Ekspedisi Kutub (5) - TAMAT


Terjemahan Expedition to the Pole dalam Teaching a Stone to Talk
Annie Dillard's Teaching a Stone to Talk



Teknologi
Pada abad kesembilan belas, seseorang menyimpulkan keberadaan Antartika.
Sepanjang kurun itu, tidak seorang pun di bumi ini yang bisa memastikan ada tidaknya daratan di selatan, walaupun seorang Amerika bernama Charles Wilkes menyatakan pernah melihatnya. Beberapa ahli geografi dan penjelajah berpsekulasi bahwa di sana tidak ada daratan, yang ada cuma Lautan Antartika beku; sedangkan sebagian yang lainnya mengasumsikan adanya dua pulau besar di sekitar Kutub. Bahwa di sana ada sebuah benua, itu baru ditetapkan pada tahun 1935.
Pada tahun 1893, seseorang yang bernama John Murray di hadapan Perhimpunan Geografi Kerajaan menyampaikan sebuah deduksi tentang benua Antartika. Kapal ekspedisinya, Challenger, tidak pernah terlihat di benua semacam itu. Deduksinya dikembangkan sepenuhnya dari aktivitas pengerukan dan pengukuran kedalaman perairan dengan suara. Dalam uraiannya dia memaparkan sebuah benua besar, sebuah peta spekulatif yang dia bikin. Dia mendeskripsikan dengan akurat topologi benua tak dikenal itu: plato sentral berikut sistem tekanan tinggi permanennya, gletser luar biasanya yang menghadap ke Laut Selatan, deretan pegunungan vulkaniknya di satu pantai, dan di pantai yang lain, deretan dataran rendah dan perbukitan. Dia benar.
Dengan demikian deduksi adalah sesuatu yang mungkin—walaupun sudah tidak mode lagi. Ada banyak teknik yang mungkin dipakai untuk eksplorasi daerah kutub. Misalnya, ada yang namanya ekspedisi menghanyut.
Ketika sepasang celana kedap air kuning milik awak Jeannette yang hilang itu muncul tiga tahun kemudian di Greenland, setelah hilang di utara Rusia tengah, penjelajah Norwegia Fridtjof Nansen pun tertarik. Berdasarkan perjalanan celana itu dia menyusun noktah-noktah di peta kemungkinan arah arus di basin kutub. Kemudian dia melakukan sebuah ekspedisi menghanyut: pada tahun 1893 dia sengaja mengarahkan kapalnya, Fram, ke pulau es apung dan membuang sauh menunggu saat arus bergerak ke utara dan, dia berharap, menuju ke Kutub. Selama hampir dua tahun, dia dan dua belas awaknya hidup di kapal saat lautan beku membawa mereka. Nansen menulis dalam buku hariannya, “Aku rindu kembali ke kehidupan . . . tahun-tahun berlalu di sini . . . Oh! Kadang-kadang berdiam diri begini meremukkan jiwa orang; hidup orang tampak sama gelapnya dengan malam musim dingin di luar; tidak ada sinar matahari yang menjamahnya kecuali pada masa lalu dan masa depannya yang jauh, sangat jauh. Aku merasa seolah-olah aku harus menerobos keadaan mati ini.”
Karena arus tidak membawa mereka ke Kutub, Nansen dan seorang awaknya bertolak pada suatu musim semi membawa kereta anjing dan kayak ke Kutub berjalan kaki. Keadaan memang sangat ganas di dataran es itu, hingga setelah mencapai garis lintang utara yang sudah tercatat, keduanya berbalik ke selatan menuju daratan, menghabiskan musim dingin bersama di sebuah pondok batu di Kepulauan Frans Josef dan hidup dengan mengandalkan daging beruang kutub. Musim semi berikutnya mereka kembali, setelah hampir tiga tahun, ke peradaban.
Ekspedisi Nansen adalah yang pertama dari sekian ekspedisi menghanyut. Semasa Perang Dunia I, para anggota ekspedisi Arktik Kanada berkemah di atas lempeng es apung seluas tujuh mil kali lima belas mil; mereka menghanyut selama enam bulan sejauh empat ratus mil di Laut Beaufort. Pada tahun 1937, sebuah pesawat terbang menurunkan sebuah ekspedisi menghanyut Rusia di atas lempeng es apung di dekat Kutub Utara. Keempat ilmuwan Soviet itu menghanyut selama sembilan bulan sementara lempeng es apung mereka, membentur es daratan, berulang kali terpecah menjadi bagian yang makin kecil.

Daratan
Aku, lihatlah, berangkat lagi.
Hari-hari bertemu banyak makna. Sudut-sudut ditimbuni puisi; seluruh sistem yang tidak tuntas mengotori es.

Teknologi
Seorang letnan bernama Maxwell, anggota ekspedisi kutub kedua Vitus Bering, menulis, “Kau tidak akan merasa aman ketika harus melayari perairan yang benar-benar kosong.”

Para ahli peta menyebut ruang kosong di peta sebagai “putri tidur”.

Di atas peta-peta kami aku melihat simbol-simbol untuk perairan dangkal dan di sampingnya terdapat tulisan “P. D.” Teman dudukku di bangku gereja, si kikuk berkumis yang berpengalaman dengan peta navigasi dan paham bagaimana menentukan posisi berdasarkan bintang-bintang, memberitahuku bahwa inisial itu adalah kependekan dari “Position Doubtful”, Posisi Meragukan.
Daratan
Untuk mengetahui lokasi pasti Kutub, pilihlah suatu malam gelap dan jernih untuk memulai. Dengan navigasi biasa tetapkan lokasi Kutub di sebuah area seluas beberapa yard persegi. Lalu pasang di atas es di area itu serangkaian kamera. Arahkan kamera-kamera itu ke titik tertinggi langit; biarkan bukaan kamera-kamera itu terbuka. Lalu cuci film. Film dari kamera yang ditempatkan tepat di Kutub akan menunjukkan bintang-bintang malam yang berputar sesempurna lingkaran-lingkaran konsentris sirkular.

Teknologi
Aku menyukai kesendirian, juga senyap, dan apa yang disebut Plotinus “kepergian sendiri menuju Sendiri.” Aku menyukai kesendirian. Sir John Franklin, nampaknya, menyukai backgammon. Apakah yang semacam itu sesuai dengan kondisi?
Anda meninggalkan rumah dan negeri Anda, meninggalkan kapal Anda, juga meninggalkan teman-teman Anda di tenda, seraya berkata, “Aku akan keluar, mungkin agak lama.” Cahaya di tepi jauh badai es memikat Anda. Anda berjalan, dan suatu hari memasuki jantung terbentang senyap, di mana daratan lenyap dan lautan menjadi uap serta es menyublim di bawah bintang-bintang tak dikenal. Inilah akhir Via Negativa, tepi tanpa cahaya di mana tebing pengetahuan memudar, dan cinta demi cinta itu sendiri, tanpa objek, bermula.

Daratan
Kukenakan senyap dan menunggu. Kutinggalkan kapal dan berangkat berjalan kaki ke es kutub. Aku membawa kronometer dan sekstan, tenda, kompor dan bahan bakar, daging dan lemak. Untuk air aku melelehkan es yang kucacah-cacah dengan kapak kecil; air asin beku rasanya tawar. Aku tidur ketika tidak sanggup lagi berjalan. Aku berjalan mengikuti kompas yang menunjuk utara geografis.
Aku berjalan dalam hampa; aku mendengar napasku. Aku melihat tangan dan kompasku, melihat es yang begitu luas melengkung, melihat puncak planet ini membentuk kurva dan atmosfer rendahnya terus menurun. Tahun-tahun berlalu di sini. Aku sedang berjalan, seringan sejumput aurora; aku seringan layar, setumpuk garis-garis tak berwarna; aku berteriak “langit dan bumi tidak bisa dibedakan!” dan arus di bawah kaki membawaku dan aku berjalan.
Badai salju seperti selembar tabir; aku memasukinya. Salju yang menerpa menempel di mataku. Tidak ada yang bisa dilihat atau diketahui. Aku menunggu di tenda, diriku hanyut dan tidak berbuat apa-apa, selama berminggu-minggu saat badai menggila. Suatu hari segalanya berakhir, kubereskan tenda dan berjalan. Badai menjernihkan udara; gerombolan awan tersingkir; matahari berputar-putar di langit seperti seekor ikan dalam mangkuk bundar, seperti sebutir kerikil menggelinding dalam ember, seperti perenang, atau sebuah melodi menghentak berulang-ulang, terus berulang di atas di segala penjuru.
Namaku Senyap. Senyap adalah bivakku, dan makan malamku kuseruput dari mangkuk. Tiap pagi aku mengenakan untaian longgar batu-batu. Mataku adalah batu; sepotong es memenuhi mulutku. Tengkorakku adalah basin kutub; tempurung otakku menumbuhkan gletser, dan gunung es, dan es melumer, dan lempeng es apung. Tahun-tahun sedang berlalu di sini.
Jauh di depan adalah perairan bebas. Aku tidak tahu sedang musim apa, tetapi tahu berapa lama aku berjalan ke dalam kesenyapan seperti sebuah terowongan yang melebar di depanku, ke dalam tangan terentang cakrawala yang meluas laksana air. Aku berjalan menuju pinggir pulau es apung, menuju tepi yang melepas lempeng-lempengnya ke air hijau dan hitam; aku berdiri di pinggir dan melihat ke atas. Bercak-bercak lelehan es di kulit air sejauh bisa kulihat menggores laut dan tercerai-berai tiap kali sebongkah es atau salju timbul tenggelam atau mengapung lewat. Lempeng-lempeng es apung tampak tebal di air, beberapa di antaranya sebesar pulau. Di sampingku sedang lewat sebuah panci datar lempeng es apung dan di atasnya seseorang mengulurkan dayung. Kupegangi sirip dayung itu dan melompat. Aku mendarat di atas lempeng es apung panjang.

Tak seorang pun berbicara. Di sini, di haluan lempeng es apung, badut-badut meriah itu mengikatkan diri di es. Dengan patok tenda dan tali mereka mengikatkan pergelangan tangan dan pergelangan kaki mereka ke lempeng es apung itu di mana mereka berbaring telentang dan diam, menatap ke atas. Di antara para badut, juga terikat, terdapat anak-anak laki-laki dan gadis kecil, beberapa perempuan, dan beberapa laki-laki dari berbagai negara. Salah seorang dari para laki-laki itu adalah Nansen, penjelajah Norwegia yang menghanyut. Salah seorang perempuan berulang-ulang membuka dan mengepalkan tinjunya. Salah seorang badut menyibak jumbai lehernya, memperlihatkan kulitnya. Berjam-jam aku melewati orang-orang yang terikat itu, bermaksud kembali lagi nanti dan mengambil tempatku.
Melangkah lebih jauh aku melihat pastor tinggi itu juga ada di situ, pastor yang menyajikan bagi komuni jus anggur pada sebuah kebaktian ekumenis beberapa tahun yang lalu, di negara lain. Dia sudah tua sekali. Sendiri di atas sebidang salju yang dihempas angin dia berlutut, berdiri, dan berlutut, dan berdiri, dan berlutut. Tak jauh darinya, di tepi lempeng es apung, duduk di atas peti kemas, adalah si pembuat deduksi John Murray. Dia menurunkan bandulan pengukur kedalamannya dari kapal dan mengulur tali. Dia mengenakan topi bulu antik Doctor Akal, seperti yang dipakai Erasmus dalam potret; dimaklumi bahwa andai dia kembali dan memaparkan temuan-temuannya, dia pasti jadi bahan tertawaan, karena topinya itu. Kapten Oates anak buah Scott juga ada; dia tidak punya kaki. Orang inilah yang keluar dari tendanya, demi menyelamatkan teman-temannya. Kini di atas kehormatannya dia berdiri dan menyiapkan tali kendali layar linen; dia melangkahi tiang kayu di tengah kapal bukit.
Dari buritan lempeng es apung itu rasanya aku mendengar musik; aku beranjak, tetapi aku membutuhkan beberapa tidur untuk sampai ke situ. Aku tidak lagi menggunakan tenda. Setiap kali bangun, aku mengamati lempeng es apung itu dan cakrawala lautan mencari tanda—tanda-tanda pulau es apung yang kami tinggalkan, atau tanda-tanda perairan bebas, atau daratan, atau sembarang cuaca. Tidak ada yang berubah; hanya ada laut hijau dan es mengapung, dan laut hitam di kejauhan bertabur gunung es, dan angin buritan ajek yang beraroma garam mineral tak dikenal, dan dasar lautan.
Akhirnya aku mencapai buritan luas lempeng es apung itu, pantai sangat centang-perenangnya, kerumunan orangnya, unggunan api memasaknya. Ada anak-anak yang menggendong bayi, para laki-laki dan perempuan yang melukisi kulit mereka dan mencoba menangkap bayang-bayang mereka di air dan menyimpannya di tempat terlindung. Di dekat tepi air terdapat sebuah piano kayu, sebuah bangku dengan buku telepon di atasnya. Seorang perempuan sedang duduk di atas buku telepon itu dan memainkan lagu Sanctus. Angin bertambah kencang. Aku menyanyi keras-keras, sekadar berkelakar.
Banyak badut di sini; salah seorang di antaranya membagi-bagikan kue-kue Pandu Putri, kue-kue itu lengket menyatu. Belum lama berselang, aku baru tahu, Sir John Franklin dan awaknya naik lempeng es apung ini, begitu pula anak buah kapal Polaris dan Jeannette yang hilang. Mereka, yang seragam kunonya mengundang pandangan iri, kelaparan. Sebagian dari mereka mulai berlaku kasar terhadap si mesdinar bengal. Seorang anak buah kapal memanggul anak itu menyusuri tepi lempeng es menghampiri piano, di mana dia meninggalkan anak itu demi segenggam kue dan tempat duduk di bangku di sebelah si pianis pendek, yang kaki tak beralasnya, mungkin karena buku telepon itu, tidak bisa menjangkau pedal. Dia mulai memainkan “The Sound of Music.” “Anda tahu Bach tidak?” aku bertanya pada perempuan itu, yang kakinya tampak sangat sibuk dengan kaki anak buah kapal kelaparan itu; “Anda tahu Mozart tidak? Atau mungkin ‘How Great Thou Art’?” Seorang perwira kurus kering yang mengenakan syal sutra hitam menemukan Laksamana Peary, yang dapat dikenali dari kejauhan berkat bendera aneh di tangannya. Peary dan perwira itu bersama-sama merencanakan sebuah pertunjukan amatir dan drama komedi pendek. Ketika mereka mendekatiku, aku menawarkan diri untuk menyanyikan “Antonio Spangonio, The Bum Toreador” dan/atau membaca sepenggal fiksi pendek; mereka mengatakan akan memberi tahu aku nanti.
Kristus, menyangka bahwa kami semua adalah penguin, berpose jongkok di depan kamera. Dia jongkok, dalam jubahnya, di antara penyanyi utama Wildflowers, yang dengan riang berusaha menentukan sudut terbaik untuk memegang gitarnya di depan kamera, dan istri si petani, yang terus menatap jari kakinya yang dilukisi sampai si ayah baptis Filipina yang menangani kamera berseru “Cheese.” Perempuan bergaya country itu, bernyanyi-nyanyi, berhasil menjejalkan sepotong kue kepada si bayi Oswaldo. Bayi Oswaldo berdiri dalam jubah berenda dan sepatu tenis birunya di tengah lingkaran para penjelajah, membuat kesal mereka.
Di tanganku kudapati sebuah tamborin. Di depan sejauh cakrawala yang rapuh, aku melihat gunung-gunung es di antara lempengan es apung. Aku melihat gunung-gunung es dan lempeng-lempeng gunung es berkolom-kolom dan retakan gelap di air di antara mereka. Menggantung di bawah balutan awan menebal adalah garis-garis tak berwarna gelap yang memantulkan genangan perairan terbuka di kejauhan. Aku mengayun-ayunkan tamborin, dan menyanyikan apa pun yang dimainkan pemain piano; saat ini lagunya “On Top of Old Smoky.” Aku mengayun-ayunkan tamborin dan menyanyikan lagu itu keras-keras hingga semua orang menyingkir. Tetapi siapa yang bisa memelankannya? Sebab kami sedang mendekati Kutub.


Dalam kenangan Gayuh Utami Nugroho, semoga Allah memudahkan urusannya. Diterjemahkan dari Annie Dillard, An Expedition to the Pole dalam Teaching a Stone to Talk, HarperPerennial, 1992, h. 29 – 64.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)