Ekspedisi Kutub (3)


 
Terjemahan karya Annie Dillard, Expedition to the Pole
Annie Dillard's Teaching a Stone to Talk, picture source www.fantasticfiction.co.uk
 (Sebelumnya)
                                                    Daratan
      Tuhan tidak menyuruh agar kita mencampakkan gengsi, agar kita memilih orang secara serampangan, agar kita tersesat dan menampik apa saja yang bukan dia. Tuhan tidak butuh apa-apa, tidak minta apa pun, tidak menuntut apa-apa, seperti bintang-bintang. Hidup bersama Tuhanlah yang menghendaki semua itu.
     Pengalaman mengajarkan pada umat manusia bahwa bila pengetahuan tentang Tuhan adalah tujuan, maka kebiasaan-kebiasaan hidup itu bukan sarana melainkan kondisi di mana sarana itu beroperasi. Anda tidak perlu melakukan itu semua; sama sekali tidak perlu. Tuhan, aku menyesal harus mengatakan ini, sama sekali tidak peduli. Anda tidak perlu melakukan semua itu—kecuali Anda ingin mengenal Tuhan. Semua itu mempengaruhi Anda, bukan Tuhan.
     Anda tidak perlu duduk di luar dalam gelap. Namun, jika ingin melihat bintang-bintang, Anda akan tahu bahwa kegelapan memang diperlukan. Tetapi bintang-bintang tidak membutuhkan atau menghendaki kegelapan.
  
                                                 Teknologi
      Ini cuma soal perhitungan: berapa jauh orang berjalan membawa berapa banyak perak? Komputer tidak punya urusan dengan persoalan ini; terlalu banyak yang tidak diketahui. Komputer punya pertanyaan sendiri: Siapa “orang” itu? Sejauh mana stamina yang bisa kita perhitungkan? Dalam kondisi bagaimana orang itu berencana berjalan, pada garis lintang berapa? Berapa temannya, berapa banyak bantuannya?
Jemaat
      Misa itu dirancang untuk sampai ke titik ini, sampai pada ucapan takzim frase hening yang disebut Sanctus. Kami mengakui, dalam gumam jelas namun lirih, dosa-dosa kami; kami menjadi orang yang hancur, lalu orang itu dibuat utuh berkat persetujuan ogah-ogahan kami terhadap pernyataan pastor tentang ampunan Tuhan. Kemudian, seperti biasanya, kami akan, dalam suara paling sunyi, terpaku, mengulang Sanctus lagi, mengulangi mengapa begini kami jadinya:
Kudus, kudus, kuduslah nama-Mu,
Tuhan Maha Kuasa dan Perkasa,
langit dan bumi penuh kemuliaanmu...
 
      Di sinilah, andai terjadi, orang tersesat di laut. Di sini, mata berputar-putar, matahari berputar di atas kepala, lempeng es apung berputar di bawah kaki, dan pemandangan es dan laut yang tidak bisa dibedakan berputar di atas kutub planet dan di atas tepian luas dan tak kasatmata dunia.
     Lalu, tatkala kami larut dalam privasi dan hendak mengucapkan kata-kata Sanctus, penyanyi utama Wildflowers mendadak naik panggung dari samping. Kuangkat kepala. Melangkah panjang dan penuh semangat, dia mengguncang leher gitarnya naik turun sekuat tenaga. Berjalan gontai mengikutinya adalah perempuan bergaya country berambut oranye itu; lalu si penyanyi sopran yang, agar terlihat lebih pendek, memajukan lehernya seperti kuda; lalu bocah introver itu; dan orang Cina itu, yang memegang tamborin seolah-olah benda itu melekat karena semacam cacat di jari-jarinya dan dia bertekad melupakannya. Kelompok itu berbanjar berkelompok tepat di depan panggung. Sang pastor tidak terlihat sama sekali.
     Sayang seribu sayang, celaka dua belas, oh saudara-saudara, kami harus menyanyikan Sanctus. Tentu saja tidak ada yang baru tentang menyanyikan Sanctus. Penyanyi utama itu tersenyum meyakinkan. Ada sebuah aransemen baru. Dia menekan sebuah kunci nada dengan tangannya. Dengan semangat yang tiba-tiba muncul laki-laki Cina itu menghentak-hentakkan tamborinnya, dia terpana. Mereka memimpin kami menyanyikan Sanctus tiga atau empat kali. Liriknya sedikit diubah agar sesuai irama riang gembira:
Langit dan bumi
(Langit dan bumi bumi bumi bumi bumi)
Penuh (penuh penuh penuh)
Kemuliaanmu . . .

     Apakah aku harus turut menyanyi? Bolehkah aku menyimpan perakku saja? Papan backgammon-ku, aku sepakat, adalah sesuatu yang tidak penting. Aku mencampakkannya. Akan kutinggalkan di sini di es ini. Tetapi perakku? Lambang keluargaku? Satu pisau, satu garpu, satu sendok, yang kubawa di bawah pandangan langit dan harus kembali? Aku sudah membawanya ke mana-mana bertahun-tahun; aku, jelas sekali, amat sangat kuat. Jangan tertawa. Aku memang sangat kuat! Jangan tertawa; kalian malah akan membuat aku tertawa. Jawabannya adalah tidak. Kami menyanyikan Sanctus, sepertinya begitu, dan mereka mulai mengedarkan piring. Lebih baik, rasanya, aku melewatkan malam pekat jiwa yang termasyhur itu ketimbang mendapati di gereja gerombolan penyanyi dadakan yang mengerikan itu—tetapi preferensi yang sepenuhnya personal ini sama sekali tidak penting, lagi pula tidak cocok. Mereka mengedarkan piring dan aku mencemplungkan masa sekolahku; aku mencemplungkan pangkatku di Angkatan Laut Inggris, peta-peta salah dan tidak rampungku, penolakan religiusku untuk makan anjing-anjing penarik kereta salju, jamku, kunciku, dan sepatuku. Aku mencari permainan yang lebih besar, bukan pelajaran moral remeh; tetapi siapa yang bisa berdebat dengan kondisi?
     “Langit dan bumi bumi bumi bumi bumi,” kami menyanyi. Bocah introver itu menoleh kepada seorang pria yang berada di depanku. Pasti ayahnya. Entah mengapa, penyanyi sopran remaja yang amat jangkung menatap mataku, riang gembira. Geletar atau kejutan kecil melintasi lempeng es apung kami. Kami sudah lepas dari pulau es apung; kami sudah menyeberangi Lingkar Artik, dan arus menggiring kami.


Daratan
      Kami berdesakan di atas sebuah lempeng es apung yang hanyut di laut hitam kutub. Langit dan bumi disesaki nyanyian mengerikan kami. Di atas kami melihat terang yang kabur dan tidak berwarna; di bawah kami melihat es memburam dan melaju cepat serta salju yang kembali mengkristal. Laut hitam dan hijau; seratus ribu lempeng es dan gunung es mengapung di air dan berpusing lalu pecah dalam arus di sekeliling kami sejauh mata memandang. Angin terasa dingin, lembap, dan beraroma garam.
     Aku mengenakan, ternyata, seragam Keystone Kop.* Aku meneliti topiku: topi kardus hitam polisi dengan bintang putih timbul melekat pada pita di atas lingkaran tepi topi. Jaket Keystone Kop gelapku dilingkari sabuk bagus, lengkap dengan sebuah lencana tersemat di dadaku segala. Sarung pistol di pinggangku berisi sepucuk pistol mainan dengan sumbat berbenang, dan segulung dopis merah. Walaupun kakiku telanjang, aku tidak merasakan dingin. Aku meluncur di atas es, dan menyanyi, dan menubruk orang-orang yang, karena licinnya es, menubruk orang lain. “Maaf!” ucapku terus-menerus, “Aku minta maaf atas gangguan ini!”
     Ketika retakan di lempeng es kami bertambah besar dan menganga di kakiku, aku melompatinya—dengan tangkas, kurasa—tetapi lompatanku justru menjauhkan tepian lempeng esku itu, dan mengakhiri semuanya dengan mencebur ke air. Laki-laki Cina itu mengulurkan tangan untuk menarikku, tapi celakanya dia tergelincir dan aku menariknya ke air. Orang Cina itu dan aku mengerak-gerakkan kaki dan tangan agar tetap mengambang, menyanyi, dan mengundang kerumunan kecil penonton. Diperlukan sekelompok badut sirkus untuk menarik kami dari air. Aku langsung memeriksa seragamku dan mendapati bahwa topiku yang membuatku sedikit lebih menarik ternyata masih utuh, celana panjangku nyaris tidak kusut, tetapi gulungan dopisku basah. Orang Cina itu baik-baik saja; kami berterima kasih kepada para badut itu.
     Rombongan badut sirkus ini, aku dengar-dengar, dibayar murah. Mereka mengenakan baju longgar berwarna terang; mereka adalah sekawanan anak-anak spontan, tidak terampil, dan berbadan ekstra besar; mereka melucu dan menyenggol orang-orang. Di salah satu tepi lempeng es apung itu, sepuluh orang di antara mereka—merah, kuning, dan biru—berusaha saling panjat untuk membentuk piramida manusia. Sungguh pemandangan yang sangat lucu, karena mereka menempatkan empat badut paling kecil di bawah, dan badut yang paling besar, paling gendut, berusaha memanjat ke puncak. Badut-badut lainnya bersenam; mereka berguling-guling di es dan melompat-lompat riang gembira. Salib mereka beterbangan dari leher berjumbai mereka saat mereka melompat, dan menghujani kepala botak mereka saat mereka mendarat. Lempeng es apung kami mengecil, dan tampaknya kami hanyut ke arus yang lebih cepat. Berkali-kali kami menabrak gunung es kecil, yang bergoyang ketika kami tabrak. Beberapa gunung es itu terbalik seperti sansak; lalu kembali ke posisi semula diiringi suara air berdebur keras, dan air meluncuri sisi-sisi biru saat gunung-gunung es itu tegak. Perempuan bergaya country itu menolak beberapa gunung es yang lebih besar dengan sapu. Orang-orang kikuk berkumis itu menemukan, atau membawa, sebuah Frisbee, dan sebuah permainan menjadi seru di tengah-tengah lempeng es apung kami. Di dekat permainan Frisbee, sekelompok orang termasuk aku dan beberapa badut berlari-lari. Kami menjatuhkan diri di es, bahu lebih dahulu, dan meluncur jauh seperti bola hoki.
     Lalu musik berhenti dan kami duduk di bangku. Ada bayi yang hendak dibaptis. Di atas, langit menjadi cerah; aku tidak tahu apakah ini berarti kami hanyut makin jauh ke utara, atau sepanjang malam.


Jemaat
      Bayi itu bernama Oswaldo; dia adalah bayi sangat kurus yang terlihat berumur sekitar setahun. Dia tidak pernah merengek; dia terlihat muram, kaku seperti ikan terubuk asin. Orang tuanya—ayahnya menggendongnya—dan orang tua permandiannya, pastor, dan dua mesdinar, berdiri di atas es di antara deret pertama bangku dan sakristi berlantai linoleum itu. Kuistirahatkan kaki telanjangku di bantalan lutut beludru—agar kaki itu tidak bermain-main di es selama acara pembaptisan.
     Oswaldo berdarah setengah Filipina. Ibunya orang Filipina. Bermulut lebar dengan lipstik tebal, dan mata lebar, perempuan itu mengenakan rok hitam ketat dan sepatu stiletto. Ayahnya terlihat seperti Ozzie Nelson. Rambutnya kuning ikal, wajahnya tenang dan lembut, hidungnya besar dan lembut juga. Dia mengenakan jaket kulit pilot cokelat. Kedua orang tua baptisnya adalah orang Filipina, salah satunya, yang mengenakan jumpsuit denim pastel, terus-menerus pasang aksi untuk kamera Instamatic yang dijepretkan anggota keluarganya dari sela-sela bangku gereja.
     Bayi itu mempunyai bekas luka kecil merah di bawah sebelah matanya. Dia mengenakan jubah baptis berenda putih panjang, sepatu tenis biru berujung karet putih, dan kaus kaki merah.
     Pastor meminyaki kepala bayi itu. Kepada orang tua bayi dia menanyakan dogma iman: “Apakah kalian mengimani Tuhan, Bapa Yang Mahakuasa, pencipta Langit dan bumi?” “Ya, kami beriman.”
    Pastor itu mengulang-ulang gerakan yang menurutnya adalah gerakan Kristus, menjelaskan bahwa secara simbolis gerakan itu membuka panca indera anak itu terhadap pengetahuan tentang Tuhan. Sambil merapal doa, dia melatakkan tangannya dengan lembut di wajah Oswaldo dan berturut-turut menyentuh dengan cepat mata, telinga, dan mulutnya. Bayi itu berkedip-kedip. Pastor itu, yang suaranya kadang-kadang hilang dalam gelambir lehernya, atau tertiup angin, berpembawaan formal dan santun; dia tahu bahwa bocah itu menggemaskan, tetapi dia tidak berminat menjadikan sakramen sentimental.
     Karena lempeng es apung kami berputar, kami yang duduk di bangku gereja melihat lempeng es apung yang retak dan gunung es yang miring itu, laut kutub yang tenang, langit yang bercahaya warna-warni dan tepian air, bergerak cepat dan berputar kencang di belakang sekelompok orang yang berdiri merubung bayi. Rasanya aku melihat beruang kutub kekuningan muncul dari air dengan luwesnya seakan-akan memanjat dan turun sama adanya. Aku melihat beruang itu mencebur dan berenang ke lempeng gunung es yang terlihat bergoyang-goyang di kejauhan.
    Kemudian para mesdinar membawa sebuah teko, baskom, dan handuk linen. Sang ayah memiringkan bayi kaku itu di atas baskom; sang pastor menuangkan air teko ke kulit kepala si bayi; sang ibu mengelap bayinya dengan handuk linen dan melilitkannya di kepala si bayi, sehingga dia tampak, sungguh mengesankan, soalah-olah baru saja diangkat menjadi swami.
     Sebagai penutup, pastor mengeluarkan sebatang lilin, dengan maksud agar, kurasa, semua orang mengikat persaudaraan Kristen dengan Oswaldo. Sesungguhnya, aku tidak tahu untuk apa itu sebenarnya; aku tidak mendengarkan. Aku sedang mengamati tangan-tangan di kandil. Masing-masing pihak yang berkepentingan memegang kandil itu: dua mesdinar dengan tangan mungil dan pucat mereka di bagian terbawah, kedua keluarga—keluarga Oswaldo dan keluarga orang tua baptisnya—dengan tangan-tangan beraneka warna mereka berurutan, dan berada di urutan teratas adalah tangan sang pastor, seolah-olah dia baru saja menang undian giliran memukul bola dalam baseball. Bayi itu bertumpu di tangan ayahnya, meluruskan tumit dalam sepatu tenisnya, diam, ingin turun. Ayahnya memeganginya kuat-kuat dengan satu tangan dan memegang kandil di sebelah tangan istrinya dengan tangan satunya lagi. Sang pastor dan anggota Wildflowers yang duduk bertepuk tangan maka—satu tepuk tangan lagi untuk semua orang di es ini!—kami pun bertepuk tangan.


* The Keystone Kops adalah sekelompok karakter jenaka dalam sejumlah film bisu garapan Mack Sennet (1884 – 1960). Regu polisi kocak ini mengenakan seragam amat kedodoran—penerjemah.


(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)