Ekspedisi Kutub (1)



terjemahan sastra
Annie Dillard, Teaching a Stone to Talk, picture source www.fantasticfiction.co.uk
I

      Sebuah kelompok paduan suara tampil di gereja Katolik itu hari ini, kelompok yang menamakan diri “Wildflowers. Pemimpinnya adalah remaja pria jangkung, rahangnya persegi, periang dan girang betul berada di situ. Menyandang gitar; dia memetik melodi bercorak blues sebentar dan memainkan beberapa nada. Semua anggota Wildflowers mengikutinya. Turut bersama mereka adalah seorang perempuan tua, keseriusannya mengagumkan; dia berambut panjang oranye dan berbusana ala pemusik country. Sabuk kulit panjang berenda yang mengalungi lehernya mengayun-ayunkan gitar western besar sedikit di atas pinggulnya. Di sampingnya berdiri bocah laki-laki ringkih empat belas tahun dan introver, dan seorang lelaki Cina dua puluh tahunan bertubuh besar yang tampaknya ingin membuat diri merasa nyaman namun tidak tahu bagaimana caranya. Matanya jelalatan mengamati sekeliling saat menyanyi, kakinya digerak-gerakkan ke sana kemari. Selain itu ada seorang gadis remaja amat jangkung, tampaknya pacar si pemimpin. Pembawaannya lembut, separuh tenang dan separuh takut. Dia penyanyi  sopran kurus. Mereka berbaris asal-asalan di depan altar dan mengajari kami sebuah himne baru.
     Pada mulanya semuanya terasa mengecewakan, sebab aku berusaha mengatasi latar belakang sangat anti-Katolik untuk menghadiri Misa hanya demi menghindari gitar Protestan. Mengapa aku di sini? Siapa yang memberi orang-orang Katolik yang baik ini gitar? Mengapa mereka tidak bersenandung dalam bahasa Latin dan melakukan ritual-ritual takhayul? Apa yang sedang dipikirkan Paus?
     Tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa segalanya akan mudah. Lagi pula, hasrat pada sesuatu yang mulia adalah ketamakan seperti hasrat lainnya; buat apa menyesali gereja dengan sekularismenya saat ini, ketika dari meja bersama itu sedang muncul sebuah lagu bersama? Di samping itu, dalam suatu cara yang aku tidak berlagak tahu, orang-orang ini—semua orang di semua gereja yang menggelikan—tahu jalan ke daratan itu.

Daratan

     Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai adalah “titik imajiner di Laut Artik yang paling jauh dari daratan mana pun.” Itulah sebuah titik pada peta seorang navigator yang dibuat untuk menghibur para penjelajah Artik yang, setelah Peary dan Henson mencapai Kutub Utara pada tahun 1909, tidak punya tujuan istimewa lagi. Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai itu ada juga di benua Antartika; itulah titik di daratan yang paling jauh dari air asin di segala arah.
     Yang Absolut adalah Kutub Relatif Tidak Bisa Dicapai yang terletak di dunia metafisika. Memang, satu dari sedikit yang kita tahu tentang yang Absolut adalah ia relatif tidak bisa dicapai. Itulah titik jiwa yang paling jauh dari setiap titik jiwa yang bisa dicapai dari segala arah. Seperti yang lainnya, itulah Kutub Paling Sulit. Itu juga—aku menerimanya begitu saja—kutub yang paling berharga.

                                                 Jemaat

      Ini adalah hari Minggu kedua Adven. Sudah setahun aku menghadiri Misa di gereja Katolik ini. Setiap hari Minggu selama setahun aku kabur dari rumah dan mengikuti sirkus sebagai beruang menari. Kami para beruang menari dalam pakaian berkancing; kami berjingkat anggun mengitari lingkaran dengan dua kaki. Hari ini begitu melelahkan; kami sering-sering bertumpu pada kaki depan kami.
     Tidak seorang pun, tidak pula pemain orgel, yang bisa menemukan himne pembuka. Tidak ada yang tahu. Dan tidak seorang pun yang bisa menyanyi.
     Tidak ada khotbah, hanya pengumuman.
     Dengan bangga pastor memperkenalkan mesdinar bengal yang akan menyalakan dua lilin Adven. Seperti yang bisa kami lihat dengan jelas, mesdinar bengal itu sudah menyalakannya.
     Selama doa perantara yang panjang, pastor itu tak henti-henti membaca “permohonan” jemaat paroki. Permohonan itu berupa lembaran-lembaran kertas, dimasukkan ke dalam kotak sebelum kebaktian dimulai, yang ditulisi keperluan pribadi jemaat, meminta doa khalayak dari kami. Pastor membaca permohonan-permohonan itu, satu demi satu, dan kami menjawab sesuai petunjuk. “Untuk kelahiran bayi pada tanggal dua puluh November dengan selamat,” pastor melagukan permohonan, “kita berdoa kepada Tuhan.” Kami semua menjawab, “Tuhan, dengarlah doa kami.” Tiba-tiba pastor  menyela dan berkata pelan ke kepala kami yang menunduk, “Inilah bayi yang kita doakan selama dua bulan ini!  Perempuan itu tak henti-hentinya berusaha hamil!” Betapa sering, betapa amat seringnya, aku kelelahan di gereja karena berusaha menahan diri agar tidak tertawa keras-keras! Aku sering tertawa sepanjang berjalan pulang. Lalu pastor membacakan permohonan berikutnya: “Kepada putraku, semoga dia mau memaafkan ayahnya. Kami berdoa kepada Tuhan.” “Tuhan, dengarlah doa kami,” jawab kami, khidmat.
     Sebuah pementasan drama SMA jauh lebih elegan daripada kebaktian ini, yang kami sudah berlatih untuk itu sejak tahun pertama. Selama dua ribu tahun, kita tidak berlatih membungkuk. Tentu kita sangat mengagungkan gerakan itu. Minggu demi minggu kami menyaksikan keajaiban yang sama: begitu mahakuasa Tuhan hingga Dia mampu menahan tawanya sendiri. Minggu demi minggu, kami menyaksikan keajaiban yang sama: Tuhan, untuk alasan yang tidak bisa dimengerti, menahan diri dari menghancurkan berkeping-keping aksi tari beruang kami. Minggu demi minggu Kristus membasuh kaki kotor murid-muridnya, bahkan mengusap jari kaki mereka, dan berkata berulang-ulang, Tidak ada salahnya—boleh percaya boleh tidak—menjadi manusia biasa.
      Siapa yang percaya itu?

      Dalam komuni, pastor memberiku sebuah hosti yang ternyata melekat pada lima hosti lainnya. Aku menunggu ketika pastor itu membagi-bagi hosti lengket tersebut menjadi potongan-potongan hosti, sambil melawan dorongan untuk menolong. Tepat di sebelah kiriku, di ujung semua jemaat, seorang perempuan memainkan lagu dari The Sound of Music dengan piano asal keras.

Daratan
    
     Para penjelajah abad kesembilan belas menetapkan pola bagi penjelajahan kutub. Kapal-kapal dengan perbekalan lengkap bertolak menuju kutub. Tak lama kemudian armada  itu menjumpai pulau es apung dan badai ekuinoks. Es menyelimuti geladak, galah simpul, dan tali-temali; tiang dan lambung kapal bergetar hebat; laut membeku mengepung sirip kemudi, lalu melumpuhkan kapal. Para pelaut generasi awal mencoba menabrak, menggergaji, atau meledakkan es di depan kapal, sebelum akhirnya menyerah dan tinggal di situ selama musim dingin. Pada abad kesembilan belas, keadaan “terkurung” pulau-pulau es apung tersebut sering membunuh kru ekspedisi kutub; para penjelajah generasi berikutnya sudah memperhitungkan dan belajar, akhirnya, untuk memanfaatkan hal itu. Kadang-kadang para perwira dan anak buah kapal langsung pindah ke pulau apung es demi keselamatan; mereka menancapkan patok pemancang tenda ke es dan menumpuk kotak-kotak kayu di sekitar tenda untuk meja dan kursi.
     Cepat atau lambat, orang-orang yang sanggup bertahan melewati musim dingin itu atau musim dingin berikutnya, atau sekelompok kru kutub pilihan, berangkat menjelajahi pulau es berjalan kaki. Tergantung pada keadaan, mereka mencari Kutub atau, kemungkinan lebih besar, pertolongan. Mereka mengangkut perbekalan, termasuk perahu, di atas kereta luncur “bertenaga manusia” yang ditarik dengan tali yang diikatkan di pundak. Ekspedisi Kutub Selatan biasanya dimulai dari sebuah pangkalan yang didirikan di pantai. Umumnya, dataran yang harus dilalui sangat ganas, dan orang-orang menjadi begitu lemah karena skorbut, sehingga kelompok itu hanya mampu beranjak beberapa kilometer sehari. Kadang-kadang mereka menemukan sebuah pulau di mana mereka bisa hidup atau kelaparan pada musim dingin berikutnya; kadang-kadang mereka kembali karena alasan keselamatan, mencari koloni terluar peradaban, atau diselamatkan oleh ekspedisi lain; sering kali, ketika cuaca hangat tiba dan pulau apung es pecah menjadi lempeng-lempeng es apung, mereka menghanyut menurut arus dan mendirikan tenda di salah satu lempeng es apung itu, atau melompat dari lempeng es ke lempeng es lainnya, sampai lempeng es apung yang terakhir merapat ke daratan, pecah, atau mencair.
     Pada tahun 1847, menurut sejarawan Artik L. P. Kirwan, kapal Amerika Polaris “ditabrak lempeng es apung yang sangat besar. Dan ketika semua perbekalan, catatan, pakaian, perlengkapan, terlempar dari kapal yang oleng itu, Polaris ditelan temaram Artik berikut sebagian besar, tetapi tidak semua, awak yang masih berada di dalamnya. Mereka yang selamat hanyut sejauh dua ribu kilometer di atas sebuah lempeng es apung sampai mereka diselamatkan, dalam keadaan kelaparan dan setengah sadar, di lepas pantai Labrador.”
     Para penjelajah Kutub dipilih, sebagaimana para astronot saat ini, lewat persaingan ketat orang-orang perkasa, terampil, dan sehat walafiat. Kebanyakan pemimpin Inggris, khususnya, adalah orang-orang berkepribadian menakjubkan. Membaca riwayat hidup mereka in extremis, orang pasti terpana melihat formalitas tanpa akhir di antara mereka. Ketika Kapten Oates, anggota ekspedisi Scott, mengorbankan diri di semenanjung Antartika karena kakinya yang hancur menghambat perjalanan, dia keluar tenda pada suatu malam untuk membekukan diri dalam badai salju, seraya berkata kepada rekan-rekannya, “Aku mau keluar, mungkin agak lama.”
     Bahkan dalam privasi jurnal dan buku harian mereka, para penjelajah kutub merawat simpanan berharga. Dalam jurnalnya, Ernest Shackleton memaparkan perasaannya saat melihat, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, benua Antartika di balik pegunungan yang mengelilingi Lempeng Es Ross: “Kami menyaksikan pegunungan baru muncul dari dataran luas tak dikenal yang terhampar di hadapan kami,” tulisnya, “dengan rasa ingin tahu sangat besar, dan tentu bukan tanpa rasa gentar.” Orang bertanya-tanya, setelah membaca banyak sekali paparan tangan pertama semacam itu, jangan-jangan para penjelajah kutub entah bagaimana memang dipilih karena kehampaan dan kemegahan khidmat gaya prosa mereka—atau bahkan jangan-jangan orang-orang Victorian terkemuka, setelah merenungi gaya prosa mereka sendiri, sadar, mungkin merasa kecil hati, berdasarkan pemahaman itu, mereka bergabung dengan ekspedisi  kutub. Salomon AndrĂ©e, pengendara balon Swedia yang naas itu, sekarat kelaparan di sebuah pulau Artik ketika dia menulis dalam buku hariannya, dengan napas nyaris sekaratnya, “Perbekalan kita harus segera ditambah sebanyak mungkin, kalau kita masih ingin punya peluang untuk bertahan sejenak.” 


Jemaat

     Liturgi baru Episkopal dan Katolik menyertakan sebuah bagian yang disebut “menebarkan salam”. Banyak hal bisa melenceng dalam hal ini. Aku tahu sebuah  jemaat di New York yang memecat pendetanya karena dia mendesak mereka menebar salam damai—yang sebetulnya tidak lebih dari menjabat tangan orang-orang yang duduk di sebelah Anda. Para anggota pria dan wanita jemaat kecil ini mempunyai batas ketahanan sendiri; menebar salam berada di luar batas itu. Mereka tidak tahan harus berjabat tangan dengan orang yang mereka benci sepanjang hidup. Mereka memecat pendeta itu dan menemukan pendeta baru yang lebih memahami kebutuhan mereka.
     Ketentuan untuk menebar salam menghendaki seseorang menjabat tangan siapa saja yang ada di dekatnya seraya berkata, “Damai menyertaimu.” Yang disalami menjawab, “Damai menyertaimu.” Walaupun sangat jarang, ada saja yang cuma menjawab, “Damai.”  Hari ini aku duduk di sebelah dua remaja kikuk berkumis tipis. Saat tiba waktunya menebar salam aku menjabat tangan salah satu dari mereka sambil berucap, “Damai menyertaimu,” dan dia menjawab, “Yeah.”


Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Gabriel Garcia Marquez