Opus Dei (2)



Agama, Gereja Katolik, Opus Dei, prelature personal, The Da Vinci Code
John L. Allen's Opus Dei, picture source www.penguin.co.uk
[ ... ]
Seperti organisasi yang mana pun, tujuan dan cita-cita Opus Dei turut membentuk budaya kelembagaan, persis seperti kebutuhan mendesak suatu lembaga kadang-kadang mempengaruhi cara tujuan-tujuan itu dipahami dan diterapkan.
Ada cara lain mengungkapkan pembedaan ini, beberapa bekas anggota yang tetap menjaga hubungan baik dengan Opus Dei mengatakan bahwa pengalaman mengajarkan kepada mereka bahwa tertarik pada ideal-ideal kelompok itu, terutama ide yang menyatakan bahwa pekerjaan sehari-hari bisa menjadi jalan menuju kesucian, tidak sama dengan terpanggil untuk menjadi anggota. Salah seorang bekas anggota, yang meninggalkan Opus Dei setelah lebih dari dua puluh lima tahun, menyatakan begini: “Saya memerlukan waktu yang lama untuk mengerti bahwa memahami dan “menerima” pesan Opus Dei tidak mesti merupakan sebuah panggilan pada Opus Dei. ... Saya sepenuhnya sepakat dengan pesan Opus Dei tentang seruan universal pada kesucian, dan spiritualitas Santo Josemaría tentang pengkudusan kerja dan kehidupan sehari-hari seseorang. Inilah yang dahulu membuat saya tertarik pada Opus Dei, dan sekarang pun masih begitu. Kendati demikian, ketika saya merasa sangat terpanggil untuk menyebarkan seruan universal pada kesucian ini, saya tidak pernah merasa terpanggil untuk secara khusus melakukanya menurut jiwa dan praktik Opus Dei.”
Perbedaan kedua adalah antara sosiologi para anggota Opus Dei dan filosofi Opus Dei. Filosofi itu bisa disarikan dalam kata “sekularitas” yang berarti, sebagian, bahwa Opus Dei tidak berniat bertindak sebagai kelompok kepentingan dengan agenda-agendanya sendiri, melainkan hendak membentuk umat termotivasi yang bersedia menarik kesimpulan sendiri dalam bidang politik, hukum, keuangan, seni, dan lain sebagainya. Tidak ada “garis” Opus Dei mengenai kebijakan pajak, atau perang terhadap terorisme, atau mengenai bagaimana layanan kesehatan mestinya diberikan, dan bahkan orang bakal mendapati bahwa para anggota Opus Dei mempunyai banyak sekali ragam pandangan tentang persoalan-persoalan tersebut. Orang melihat hal demikian dalam sebuah bentuk yang sangat terkonsentrasi di Spanyol, di mana bukan hal tidak lazim para politisi yang menjadi anggota Opus Dei menjadi sasaran kecaman pedas di media masa yang dilancarkan para pundit yang juga anggota Opus Dei.
Akan tetapi sekarang retakan politis terdalam di Barat cenderung berkutat pada isu-isu kultural seperti aborsi dan homoseksualitas, dan penekanan dalam Opus Dei untuk “berpikir bersama Gereja” menempatkan para anggotanya secara solid di garis kanan dalam persoalan-persoalan itu—bukan sebagai anggota Opus Dei, melainkan sebagai penganut Katolik yang menjunjung pemahaman tradisional doktrin Gereja. Tak pelak, ini berarti bahwa jenis orang yang tertarik pada Opus Dei, setidak-tidaknya di beberapa bagian dunia, kemungkinan besar datang dari lingkaran konservatif, sehingga banyak anggota Opus Dei yang membawa serta sikap konservatif mereka dalam menyikapi banyak isu lainya, entah itu menyangkut politik sekuler atau perdebatan dalam tubuh Gereja Katolik. Sehingga kecondongan politis dan teologis dalam Opus Dei jelas-jelas ke kanan, meski tentu ada perkecualian. Kendati demikian hal ini tidak banyak kaitanya dengan filosofi Opus Dei, ini lebih terkait dengan sosiologi di mana “pasar”-nya saat ini.
Kecenderungan-kecenderungan sosiologis saat ini hingga batas tertentu adalah buah dari kebetulan momen sejarah tertentu, dan bisa berubah. Opus Dei menunjukkan profil yang berbeda di Spanyol pada tahun 1930-an, 40-an, dan 50-an, ketika ia dipandang sebagai kekuatan “pembebasan” dalam arena politik sekuler maupun Gereja. Ketika batas-batas perdebatan dalam paham Katolik dan budaya lebih berkembang, sangat mungkin membayangkan sebuah masa depan di mana keanggotaan Opus Dei akan kembali terlihat tidak begitu “tradisional”, kurang begitu “konservatif”.
Opus Dei tampaknya merangsang pusat saraf paling sensitif imajinasi konspirasional dalam otak kebanyakan orang. Anda pikir saya bercanda? Sebagai bagian dari penelitian untuk buku ini, saya pernah melakukan perbincangan lewat telepon dengan seorang bekas anggota kritis Opus Dei yang bersedia membicarakan pengalamanya. Meski begitu perempuan tersebut membuka perbincangan dengan mengatakan bahwa dia mempunyai sebuah pertanyaan sebelum kami mulai: Apakah istri saya anggota Opus Dei? Saya tertawa terbahak-bahak, mengingat bahwa istri saya adalah, pertama-tama, Yahudi, dan bersikap agak ambivalen tentang agama Katolik Roma pada umumnya; dan kedua, seorang kiri tulen yang membenci Opus Dei sejak premis-premisnya. Sepanjang saya mengerjakan buku ini dia berulang kali berusaha mengatasi tegangan antara menyukai banyak anggota Opus Dei yang dia temui secara personal dan merasa wajib menentang mereka. Bagaimana bisa, saya ingin tahu, orang dapat kesan bahwa Shannon anggota “Karya”?
Ternyata istri saya megirim e-mail beberapa minggu sebelumnya kepada sekelompok teman terbatas yang memaparkan sebagian aktivitas mutakhirnya di Roma. Salah satu item yang tercantum dalam daftar menyatakan bahwa dia menghadiri sebuah pesta kecil yang diselenggarakan oleh seorang anggota Opus Dei untuk seorang teman yang hendak kembali ke Amerika Serikat. Shannon datang karena dia ingin mengucapkan selamat jalan, bukan untuk mencari pengalaman dengan Opus Dei. Tetapi referensi remeh ini, yang tentu saja beredar di dunia maya, menjadi dasar teori bahwa Shannon terlibat dengan Opus Dei, yang itu saja sudah cukup mempengaruhi benak orang tentang persoalan tersebut.
Oleh sebab itu, mari kita bereskan persoalan ini: saat ini saya bukan, dan tidak pernah menjadi, anggota Opus Dei. Tak satupun keluarga saya yang masuk Opus Dei. Saya tidak bekerja untuk Opus Dei dan tidak tergantung padanya secara financial maupun profesional. Riset untuk buku ini, termasuk perjalanan di delapan Negara (Spanyol, Italia, Peru, Kenya, Uganda, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat), diongkosi dengan uang dari kantong saya sendiri. Saya bukan anggota setia, bukan pula bekas anggota yang kecewa. Saya adalah wartawan spesialis Gereja Katolik, menaruh minat pada berbagai kabar seputar Opus Dei, dan sangat ingin mengetahui seberapa banyak realitas yang menopang kabar-kabar itu. Guna mencapai tujuan itu, saya merekam lebih dari tiga ratus jam wawancara, terbang puluhan ribu mil, berbicara dengan sahabat dan musuh Opus Dei seperti para cardinal, uskup agung, dan uskup serta umat biasa, dan menelaahliteratur tentang Opus Dei dalam beberapa bahasa. Saya yakin sudah memahami Opus Dei sebaik yang bisa dilakukan orang luar, dan saya berharap bisa mulai memisahkan fakta dari fiksi berkenaan dengan presepsi publik yang paling lazim.
Meskipun ini bukan kajian “resmi”, organisasi itu memberi saya akses orang dalam istimewa yang tidak pernah dinikmati wartawan lain mana pun sebelumnya. Ketika Doubleday berbicara kepada saya untuk pertama kalinya tentang proyek ini, saya mendekati orang-orang di kantor pusat Opus Dei Roma dengan agak gentar juga, mengingat reputasi legendaris mereka dalam urusan kerahasiaan. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya sedang berpikir-pikir untuk menulis buku tentang Opus Dei dan ingin tahu apakah mereka bersedia bekerja sama. Jawaban seketika mereka adalah “ya” dan saya pun menandatangani kontrak dan mulai bekerja. Demi kejujuran, saya harus mengatakan bahwa mereka tidak pernah bimbang dalam komitmen untuk sepenuhnya terbuka. Saya keluar masuk berbagai fasilitas Opus Dei di seluruh dunia, di cabang pria maupun wanita. Saya diberi akses untuk mendapatkan Noticias dan Cronica, jurnal-jurnal berbahasa Spanyol yang normalnya hanya diperuntukkan bagi anggota. Kepada saya diperlihatkan surat menyurat pribadi dari arsip-arsip Opus Dei yang saya minta. Saya tinggal selama lima hari di sebuah asrama Opus Dei di Barcelona, Colegio Mayor Pedralbes, agar bisa mengikuti “rencana hidup” resmi selama waktu itu. (Di antaranya, pengalaman itu menguatkan keyakinan saya bahwa saya sungguh tidak cocok bagi keanggotaan Opus Dei). Semua petinggi Opus Dei dalam lingkungan Gereja Katolik memberi saya kesempatan wawancara, termasuk Kardinal Juan Luis Cipriani dan Julián Herranz. Juru bicara Vatikan Joaquin Navarro-Valls, dan wali gereja Opus Dei, Uskup Javier Echevarría Rodríguez. Kerja sama yang diberikan Opus Dei sedemikian total, hingga pada suatu ketika seorang pejabat senior di Roma mengatakan kepada saya bahwa organisasi itu sedang mempertunjukkan sebuah “tari telanjang global” atas permintaan saya.
Mengapa Opus Dei mau melakukan itu? Pertama, kesan saya adalah mereka sebetulnya sama sekali tidak setertutup yang umumnya diyakini. Mereka tidak perlu diyakin-yakinkan tentang perlunya kerja sama; justru sebaliknya saya dapati mereka bersemangat mengungkapkan kisah mereka. Kedua, saya yakin mereka memperhitungkan bahwa sebuah buku objektif yang mengkritik kelompok itu lebih disukai ketimbang mitologi dan prasangka yang kelewat sering menyelimuti perbincangan publik. Mereka siap menerima pukulan keras, dengan catatan, itu dilakukan dengan adil. Apakah mereka masih merasa seperti itu setelah membaca buku ini, tentu masih harus dilihat.

[ ... ]
8 Desember 2004

Hari Konsepsi Immakulata

Diterjemahkan dengan pemilahan seperlunya dari John L. Allen, Opus Dei: The Truth about its rituals, secrets and power, Penguin Books, Introduction, hlm. 1-11.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)