Malaria dan Kolonialisme
![]() |
"Pulau Onrust di dekat Batavia" karya Abraham Storck |
Pada tahun 1770 penjelajah James Cook tiba di Batavia
bersama awal kapal yang sehat; sewaktu bertolak, setelah kapalnya diperbaiki,
empat puluh anggota awak kapalnya tewas.
[ ... ]
Sejak zaman purbakala malaria sudah ada di banyak belahan
dunia. Dokumen-dokumen Cina kuno memaparkan berbagai gejalanya, sedangkan
manuskrip Assiria dan India menjelaskan bahwa malaria sudah melanda
negara-negara itu dalam skala besar ribuan tahun sebelum Masehi. Hipokrates
memaparkan ciri-ciri klinis malaria secara terperinci pada abad kelima SM, dan
dari berbagai karya Yunani klasik bisa disimpulkan bahwa malaria sering
mengganas di kalangan orang Yunani. Malaria juga merupakan penyakit endemi di
Roma kuno, wabah itu baru berhenti setelah Mussolini memerintahkan rawa-rawa
Pontine yang terkenal kumuhnya itu dikeringkan.
Di Afrika dan Asia malaria menyebar sejak zaman baheula,
tetapi di Dunia Baru pada mulanya tidak ada malaria. Pada abad keenam belas
orang Spanyol bisa menjelajahi pedalaman selama berbulan-bulan dan menyusuri
Amazon hingga Quito tanpa kehilangan seorang pun karena malaria.Tetapi cerita
ini berakhir pada tahun 1650. Pada saat itu parasit malaria banyak disebar
melalui darah para budak yang diimpor dari Afrika. Di dataran rendah benua
Amerika penyakit ini nyaris memunahkan bangsa Indian, yang sudah dihajar
habis-habisan oleh cacar dan penyakit-penyakit Eropa lainnya (McNeill 1977:
212).
Malaria memainkan peran penting dalam ekspansi Eropa. Karena
luar biasa tingginya laju kematian orang Eropa di daerah tropis akibat malaria,
ekspansi di Asia menghadapi rintangan serius dan Afrika Khatulistiwa nyaris
tetap tak terjamah oleh bangsa Eropa hingga dimanfaatkannya kina. Akibatnya,
periode imperialis—pembagian Afrika di antara beberapa negara Eropa—baru
dimulai setelah paruh kedua abad kesembilan belas. Malaria juga memainkan peran
penting dalam sejarah VOC. Barang siapa ingin memahami apa yang terjadi dengan
Kompeni pada tahun 1733, dia harus tahu sedikit banyak tentang malaria, cara
penyebaran dan gejala-gejalanya.
Malaria disebabkan oleh parasit hewan bersel tunggal dari
genus Plasmodium. Empat jenis parasit
bisa menimbulkan malaria pada manusia, tetapi hanya dua yang paling lazim yang
bersangkut paut dengan Kepulauan Melayu. Yang pertama adalah P. vivax, menyebabkan malaria yang
umumnya tidak fatal, malaria-tertiana,
atau demam tidak berbahaya. Yang kedua adalah P. falciparum, menyebabkan malaria-tropica
yang menakutkan dan sering kali berakibat fatal, demamnya mematikan. Malaria
jenis ini hanya timbul di daerah tropis, penyebaran parasit falciparum mensyaratkan suhu tinggi.
Malaria disebar oleh nyamuk betina dari genus Anopheles. Hanya anofeles betina yang
menggigit dan mengisap darah, sebab ia membutuhkan protein untuk produksi
telur; anofeles jantan adalah makhluk vegetarian dan karena itu tidak
berbahaya. Jika seseorang yang terjangkit malaria—dan menyimpan parasit dalam
darahnya—digigit oleh seekor anofeles pengisap darah, sel-sel kuman dipindahkan
ke tubuh nyamuk bersama-sama darah. Setelah sekitar sepuluh hari, nyamuk
terinfeksi dan tetap demikian sampai akhir hidupnya, tiga hingga empat minggu.
Ketika nyamuk yang terinfeksi itu menggigit orang lain, sebagian ludah nyamuk
dipindahkan ke tubuh korban berikut parasit malarianya. Parasit itu lalu
berkembang biak di hati korban, kemudian di dalam darahnya, yang menimbulkan
demam periodik yang menyerang setelah sekitar sepuluh hari dan muncul kembali
setiap dua hari (demam tertian).
Pengobatan dengan pil kina menghancurkan parasit malaria
dalam tubuh dan mengubah total proses selanjutnya penyakit itu. Jika malaria falciparum tidak diobati dengan pil kina
(atau obat modern serupa) hasilnya sering kali adalah kematian; lebih dari
separuh pasien meninggal dunia dalam tujuh hari setelah demam pertama
menyerang. Jika pasien sanggup bertahan, demam akan reda dan benar-benar lenyap
sesudah sekitar dua belas minggu. Jika malaria vivax tidak diobati dengan kina,
pasien biasanya selamat. Demamnya juga reda sesudah sekitar tiga minggu dan
lenyap setelah minggu kedua belas. Dalam kedua kasus itu pasien merasa sehat
kembali, tetapi parasit belum musnah. Tanpa pil kina parasit tetap hidup di
darah dan hati; perlahan-lahan mereka berkembang biak dalam sel-sel darah
merah, menimbulkan anemia kronis, melemahkan vitalitas dan meningkatkan
kerentanan terhadap serangan berbagai penyakit lain. Di Batavia VOC, malaria tetap tidak terobati, karena pil kina belum
ada dan kulit kina yang jauh kurang manjur hanya dipakai dalam skala amat
bersahaja.
Bagaimana orang bisa kebal terhadap malaria sudah lama
merupakan salah satu aspek yang tidak dipahami dari penyakit ini. Karena
penduduk asli jauh lebih tahan terhadap malaria ketimbang orang Eropa,
kekebalan dianggap inheren dengan ras (Harrison 1978: 4). Menjadi jelas
kemudian bahwa tumbuh di lingkungan yang tidak sehat menimbulkan efek kekebalan
yang jauh lebih besar.
Anak-anak tidak kebal saat dilahirkan. Dalam suatu
lingkungan di mana mereka sering dihadapkan pada infeksi malaria, setengah dari
mereka meninggal pada tahun pertama. Mereka yang selamat mempunyai toleransi
tertentu terhadap akibat ganas dan mematikan malaria, tetapi karena infeksi
berulang-ulang mereka tetap sakit dan lemah selama kurang lebih sepuluh tahun.
Mereka menderita anemia kronis dan berbagai penyakit lainnya. Setelah sepuluh
tahun anak-anak itu akhirnya memperoleh kekebalan (Manson-Bahr 1966: 57).
Mereka tampak sehat walafiat lagi dan, sekalipun sering terinfeksi malaria,
menjalani kehidupan normal. Kekebalan yang didapat itu bertahan selama infeksi
malaria berlanjut.
Para pendatang baru yang tidak kebal di suatu daerah
sarat malaria—seperti pegawai-pegawai VOC dari Eropa—menghadapi proses yang
sama. Setengah dari mereka meninggal
karena infeksi malaria-tropica
pertama mereka. Orang-orang yang luput dari maut tetap
menderita sakit dan lemah karena infeksi berulang-ulang.
Mereka menderita anemia kronis, kurus dan kekuning-kuningan, dan sering menjadi
mangsa empuk penyakit lain. Setelah sekitar sepuluh tahun menderita malaria-cachexie ini mereka menjadi
kebal.
[ ... ]
Sekarang sulit membayangkan betapa seriusnya malaria-cachexie dahulu. Malaria-cachexie, kompleks gejala fisik
orang-orang yang belum kebal dan secara berkala terinfeksi malaria, nyaris
lenyap sesudah 1860, ketika pil kina tersedia dalam skala besar. Kedatangan pil
kina mengakhiri gambaran yang tadinya familier tentang kawasan tropis yang
dihuni orang-orang Eropa tidak sehat dan sangat lemah yang hidup di dekat
penduduk asli yang hidup normal.
Malaria-cachexie di
lingkungan personel Kompeni di
Batavia sesudah 1733 sudah disebut dalam beberapa deskripsi. Ada satu yang
menonjol: laporan tentang ketidaksehatan yang ditulis untuk Gubernur Jenderal
Jacob Mossel pada tahun 1753 oleh Paravicini. Menurut Paravicini semua penduduk
berusia lanjut ingat bahwa sebelum 1733 “[...] orang-orang Eropa, sekalipun
menjalani hidup yang amat tidak teratur, menikmati kesehatan, kulit yang segar,
sedangkan sekarang orang terlihat seputih hantu dan sedemikian kurus dan
lemahnya hingga tidak punya kemampuan menahan sakit sedikit saja yang menyerang
mereka dan mereka begitu tidak berdaya, tampaknya mereka akan mati.” Paravicini
juga melaporkan bahwa sebagian besar karyawan kantor sudah separuh mati dan terlihat
seperti hantu; banyak serdadu, pelaut dan tukang di Batavia yang tidak bernasib
lebih baik. Fenomena pegawai yang lemah, tidak sehat dan sakit-sakitan
sebagaimana dipaparkan Paravicini adalah bagian dari proses menuju kekebalan,
seperti sudah kita maklumi.
Sial bagi Kompeni, hampir semua personelnya di Batavia
menderita malaria-cachexie sesudah
1733. Hanya pegawai-pegawai lama Kompeni, yang tinggal di kota itu lebih dari
sepuluh tahun, yang terlihat bugar kembali dan hidup normal. Orang-orang seperti
ini bisa dijumpai di kalangan pegawai senior, termasuk para gubernur jenderal
Van Imhoff, Mossel, dan Van der Parre, yang masing-masing tinggal selama dua
puluh tahun, dua puluh satu, dan empat puluh tahun di kota tidak sehat itu,
juga di antara para asisten kebanyakan, ahli bedah, dan tentara yang bertugas
kembali. Dengan membalik-balik buku-buku pembayaran kapal kita bisa menjumpai
mereka, para serdadu yang bertugas lebih dari tiga puluh tahun di Batavia, dan
menjalankan tugas jaga setelah matahari terbenam. Tetapi mayoritas personel
tinggal kurang dari sepuluh tahun di kota itu dan diserang penderitaan hebat
malaria. Mereka kurang berdaya hidup dan kurang dinamis, sehingga kondisi
mereka nyaris tidak memberi manfaat bagi operasi Kompeni.
Orang yang lahir dan hidup di Batavia tidak menderita malaria-cachexie.
Mereka adalah orang-orang yang tumbuh di kota itu dan menjadi kebal dalam
sepuluh tahun pertama dalam hidup mereka—para wanita Eropa dan warga bebas,
Mestizo (peranakan campuran Asia dan Eropa), Mardijker (keturunan budak dari
India, masuk Kristen dan dimerdekakan oleh Portugal atau Belanda), kebanyakan
orang Cina, dan penduduk asli. Ada kelompok lain lagi yaitu kelompok eksklusif
masyarakat kelas atas “Hindia”—wanita-wanita keturunan Eurasia, putri-putri pejabat
tinggi VOC, yang merupakan calon istri favorit bagi para pegawai baru ambisius
dari Belanda yang berharap mendongkrak karier dan nasib mereka lewat
perkawinan. Semua kelompok yang disebut ini hidup di Batavia tanpa diganggu
persoalan kesehatan, sekalipun infeksi malaria rajin menyambangi mereka.
Dipetik dari Peter H. Van Der Brug, Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas,
dalam Jakarta Batavia: esai sosio
kultural, penyunting: Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, penerjemah: Gita
Widya Laksmini dan Noor Cholis, Banana, KITLV, Jakarta, 2007.
Comments
Post a Comment