Ekspedisi Kutub (1)
Annie Dillard, Teaching a Stone to Talk, picture source www.fantasticfiction.co.uk |
I
Pada mulanya semuanya terasa mengecewakan, sebab aku
berusaha mengatasi latar belakang sangat anti-Katolik untuk menghadiri Misa hanya demi menghindari gitar Protestan.
Mengapa aku di sini? Siapa yang memberi orang-orang Katolik yang baik ini
gitar? Mengapa mereka tidak bersenandung dalam bahasa Latin dan melakukan ritual-ritual
takhayul? Apa yang sedang dipikirkan Paus?
Tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa segalanya akan
mudah. Lagi pula, hasrat pada sesuatu yang mulia adalah ketamakan seperti
hasrat lainnya; buat apa menyesali gereja dengan sekularismenya saat ini,
ketika dari meja bersama itu sedang muncul sebuah lagu bersama? Di samping itu,
dalam suatu cara yang aku tidak berlagak tahu, orang-orang ini—semua orang di
semua gereja yang menggelikan—tahu jalan ke daratan itu.
Daratan
Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai adalah “titik imajiner
di Laut Artik yang paling jauh dari daratan mana pun.” Itulah sebuah titik pada
peta seorang navigator yang dibuat untuk menghibur para penjelajah Artik yang,
setelah Peary dan Henson mencapai Kutub Utara pada tahun 1909, tidak punya
tujuan istimewa lagi. Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai itu ada juga di benua
Antartika; itulah titik di daratan yang paling jauh dari air asin di segala
arah.
Yang Absolut adalah Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai yang
terletak di dunia metafisika. Memang, satu dari sedikit yang kita tahu tentang
yang Absolut adalah ia relatif tidak bisa dicapai. Itulah titik jiwa yang
paling jauh dari setiap titik jiwa yang bisa dicapai dari segala arah. Seperti
yang lainnya, itulah Kutub Paling Sulit. Itu juga—aku menerimanya begitu
saja—kutub yang paling berharga.
Ini adalah hari Minggu kedua Adven. Sudah setahun aku
menghadiri Misa di gereja Katolik ini. Setiap hari Minggu selama setahun aku
kabur dari rumah dan mengikuti sirkus sebagai beruang menari. Kami para beruang
menari dalam pakaian berkancing; kami berjingkat anggun mengitari lingkaran
dengan dua kaki. Hari ini begitu melelahkan; kami sering-sering bertumpu pada
kaki depan kami.
Tidak seorang pun, tidak pula pemain orgel, yang bisa
menemukan himne pembuka. Tidak ada yang tahu. Dan tidak seorang pun yang bisa
menyanyi.
Tidak ada khotbah, hanya pengumuman.
Dengan
bangga pastor memperkenalkan mesdinar bengal
yang akan menyalakan dua lilin Adven. Seperti yang bisa kami lihat dengan
jelas, mesdinar bengal itu sudah menyalakannya.
Selama
doa perantara yang panjang, pastor itu tak henti-henti membaca “permohonan”
jemaat paroki. Permohonan itu berupa lembaran-lembaran kertas, dimasukkan ke
dalam kotak sebelum kebaktian dimulai, yang ditulisi keperluan pribadi jemaat,
meminta doa khalayak dari kami. Pastor membaca permohonan-permohonan itu, satu
demi satu, dan kami menjawab sesuai petunjuk. “Untuk kelahiran bayi pada
tanggal dua puluh November dengan selamat,” pastor melagukan permohonan, “kita
berdoa kepada Tuhan.” Kami semua menjawab, “Tuhan, dengarlah doa kami.”
Tiba-tiba pastor menyela dan berkata
pelan ke kepala kami yang menunduk, “Inilah bayi yang kita doakan selama dua
bulan ini! Perempuan itu tak
henti-hentinya berusaha hamil!” Betapa sering, betapa amat seringnya, aku
kelelahan di gereja karena berusaha menahan diri agar tidak tertawa keras-keras!
Aku sering tertawa sepanjang berjalan pulang. Lalu pastor membacakan permohonan
berikutnya: “Kepada putraku, semoga dia mau memaafkan ayahnya. Kami berdoa
kepada Tuhan.” “Tuhan, dengarlah doa kami,” jawab kami, khidmat.
Sebuah pementasan drama SMA jauh lebih elegan daripada
kebaktian ini, yang kami sudah berlatih untuk itu sejak tahun pertama. Selama
dua ribu tahun, kita tidak berlatih membungkuk. Tentu kita sangat mengagungkan
gerakan itu. Minggu demi minggu kami menyaksikan keajaiban yang sama: begitu
mahakuasa Tuhan hingga Dia mampu menahan tawanya sendiri. Minggu demi minggu,
kami menyaksikan keajaiban yang sama: Tuhan, untuk alasan yang tidak bisa dimengerti,
menahan diri dari menghancurkan berkeping-keping aksi tari beruang kami. Minggu
demi minggu Kristus membasuh kaki kotor murid-muridnya, bahkan mengusap jari
kaki mereka, dan berkata berulang-ulang, Tidak ada salahnya—boleh percaya boleh
tidak—menjadi manusia biasa.
Siapa yang percaya itu?
Dalam komuni, pastor memberiku sebuah hosti yang ternyata
melekat pada lima hosti lainnya. Aku menunggu ketika pastor itu membagi-bagi
hosti lengket tersebut menjadi potongan-potongan hosti, sambil melawan dorongan
untuk menolong. Tepat di sebelah kiriku, di ujung semua jemaat, seorang
perempuan memainkan lagu dari The Sound
of Music dengan piano asal keras.
Daratan
Para penjelajah abad kesembilan belas menetapkan pola
bagi penjelajahan kutub. Kapal-kapal dengan perbekalan lengkap bertolak menuju
kutub. Tak lama kemudian armada itu
menjumpai pulau es apung dan badai ekuinoks. Es menyelimuti geladak, galah
simpul, dan tali-temali; tiang dan lambung kapal bergetar hebat; laut membeku
mengepung sirip kemudi, lalu melumpuhkan kapal. Para pelaut generasi awal
mencoba menabrak, menggergaji, atau meledakkan es di depan kapal, sebelum
akhirnya menyerah dan tinggal di situ selama musim dingin. Pada abad kesembilan
belas, keadaan “terkurung” pulau-pulau es apung tersebut sering membunuh kru
ekspedisi kutub; para penjelajah generasi berikutnya sudah memperhitungkan dan
belajar, akhirnya, untuk memanfaatkan hal itu. Kadang-kadang para perwira dan
anak buah kapal langsung pindah ke pulau apung es demi keselamatan; mereka
menancapkan patok pemancang tenda ke es dan menumpuk kotak-kotak kayu di
sekitar tenda untuk meja dan kursi.
Cepat atau lambat, orang-orang yang sanggup bertahan
melewati musim dingin itu atau musim dingin berikutnya, atau sekelompok kru
kutub pilihan, berangkat menjelajahi pulau es berjalan kaki. Tergantung pada
keadaan, mereka mencari Kutub atau, kemungkinan lebih besar, pertolongan.
Mereka mengangkut perbekalan, termasuk perahu, di atas kereta luncur “bertenaga
manusia” yang ditarik dengan tali yang diikatkan di pundak. Ekspedisi Kutub
Selatan biasanya dimulai dari sebuah pangkalan yang didirikan di pantai.
Umumnya, dataran yang harus dilalui sangat ganas, dan orang-orang menjadi
begitu lemah karena skorbut, sehingga kelompok itu hanya mampu beranjak beberapa
kilometer sehari. Kadang-kadang mereka menemukan sebuah pulau di mana mereka
bisa hidup atau kelaparan pada musim dingin berikutnya; kadang-kadang mereka
kembali karena alasan keselamatan, mencari koloni terluar peradaban, atau
diselamatkan oleh ekspedisi lain; sering kali, ketika cuaca hangat tiba dan
pulau apung es pecah menjadi lempeng-lempeng es apung, mereka menghanyut
menurut arus dan mendirikan tenda di salah satu lempeng es apung itu, atau melompat dari
lempeng es ke lempeng es lainnya, sampai lempeng es apung yang terakhir merapat
ke daratan, pecah, atau mencair.
Pada tahun 1847, menurut sejarawan Artik L. P. Kirwan,
kapal Amerika Polaris “ditabrak
lempeng es apung yang sangat besar. Dan ketika semua perbekalan, catatan,
pakaian, perlengkapan, terlempar dari kapal yang oleng itu, Polaris ditelan temaram Artik berikut
sebagian besar, tetapi tidak semua, awak yang masih berada di dalamnya. Mereka
yang selamat hanyut sejauh dua ribu kilometer di atas sebuah lempeng es apung
sampai mereka diselamatkan, dalam keadaan kelaparan dan setengah sadar, di
lepas pantai Labrador.”
Para penjelajah Kutub dipilih, sebagaimana para astronot
saat ini, lewat persaingan ketat orang-orang perkasa, terampil, dan sehat
walafiat. Kebanyakan pemimpin Inggris, khususnya, adalah orang-orang
berkepribadian menakjubkan. Membaca riwayat hidup mereka in extremis, orang pasti terpana melihat formalitas tanpa akhir di
antara mereka. Ketika Kapten Oates, anggota ekspedisi Scott, mengorbankan diri
di semenanjung Antartika karena kakinya yang hancur menghambat perjalanan, dia
keluar tenda pada suatu malam untuk membekukan diri dalam badai salju, seraya
berkata kepada rekan-rekannya, “Aku mau keluar, mungkin agak lama.”
Bahkan dalam privasi jurnal dan buku harian mereka, para
penjelajah kutub merawat simpanan berharga. Dalam jurnalnya, Ernest Shackleton
memaparkan perasaannya saat melihat, untuk pertama kalinya dalam sejarah
manusia, benua Antartika di balik pegunungan yang mengelilingi Lempeng Es Ross:
“Kami menyaksikan pegunungan baru muncul dari dataran luas tak dikenal yang
terhampar di hadapan kami,” tulisnya, “dengan rasa ingin tahu sangat besar, dan
tentu bukan tanpa rasa gentar.” Orang bertanya-tanya, setelah membaca banyak
sekali paparan tangan pertama semacam itu, jangan-jangan para penjelajah kutub
entah bagaimana memang dipilih karena kehampaan dan kemegahan khidmat gaya
prosa mereka—atau bahkan jangan-jangan orang-orang Victorian terkemuka, setelah
merenungi gaya prosa mereka sendiri, sadar, mungkin merasa kecil hati,
berdasarkan pemahaman itu, mereka bergabung dengan ekspedisi kutub. Salomon Andrée, pengendara balon
Swedia yang naas itu, sekarat kelaparan di sebuah pulau Artik ketika dia
menulis dalam buku hariannya, dengan napas nyaris sekaratnya, “Perbekalan kita
harus segera ditambah sebanyak mungkin, kalau kita masih ingin punya peluang
untuk bertahan sejenak.”
Jemaat
Liturgi baru Episkopal dan Katolik menyertakan sebuah
bagian yang disebut “menebarkan salam”. Banyak hal bisa melenceng dalam hal
ini. Aku tahu sebuah jemaat di New York
yang memecat pendetanya karena dia mendesak mereka menebar salam damai—yang
sebetulnya tidak lebih dari menjabat tangan orang-orang yang duduk di sebelah
Anda. Para anggota pria dan wanita jemaat kecil ini mempunyai batas ketahanan
sendiri; menebar salam berada di luar batas itu. Mereka tidak tahan harus
berjabat tangan dengan orang yang mereka benci sepanjang hidup. Mereka memecat
pendeta itu dan menemukan pendeta baru yang lebih memahami kebutuhan mereka.
Ketentuan untuk menebar salam menghendaki seseorang
menjabat tangan siapa saja yang ada di dekatnya seraya berkata, “Damai
menyertaimu.” Yang disalami menjawab, “Damai menyertaimu.” Walaupun sangat jarang, ada saja yang cuma menjawab,
“Damai.” Hari ini aku duduk di sebelah
dua remaja kikuk berkumis tipis. Saat tiba waktunya menebar salam aku menjabat
tangan salah satu dari mereka sambil berucap, “Damai menyertaimu,” dan dia
menjawab, “Yeah.”
Comments
Post a Comment