CINA PERANTAUAN
Martin Jacques, When China Rules The World, sumber gambar www.penguin.co.id |
Orang-orang Cina perantauan menjadi korban rasisme
di negara-negara kedua mereka, termasuk Amerika Serikat, Australia dan Eropa,
dan wajar belaka bila sangat sensitif mengenai kenyataan tersebut. Satu
karakteristik mencolok orang Cina perantauan adalah kecenderungan mereka untuk
tetap menjadi satu komunitas. Sungguhpun demikian rasisme serius yang secara historis mereka
alami di Amerika Serikat tidak mendorong mereka bergabung dengan orang kulit hitam
Amerika dalam menggalang kampanye besar
memperjuangkan hak-hak sipil.
Komunitas paling penting dan terbesar Cina
perantauan terdapat di Asia Tenggara, di mana mereka sering merupakan minoritas
cukup besar—terutama di Malaysia, di mana mereka merupakan lebih dari
seperempat penduduk secara keseluruhan. Secara historis orang Cina perantauan
di Asia Tenggara mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan ini terus menjadi
problem sejak negara-negara di kawasan itu memperoleh kemerdekaan setelah
Perang Dunia Kedua. Meski begitu, kita perlu melihat dalam konteks lebih luas.
Orang-orang Cina di kawasan itu hampir selalu menguasai proporsi besar
perekonomian non-negara, sering kali lebih dari separuh, dan rata-rata
menikmati standar hidup jauh lebih tinggi dari mayoritas etnis pribumi. Umumnya
mereka memandang rendah ras mayoritas, bahkan menghindari berbaur dengan mereka
lebih dari yang diperlukan, walaupun dalam pengalaman saya banyak yang tidak
memelihara prasangka-prasangka semacam itu. Dengan demikian ada dua sisi dari
satu mata uang: orang Cina, sebagai suatu minoritas, mengalami berbagai bentuk
diskriminasi, tetapi pada saat yang sama menganggap diri lebih unggul dari
mayoritas pribumi, mempertahankan sikap sauvinistis terhadap mereka, dan
memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kepentingan golongan sendiri serta
berlaku diskriminatif terhadap diskriminatik terhadap etnis mayoritas. Richard
Oh, penulis dan pengusaha sukses Indonesia keturunan Cina, memaparkan sikap
golongan Cina terhadap orang Indonesia: “Komunitas Cina cenderung menarik diri
dari masyarakat dan sangat kurang melakukan upaya pembauran. Walaupun takut,
mereka sangat congkak dan belagu. Dari mana mereka memperoleh perasaan sebuah
ras unggul?” Tanpa ditanya dia mengatakan lebih suka berteman dengan orang
Indonesia asli karena alasan ini.
Sedemikian kokoh tertanam pikiran bahwa menjadi
orang Cina adalah kelaziman, dan semua ras lain adalah penyimpangan dari
kelaziman, hingga orang-orang Cina perantauan sering menyebut penduduk asli
sebagai orang asing. Penulis dan jurnalis Inggris James Kynge mengutip sebuah
contoh menarik dari sebuah surat kabar komunitas Cina di Prato, Italia utara,
dengan berita di halaman tentang “tiga pencuri asing” yang sering menyatroni
Pecinan setempat. Setelah menghubungi redaktur, Kynge tidak hanya mengetahui
bahwa yang dimaksud dengan “pencuri asing” itu sesungguhnya orang Italia
melainkan juga bahwa siapa saja yang bukan Cina otomatis dianggap orang asing,
dan bahwa konvensi serupa dianut semua surat kabar berbahasa Cina di seluruh
dunia. Lucian Pye mengatakan: “Orang
Cina menganggap sedemikian mutlak perbedaan antara diri mereka dengan golongan
lain sampai-sampai ketika hidup terkucil di negeri-negeri jauh secara tidak
sadar mereka merasa biasa saja dan sudah semestinya menyebut penduduk asli di
negeri yang mereka datangi “orang asing”.
Salah satu ciri sangat mencolok komunitas Cina
perantauan adalah kadar, di mana pun mereka berada, kesungguhan upaya mereka
untuk mempertahankan rasa ke-Cina-an. Di banyak negara Asia Tenggara, golongan
Cina sering lebih suka menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Cina ketimbang
sekolah lokal, dan komunitas Cina sering membiayai sekolah-sekolah semacam itu.
Di banyak negara Barat, di mana jumlah mereka relatif jauh lebih kecil,
komunitas Cina menyelenggarakan Sekolah Minggu Cina agar anak-anak mengerti
bahasa Mandarin dan terbiasa dengan budaya Cina. Di San Francisco, tempat
tinggal populasi besar etnis Cina, diselengarakan proyek ekstensif bernama
“Akar”, di mana orang-orang Amerika-Cina mengunjungi desa-desa leluhur di Cina
untuk mencari tahu tentang, dan siapa tahu bisa bertemu dengan, kerabat-kerabat
jauh mereka.
Salah seorang peserta pada tahun 1997, Evan Leong,
waktu itu mahasiswa Univeristas California, menulis dengan memikat pengalaman
dan perasaannya.
“Meskipun
kakek buyut saya datang ke Amerika Serikat lebih dari 125 tahun silam, saya
tidak mengalami homogenisasi untuk menjadi seorang “Amerika”. Apa pun sebutan
orang kepada saya, pakaian apa yang saya kenakan, makanan apa yang saya makan,
apa selera saya, ras apa teman-teman saya, atau gadis-gadis macam apa yang saya
kencani, saya tetap tahu bahwa saya orang Cina.”
Dia melanjutkan:
“Sentimen
umum dua kelompok [orang Cina kelahiran AS dan mereka yang baru tiba dari Cina]
adalah Cina dan orang Cina jauh lebih unggul daripada ras lain mana pun.”
Mereka yang baru datang lebih dihormati daripada
mereka yang lahir di AS karena dianggap lebih autentik sebagai orang Cina,
bertolak belakang dengan yang sering terjadi pada para migran dari negara
berkembang di negara maju. Dia juga menjelaskan keterikatan keluarganya pada
adat istiadat Cina:
“Meskipun
sangat jauh dan berbeda dari kerabat-kerabat sedarah di Cina, leluhur saya di
Amerika terus melestarikan banyak adat istiadat Cina. Keluarga besar kami
sering berkumpul pada hari-hari raya atau ulang tahun. Kami membersihkan dan
membenahi rumah kami dan memakai baju baru pada ritual-ritual Tahun Baru Cina.
Kami memberi penghormatan pada kuburan kakek saya ... pada saat Ching Ming atau
hari-hari penting lainnya.”
Ikatan kohesif identitas orang Cina mendapatkan
ekspresi dalam gagasan Cina Raya, yang lebih merupakan budaya dan peradaban
ketimbang sekadar sebuah entitas kewilayahan atau politik. Cina Raya dipandang
mewadahi semua orang Cina, dengan Cina sebagai pusat, dikelilingi oleh Hong
Kong, Makao, Taiwan dan Singapura, berikut berbagai komunitas Cina di seluruh
dunia, dan menjadi konsep yang kian populer di kalangan orang Cina pada
seperempat akhir abad lalu. Kokohnya ikatan ini berakar pada warisan bersama
peradaban Cina, yang dengan demikian menambah dimensi lebih jauh bagi
pengertian tentang Cina sebagai sebuah negara-peradaban. Walaupun mewarisi
berbagai perbedaan politik, komunitas Cina perantauan, khususnya yang bermukim
di Hong Kong dan Taiwan, memberi sumbangan besar bagi pertumbuhan ekonomi Cina
lewat investasi besar di Cina daratan. Sebaliknya, emigran Rusia memilih
menghindari Uni Soviet, dan diaspora India secara historis memberi sumbangan
jauh kurang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi India dibanding yang dilakukan diaspora
Cina. Gaya sentripetal kuat yang berfungsi di Cina Raya, seperti juga di Cina
sendiri, dan etnis Cina, di mana pun berada, merasakan keterikatan kuat dengan
negeri asal mereka.
Gaya tersebut memperoleh manifestasi baru selama
pawai obor yang digelar di seluruh dunia untuk menyambut Olimpiade Beijing. Di
London, Paris, Athena dan San Francisco, perayaan tersebut dibayangi berbagai
demonstrasi tandingan yang memproteas politik Cina di Tibet. Namun, di banyak
tempat lain keadaannya sangat berbeda. Di Canberra 10.000 orang berpawai
mendukung Olimpiade, jauh mengungguli jumlah pemrotes. Di Seoul, ribuan orang
turun ke jalan mendukung Olimpiade, begitu juga di Nagano di Jepang, di kedua
kota itu jumlah pendukung membuat suara penentang tidak ada artinya; begitu
juga di Kuala Lumpur, Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh City dan Hong Kong. Di
mana-mana mayoritas terbesar yang menunjukkan dukungan bagi Olimpiade Beijing
adalah etnis Cina, entah itu mahasiswa dari Cina daratan atau komunitas Cina
setempat.
Tidak mengherankan, komunitas Cina perantauan
merasakan kebanggaan luar biasa dengan kebangkitan Cina. Setelah dua abad
negeri asal mereka adalah sinonim kemiskinan dan kegagalan, Cina bangkit meraih
posisi terhormat dan menjadi daya tarik global dalam tempo singkat. Saluran televisi di seluruh dunia menyiarkan
berbagai tayanan tentang Cina dan di banyak negara kursus bahasa Mandarin ramai
diikuti orang. Akibatnya, tarikan gravitasional yang dipancarkan Cina terhadap
komunitas perantaunya di luar negeri makin menguat saja.
[ ... ]
Dengan turun ke jalan mendukung Olimpiade Beijing di begitu banyak kota
seluruh dunia dan dalam jumlah sebesar itu, komunitas Cina perantauan
menunjukkan diri sebagai kekuatan politik penting di negara-negara angkat
mereka, juga bagi pemerintah Cina. Fenomena seperti ini, tentu saja, bukan hal
baru atau khas Cina: kelompok-kelompok diaspora di banyak negara sudah lama memainkan peran signifikan dalam
mendukung negara asal mereka, contoh
paling menonjol pasca-perang adalah sumbangan dispora Yahudi bagi
Israel. Tetapi diaspora Cina memiliki sejumlah karakteristik yang secara
bersamaan menjadikannya unik. Jumlah mereka sangat besar dan tersebar di
seluruh penjuru dunia, dari Afrika hingga Eropa, Asia Timur hingga Amerika,
karena alasan-alasan historis dan kutural diaspora ini mempertahankan
identifikasi luar biasa kuat dengan Kerajaan Tengah; dan Cina sekarang sudah
menjadi kekuatan global, dan disuratkan untuk menjadi negara terkuat di dunia.
Seiring kebangkitannya yang berlanjut dan kepentingan Cina di seluruh dunia
meningkat, kemungkinan besar diaspora Cina akan banyak meluas, bertambah
makmur, terdongkrak oleh keberhasilan perekonomian Cina, menikmati prestise
yang semakin menanjak berkat peningkatan status Cina, dan merasakan afinitas makin
dekat dengan Cina.
Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle
Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin
Books, subjudul asli Overseas Chinese,
h. 261 - 265.
Untuk versi yang sudah disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca
bukunya
Judul : When China Rules The World Ketika
China Menguasai Dunia; Kebangkitan Dunia
Timur dan Akhir Dunia Barat.
Penerjemah : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit : Penerbit Buku Kompas 2011
Comments
Post a Comment