PENYANGKALAN DAN REALITAS

Ketika China Menguasai Dunia
When China Rules The World, Martin Jacques

Pernyataan bahwa rasisme lumrah adanya dalam masyarakat Cina disambut dengan semacam penyangkalan bernada marah, seolah-olah itu adalah penghinaan terhadap bangsa Cina. Dalam sebuah perdebatan sangat menarik—dan sangat tidak lazim—antara orang-orang Malaysia-Cina di sebuah website Malaysia yang dipicu seorang penulis yang menyerang rasisme Cina, salah seorang peserta membalas: “[klaim] bahwa rasisme adalah salah satu unsur peradaban 5.000 tahun Cina adalah kebodohan dan menyebarkan pernyataan tak berdasar semacam itu kepada orang-orang non-Cina dan kawan-kawan Cina yang tidak membaca literatur klasik Cina adalah perbuatan berbahaya.” Yang lainnya menanggapi: “Orang Cina dianiaya dan menjadi korban rasisme di seluruh dunia. Tentunya kita tidak memerlukan rekan segolongan kita menuduh kita rasis.”

Pandangan standar orang Cina menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak rasis, bahwa rasisme pada dasarnya adalah apa yang menimpa orang Cina dalam masyarakat Barat dan masyarakat Cina bisa dikatakan tidak terjangkit rasisme. Sekadar menyebut satu dari sekian banyak contoh, pada tahun 1988 Sekretaris Jenderal Partai Komunis saat itu, Zhao Ziyang, mengemukakan dalam sebuah rapat tentang persatuan nasional bahwa diskriminasi rasial itu lumrah “di mana-mana kecuali di Cina.”

Merasuknya rasisme tidak hanya bisa dijumpai di Cina, melainkan juga Taiwan, Singapura, Hong Kong, bahkan dalam komunitas Cina perantauan. Jadi, itu bukan cuma buah dari parokialisme atau kontak terbatas Cina dengan dunia luar. Ambil sebagai contoh Hong Kong yang, bertolak belakang dengan Cina, memiliki sejarah sangat kosmopolitan karena penjajahan. Walaupun pada tahun 2001 Tung Chee-hwa, kepala eksekutif Hong Kong saat itu, biasa menyebut rasisme sebagai masalah enteng, cuma diperlukan sedikit anggaran dan kampanye pendidikan secukupnya, sesungguhnya rasime adalah endemi di kalangan orang-orang Cina Hong Kong, yang merupakan 96 persen dari keseluruhan penduduk. Dalam sebuah survei terhadap orang-orang Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika di Hong Kong yang dilakukan oleh Society of Community Organizations pada tahun 2001, sekitar sepertiga responden mengatakan mereka ditolak bekerja karena etnis mereka, proporsi yang sama mengatakan tidak boleh menyewa sebuah flat, sepertiga dari mereka mengatakan bahwa polisi mendiskriminasikan mereka di jalanan, sedangkan hampir separuh pernah mengalami diskriminasi rasial di rumah sakit. Sasaran paling empuk adalah para “pembantu rumah tangga” asing, lazim disebut “babu”, terutama warga negara Filipina dan Indonesia, yang sering disuruh majikan Cina mereka bekerja lembur dengan jam kerja sangat kelewatan, diperlakukan sangat buruk, dibayar murah, tidak diberi cukup kebebasan dan, dalam sejumlah kasus kecil namun signifikan, mengalami siksaan dan pelecehan seksual. Kondisi mereka tidak jarang menyerupai budak zaman dahulu, sesuatu yang juga terjadi di Singapura dan Malaysia.

Rasanya wajar mengatakan bahwa rasisme orang Cina Hong Kong adalah warisan Inggris. Setelah menguasai koloni menyusul Perang Candu Pertama, Inggris menerapkan rasisme sistemik: bahasa Inggris dijadikan sebagai satu-satunya bahasa resmi hingga 1974, orang Cina dilarang tinggal di kawasan eksklusif Peak sejak 1902, diberlakukan bermacam-macam peraturan apartheid untuk urusan-urusan sepele—seperti, hingga tahun 1897, kewajiban orang Cina membawa surat jalan—dan mereka tidak bisa menduduki jabatan tinggi pemerintahan hingga akhir 1970-an bahkan, di beberapa departemen, sampai pertengahan 1990-an. Dengan mengabaikan habis-habisan kebenaran, pada tahun 1994 Inggris enteng saja mengatakan, “diskriminasi rasial di Hong Kong bukan persoalan.” Fakta bahwa rasisme adalah mata uang pemerintahan Inggris mendorong orang Cina untuk berperilaku sama terhadap yang mereka anggap lebih rendah dari mereka, yakni orang-orang berkulit gelap. Tetapi naif tentunya menganggap bahwa perilaku Inggris adalah penyebab utama sikap rasis orang Cina: tentu saja perilaku itu adalah faktor penyubur tetapi alasan mendasarnya sendiri terletak pada sejarah dan budaya Cina. Setelah kampanye besar menyusul tewasnya Harinder Veriah, warga Malaysia keturunan India, yang mengeluhkan diskriminasi rasial serius di sebuah rumah sakit Hong Kong pada tahun 2000, akhirnya pemerintah terpaksa mengakui bahwa rasisme memang problem serius dan pada tahun 2008, terutama berkat kasus ini, dengan sangat terlambat mereka mengesahkan undang-undang anti-rasis untuk pertama kalinya. Tetapi Hong Kong, walaupun kosmopolitan dan internasional, pada dasarnya tetap merupakan kota birasial, di mana golongan kulit putih menikmati status istimewa, bersama orang Cina, sementara mereka yang berkulit gelap dipinggirkan sebagai warga kelas dua atau pekerja migran.

Lalu bagaimana rasisme di Cina sendiri?  Ketika sebuah bangsa atau pemerintah menyangkal rasisme mereka sendiri, bukti-bukti rasisme tersebut ada pada kesaksian mereka yang menjadi korban dan, oleh karena itu, lebih banyak berbentuk anekdot ketimbang apa saja yang lebih sistematis. Ketika budaya antirasisme—yang bertolak belakang dengan budaya rasisme, seperti yang berlaku di Cina, Taiwan dan Hong Kong—sudah mapan maka  mungkin menyajikan gambaran lebih akurat frekuensi kejadian rasis, sekalipun masih sangat banyak yang tetap tersembunyi. Dalam masyarakat Cina, dan negara Cina khususnya, tidak ada budaya antirasisme kecuali jauh di pinggiran karena wacana dominan sauvinisme Han tidak sungguh-sungguh digugat. Sikap rasis dianggap normal saja dan bisa diterima, bukan sesuatu yang abnormal dan patut ditolak. M. Dujon Johnson, sarjana kulit hitam Amerika ahli Cina, mengatakan:

Dalam masyarakat Cina salah satu alasan jarang dibicarakannya secara terbuka isu ras dan rasisme ... adalah karena rasisme diterima dan dibenarkan secara luas .... Rasisme adalah  ... isu yang tidak dipersoalkan oleh orang Cina karena sebagaian besar dari mereka menganggap diri lebih unggul dari orang berkulit gelap. Sehingga dalam pola pikir orang Cina sungguh membuang-buang waktu mempersoalkan sebuah fakta gamblang tentang inferioritas orang berkulit gelap.”

Dalam persepsi orang Cina terdapat sebuah hierarki rasial sangat tegas. Orang kulit putih dihormati, disanjung dan diperlakukan dengan sangat sopan oleh orang Cina; sebaliknya, kulit gelap dianggap buruk dan dihinakan, makin gelap warna kulit makin buruk reaksinya. Orang-orang dari negara-negara Asia Timur lain, yang secara tradisional dianggap lebih rendah, bukan perkecualian. Seorang perempuan asal Filipina teman saya yang belajar di Universitas Beijing terpana mendapati kadar diskriminasi yang dia alami. Tidak seperti rekan-rekan kulit putihnya, yang diperlakukan dengan hormat, dia sering dianggap tidak ada di restoran, para pelayan tidak mau melayaninya. Dia biasa mendengar warga Cina setempat menyebutnya “bodoh” atau ‘dungu’. Dia pernah tidak boleh naik bus oleh kondektur dengan isyarat yang menunjukkan bahwa dia mengidap penyakit yang bisa menulari penumpang lain. Setelah dipermalukan di depan umum seperti itu dia tidak mau naik bus. Dujon Johnson, yang pernah melakukan survei tentang pengalaman orang-orang kulit hitam Amerika dan Afrika di Cina dan Taiwan dengan mewawancarai mereka, mengatakan bahwa orang sering pindah tempat duduk ketika ada orang kulit hitam duduk di samping mereka dalam angkutan umum, atau menggosok-gosok bagian tubuh yang tersenggol orang kulit hitam di keramaian, seolah-olah bagian tubuh itu perlu dibersihkan. Yang paling menyedihkan, para responden Afrika menunjukkan bahwa mereka berusaha sebisa mungkin menghindari kontak dengan khalayak Cina dan “biasanya hanya keluar jika perlu.”

Diskriminasi terhadap mahasiswa Afrika di Cina punya sejarah panjang. Emmanuel Hevi, orang Ghana yang belajar di Cina pada awal 1960-an, mengatakan, “Setiap berurusan dengan kami orang Cina berperilaku seolah-olah sedang berurusan dengan orang yang tidak punya kecerdasan normal.” Pada Desember 1988, menyusul sebuah insiden antara mahasiswa Cina dan Afrika di Universitas Heihai di Nanjing, 3.000 lebih mahasiswa Cina berpawai memprotes keberadaan mahasiswa Afrika, demonstrasi itu kemudian merembet ke Shanghai, Beijing dan tempat-tempat lain. Dalam beberapa demonstrasi iklimnya begitu membahayakan mahasiswa Afrika sampai-sampai sejumlah universitas memutuskan untuk memindahkan mereka dari asrama karena kemungkinan buruk terhadap keselamatan fisik mereka. Tidak ada upaya dari pihak berwenang untuk menghentikan atau mencegah demonstrasi yang berlangsung berhari-hari itu, boleh jadi ini menunjukkan bahwa para demonstran memperoleh dukungan diam-diam dari pihak berwenang. Di Sekolah Tinggi Industri Wuhan mahasiswa menggelar aksi menuntut agar “semua orang kulit hitam diusir dari Cina”. Menurut Dujon Johnson, kerusuhan  dan demonstrasi rasial  tahun 1998  itu sama sekali tidak unik: kejadian serupa pernah terjadi di Shanghai pada tahun 1979 dan 1980, di Nanjing pada tahun 1979, 1980, 1988 dan 1989, dan di Beijing pada tahun 1982, 1983, 1984, 1985, 1987, 1988 dan 1989. Pada September 2007 dilaporkan bahwa sebuah kelompok yang setidak-tidaknya terdiri atas dua puluh orang kulit hitam, termasuk mahasiswa, wisatawan dan putra seorang diplomat Karibia, ditangkap sepasukan polisi berseragam hitam-hitam di sebuah klub malam Beijing  dan dipukuli habis-habisan. Seorang saksi kulit putih Amerika mengatakan bahwa: “Dia belum pernah melihat kejadian sebrutal itu. Darah berceceran di jalanan. Mereka memukuli setiap orang kulit hitam yang terlihat.” Perlu diingat bahwa wajah hitam masih merupakan pemandangan luar biasa langka di Cina: tahun 2006 dilaporkan ada 600 orang Afrika di Beijing, 500 di Shanghai, 100 di Shenzhen, dan lebih dari 10.000 orang di Guangzhou (yang berpenduduk 12 juta jiwa), terutama sebagai akibat dari meningkatnya perdagangan dengan Afrika. Sudah barang tentu tidak terbiasa dengan orang kulit hitam untuk sebagiannya menjelaskan kecurigaan dan ketidakpercayaan  orang Cina, tetapi itu pasti bukan penjelasan utama bagi rasisme yang berurat mengakar. Uraian Dujon Johnson tentang pengalaman orang kulit hitam di Cina tidak menyinggung pengalamannya sendiri kecuali pada bagian akhir ketika dia menulis, “[pengalaman saya] sehari-hari menunjukkan kepada saya betapa kehidupan dalam masyarakat Cina tersekat-sekat secara rasial dan dalam banyak aspek menyerupai sebuah sistem apartheid rasial.”

Sebagai reaksi terhadap kunjungan Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri AS, ke Beijing tahun 2005, membeludak kiriman pesan rasis di banyak website nasionalis. Penulis kawakan Cina Liu Xiaobo tergerak menulis untuk menyatakan protes:

Saya menelusuri artikel-artikel BBS [blog] tiga portal terbesar Cina tentang kunjungan Rice ke enam negara ... Ambil Sina sebagai contoh. Saya membaca lebih dari 800 artikel BBS ... pengulangan diabaikan, ada lebih dari 600 artikel. Hampir 70 artikel di antaranya, atau sepersepuluh dari keseluruhan, mengusung diskriminasi rasial ... Hanya ada dua yang bernada sopan, selebihnya sangat memuakkan. Banyak yang mencaci Rice sebagai “sangat jelek” ... “terjelek di dunia” ... “Saya tidak habis mengerti bagaimana bisa umat manusia melahirkan perempuan seperti Rice” ... Ada yang terang-terangan menyebut Rice “hantu hitam”, “babi hitam” ... “tukang sihir” ... “sampah umat manusia” ... Ada juga yang menyatakan kekecewaan: IQ orang Amerika rendah—bisa-bisanya mereka mengangkat “sundal hitam” sebagai menteri luar negeri ... Tentu saja tidak ada yang lupa untuk menggelari Rice dengan [nama-nama] binatang: “simpanse”, “seperti burung”, “buaya”, “daging busuk”, “kotoran tikus”, [sesuatu] yang anjing saja tidak doyan.”

Akhirnya, pemerintah Cina merasa perlu menutup blog-blog itu dan beberapa situs.

Gelombang pasang nasionalisme rakyat pada akhir 1990-an, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai buku The China That Can Say No, reaksi mahasiswa terhadap pengeboman Amerika Serikat atas Kedutaan Besar Cina di Belgrade, dan banjir bah nasionalis di berbagai website terkemuka, juga memuat dimensi rasial signifikan. Salah satu penulis nasionalis paling berpengaruh adalah Wang Xiaodong, yang ikut menulis buku China’s Path under the Shadow of Globalization, terbit tahun 1999 dan menjadi salah satu buku laris. Wang berpendapat bahwa bangkitnya nasionalisme Cina merepresentasikan langkah sehat kembali ke keadaan normal sesudah fenomena abnormal yang disebutnya “rasisme terbalik” era 1980-an—“pemikiran bahwa budaya Cina adalah inferior dan masyarakat Cina adalah ras inferior”—ketika, masih menurut Wang, banyak intelektual Cina berkiblat ke Amerika Serikat untuk mencari inspirasi dan menjelek-jelekkan budaya sendiri. Anehnya, Wang berpendapat bahwa rasisme terbalik semacam itu “tidak jauh bedanya dari rasisme Hitler,” pernyataan yang menunjukkan bahwa pandangannya tentang apa itu rasisme sangat ajaib dan dia tidak tahu banyak soal Naziisme.

Wang menyatakan, dalam sebuah artikel yang terbit setelah pengeboman kedutaan 1999, bahwa konflik antara Cina dan Amerika Serikat tak terhindarkan karena bermotif rasial: di mata orang Amerika dan Eropa Barat, orang “oriental” itu rendah, dan dia memperkirakan bahwa “isu ras akan semakin sensitif seiring perkembangan sains biologi.”

Amerika Serikat bisa saja membuat senjata genetis yang ampuh untuk menumpas kelompok-kelompok radikal yang secara rasial berbeda dari orang Amerika dan yang melancarkan aksi terorisme terhadap Amerika Serikat. Karena secara genetis jauh lebih mudah membedakan orang Cina dari orang Amerika ketimbang membedakan orang Serbia dari orang Amerika, sangat boleh jadi senjata genetis yang membidik orang Cina lebih dulu dibikin.”

Dalam nada yang sama, Ding Xueliang, sarjana Cina yang tinggal di Hong Kong, menyatakan bahwa perbedaan rasial dan budaya antara Amerika Serikat dan Cina, berikut perbedaan sistem poluitik dan kapasitas nasional, menyebabkan Amerika Serikat akan memandang Cina sebagai musuh besar. Contoh-contoh tersebut mengingatkan bahwa ras tetap merupakan faktor berpengaruh dalam pemikiran Cina dan menopang sebagian besar sentimen nasionalis.
Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin Books, subjudul asli Denial And Reality h. 256 - 261.
Rasisme Cina
Martin Jacques' Work, source of picture www.penguin.co.uk

Untuk versi yang sudah disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca bukunya
Judul         : When China Rules The World Ketika China Menguasai Dunia;  Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat.
Penerjemah  : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas 2011
 

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)