya adalah pakaian-pakaian yang
dia jahit.
Seakan hidupnya belum cukup dipenuhi penderitaan, ibunya
yang malang, satu-satunya teman dan keluarga yang dimilikinya, pun direnggut
dari kehidupannya. Tak seorang pun membantu pemakaman ibunya; lagi-lagi Mirza
Qayum yang melakukan segalanya dan memastikan tempat peristirahatan terakhir
bagi ibunya. Kata “kesepian” tak lagi dapat menerangkan bagaimana perasaannya,
karena yang dirasakannya jauh lebih berat lagi. Dia menatap matanya melalui
cermin kecil milik ibunya, dan menyalahkannya atas semua yang telah terjadi.
Dengan berlalunya hari, dia mulai percaya bahwa dia memang dikutuk dan itulah
sebabnya dia telah banyak kehilangan dalam hidupnya, termasuk kehilangan
keluarganya. Dia menjauhkan dirinya dari semua hal yang bersangkutan dengan
manusia. Dan apabila orang takut pada matanya, dia tidak akan menyalahkan mereka
karena memang matanya seperti mata setan. Maka dia jalani hari-harinya yang
sepi, siang dan malam, di sebuah sudut, menjahit dan merenung.
Beberapa tahun kemudian, Mirza Qayum menjodohkan Anaar
Gol dengan salah seorang pekerja di ladang miliknya, Shah Agha. Diadakanlah
upacara keagamaan untuk mereka, dan dalam waktu kurang dari dua puluh menit
Anaar Gol telah menikah dengan seorang lelaki yang belum pernah dia lihat atau
dengar sebelumnya. Lelaki itu membawa Anaar Gol masuk ke tempat satu-satunya
yang dia miliki, sebuah gubuk kecil, dan dari sana hidup barunya dimulai. Perlu
waktu berminggu-minggu hingga suaminya berhasil menatap matanya, dan ternyata
lelaki itu jatuh kagum akan setiap gerak dari mata itu. Biru dan hitam matanya
terlihat lebih indah dan suaminya terpesona. Hidup susah yang selama ini
dijalani Anaar Gol berubah menjadi saat yang paling menyenangkan dan dia
menjadi wanita paling bahagia di muka bumi, selama dua bulan, karena, seperti
juga ibunya, Shah Agha pun meninggalkan dia sendirian lagi di dunia. Kematian
suaminya membuat dia menyendiri. Dia selalu duduk di sudut yang gelap itu, dan
menangis lama lalu tertawa. Dia mengambil pakaian-pakaian milik suaminya dan
berbicara dengan mereka, seolah berbicara dengan pemiliknya yang telah tiada. Seseorang
bahkan pernah melaporkan kepada Mirza bahwa dia berusaha menggali kuburan Shah
Agha di suatu malam. Mirza lalu menyuruh istrinya untuk menenangkan janda yang tengah
berkabung itu. Istri Mirza pulang ke rumah dengan kesimpulan bahwa Anaar Gol sudah
gila. Penduduk desa mengeluhkan betapa tangisannya di tengah malam membuat mereka
takut, tapi tak seorang pun tega atau berani menghentikannya.
“Aduh!” teriak Anaar Gol, ketika jarinya tertusuk jarum.
Sengatan rasa sakit itu membawa kesadaran dirinya kembali ke gubuknya yang gelap,
menjahit gaun hijau Khanom Gol, yang kini terciprat bercak darah. Wajahnya
basah oleh air mata dan keringat, matanya terasa sakit. Sudah lama dia tidak menangis.
Dia mengambil cermin milik ibunya dari bawah bantal setelah beberapa tahun tidak
dia sentuh, lalu memandangi dirinya. Wajahnya terlihat lelah, tapi penderitaan hidupnya
tak tersirat di sana; wajah itu hampir tanpa ekspresi. Matanyalah yang menyimpan
semua kepedihan dan ketidakadilan hidup. Dia menyadari matanya yang hitam, yang
pernah segelap langit malam, kini telah berubah menjadi warna abu dingin, mata
birunya yang sebiru samudra menjadi sekelabu dan sepudar langit saat hujan.
Malam itu, dia duduk di sana berjam-jam lamanya, menatapi kedua mata itu, dan
semakin dia menatapinya, semakin dalam pula kebenciannya. Akhirnya, setelah merasa
muak, dia lempar cermin itu ke dinding dengan teriakan keras penuh luka, dan
dia katupkan kedua matanya demi mengakhiri penderitaan hidupnya untuk selama-lamanya.
Dipetik dari sumber yang sama dengan KOMPOSISI, hlm. 11–19.
Lukisan Woman Sewing oleh Vincent Van Gogh http://www.oceansbridge.com/oil-paintings/product/76983/womansewing
Comments
Post a Comment