Pasang Surut Hubungan Asia Tenggara dan Cina

Ketika China Menguasai Dunia
When Chine Rules The Wolrd, Martin Jacques
Salah satu konsekuensi dari makin pentingnya ekonomi Cina adalah mayoritas negara di kawasan itu semakin mendekat ke Cina. Hanya ada dua perkecualian dalam hal ini: Taiwan, setidak-tidaknya sampai belakangan ini, dan Jepang. Bahkan Singapura dan Filipina, dua sekutu tradisional Amerika Serikat, juga bergerak makin mendekati Cina. Bukannya takut dengan kebangkitan Cina dan, oleh sebab itu, banyak negara yang memilih mendekat ke Amerika Serikat, justru sebaliknya yang terjadi. Juga tidak ada tanda-tanda perlombaan senjata di kawasan itu.

[ ... ]
Karena faktor geografis, secara tradisional negara-negara kepulauan Asia Tenggara relatif lebih renggang hubungan mereka dengan Cina daripada Myanmar dan Vietnam yang satu daratan dengan Cina. Lebih jauh, perbedaan etnis, budaya dan agama antara Cina dan negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia juga sangat jelas. Malaysia, menyusul kemerdekaannya pada tahun 1957, menaruh kecurigaan besar terhadap Cina karena warga negara keturunan Cinanya yang berjumlah besar dan fakta bahwa pemerintahan Mao mendukung perang gerilya, yang basis utamanya adalah etnis Cina setempat, melawan Inggris dan, sesudah kemerdekaan, melawan pemerintah baru yang didominasi orang Melayu. Berkat pertumbuhan pesat ekonomi Cina selama periode reformasi, berikut keputusan Cina berhenti menganjurkan perubahan revolusioner di negara lain, hubungan kedua negara terus membaik. Walaupun bertikai soal Kepulauan Spratly, Perdana Menteri Malaysia saat itu Mahathir Mohamad memilih politik bertetangga baik dengan Cina, paham betul negaranya tidak akan bakal menang dalam bentrok angkatan laut. Mahathir juga memainkan peran penting selama satu dekade lebih dalam mendorong Cina agar lebih terlibat di kawasan itu dan khususnya dengan ASEAN.

Dalam jangka panjang setiap peningkatan hubungan dengan Cina tampaknya mempengaruhi perimbangan rasial genting di Malaysia antara mayoritas Melayu dengan dan minoritas Cina, yang kini mencapai lebih dari seperempat jumlah keseluruhan penduduk. Tidak mengherankan, kelompok minoritas inilah yang lebih banyak terlibat perdagangan dengan Cina, yang memenuhi penerbangan antara kedua negara, dan yang paling diuntungkan secara ekonomi dari hubungan bilateral tersebut. Oleh sebab itu Malaysia, walaupun mengupayakan hubungan lebih dekat dengan Cina, pasti akan tetap agak ambivalen. (Problem kuatnya minoritas Cina secara ekonomi tidak terbatas di Malaysia saja: minoritas Cina, walaupun relatif lebih kecil daripada di Malaysia, juga memainkan peran dominan dalam sektor swasta di Thailand, Indonesia, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan Filipina.)

[ .... ]
Secara historis, sistem upeti adalah pelengkap internasional identitas dan eksistensi Cina sebagai sebuah negara-peradaban. Dan persis seperti pengaruh negara-peradaban tetap terlihat jelas dalam ranah domestik, keawetan sistem upati tampak pula dalam ranah hubungan internasional. Bahkan dalam hal-hal penting sekalipun sikap Cina terhadap konsep-konsep kedaulatan dan hubungan antarnegara terus mengandalkan warisan sistem upeti sama seperti sistem Westphalian kontemporer. Konsep kedaulatan Cina sangat berbeda dari yang dipahami dalam hukum internasional model Barat. Ambil sebagai contoh sengketa atas kedaulatan kepulauan Spratly dan Paracel, yang, walaupun sekarang dikesampingkan—menyusul perjanjian dengan ASEAN—dalam jangka panjang belum akan selesai. Nyaris tidak bisa disebut kepulauan, sebetulnya kepulauan Spratly dan Paracel adalah gugusan karang tak berpenghuni, sebagian besar di antaranya lebih banyak berada di bawah permukaan laut, di Laut Cina Selatan, Spratly terletak di sebelah utara Malaysia Timur dan sebelah barat Filipina, sedangkan Paracel berada di sebelah timur Vietnam.

Ide tentang kedaulatan maritim adalah kreasi yang relatif baru, lahir pada tahun 1945 ketika Amerika Serikat menyatakan niat untuk menegaskan kedaulatan  di wilayah perairannya, dan inilah sesungguhnya yang menjadi dasar klaim berbagai negara Asia Tenggara atas kepulauan Spratly dan Paracel. Cina, sebaliknya, mendasarkan argumennya pada “klaim-klaim historis’, yakni bahwa kepulauan tersebut selama ribuan tahun menjadi bagian tak terpisahkan dari perbatasan tenggara Kerajaan Tengah sama halnya dengan, misalnya, perbatasan daratan di utara Beijing. Berbagai ekspedisi ke kepulauan itu menemukan bermacam-macam artefak Cina, seperti keramik Cina dan uang tembaga dari dinasti Tang dan Song, yang dipakai menopang “klaim-klaim historis” tersebut dan membuktikan bahwa kepulauan itu sudah lama merupakan bagian dari Cina. Kepulauan tersebut adalah bagian dari folklor budaya Cina, yang dihidup-hidupkan, dalam berbagai kutipan semangat pionir Cina, oleh artikel-artikel yang ditulis para jurnalis Cina yang rutin mengunjungi kepulauan tersebut. Kepulauan itu dimuat dalam peta-peta Cina sejelas dalam “garis klaim historis” dan dengan demikian merupakan bagian dari Cina. Pulau Hainan, di lepas pantai selatan Cina, boleh jadi adalah provinsi daratan terkecil Cina, juga dianggap—karena luas wilayah maritimnya, sebagaimana diklaim, mencapai Laut Cina Selatan—sebagai “provinsi lautan” terbesarnya. Pada tahun 2007, Beijing membentuk kota praja baru Sansha di Provinsi Hainan, dengan yurisdiksi mencakupi tiga pulau kecil yang diklaim Vietnam di kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan itu menyulut demonstrasi besar-besaran di kedutaan besar Cina di Hanoi. Pemikiran tentang “klaim historis” mendapat tempat dalam penggunaan hukum antarwaktu Cina, yang mengurusi benar atau salah dalam masa lalu historis. Para ahli hukum Cina berpendapat bahwa: “sebuah fakta yuridis harus ditimbang menurut hukum-hukum pada masanya, bukan menurut hukum yang berlaku ketika perselisihan timbul.” Pendapat memberi kekuatan dan legitimasi lebih kepada sejarah ketimbang masa kini, kepada hukum yang berlaku pada masa sistem upeti dan bukan sistem hukum internasional mutakhir.

Pada tahun 1984 Deng Xiaoping mengemukakan “kemungkinan menyelesaikan sengketa teritorial tertentu dengan mengajak negara-negara yang terlibat untuk bersama-sama membangun wilayah sengketa sebelum membicarakan masalah kedaulatan.” Dengan kata lain, masalah kedaulatan jangan sampai menghambat perkembangan isu-isu lain. Pernyataan Deng ini sering dikutip oleh sumber-sumber Cina dalam konteks kepulauan di Laut Cina Selatan, di mana pendekatannya itu dalam praktiknya diikuti, dan berkenaan dengan kepulauan Diaoyu/Senkaku di Laut Cina Timur yang disengketakan dengan Jepang; pernyataan itu juga disarankan sehubungan dengan Taiwan. Walaupun berkukuh dalam soal kedaulatan atas Taiwan, Cina menawarkan untuk menyampingkan masalah itu hingga tempo yang bisa dikatakan tak tertentu, asalkan Taiwan tidak menyatakan kemerdekaan, memperlibatkan kelenturan yang dipersiapkan Cina dalam mengatasi iu tersebut. Atau kalau tidak begitu, mereka mengatakan bahwa, asalkan kedaulatan mereka atas pulau itu diakui rakyat Taiwan, Taiwan boleh terus mempunyai pemerintahan, sistem politik, bahkan angkatan bersenjata sendiri.

Ini menyoroti perbedaan fundamental lain antara konsep kedaulatan Cina dengan yang dianut di Barat—terlihat paling jelas dalam sikap yang ditunjukkan Cina terhadap penyerahan kedaulatan di Hong Kong. Bagi pihak Cina pengalihan kedaulatan itu tidak bisa ditawar-tawar, seperti halnya dalam semua kasus yang disebut wilayah yang hilang—yaitu Taiwan, Hong Kong, Macao dan boleh jadi juga berbagai kepulauan yang disengketakan—yang dianggap Cina, berdasarkan sejarah, budaya dan etnis, sebagai kepunyaannya. Tetapi menurut standar Barat kedaulatan itu ditegakkan dalam cara yang kelewat lentur. Narasi Inggris—dan Barat—mengenai Hong Kong adalah, menyusul penyerahan pada tahun 1997, Cina akan mengubah wilayah itu menjadi sesuatu yang sangat mirip dengan Cina daratan. Perkiraan yang meleset. Secara keseluruhan, Hong Kong tidak banyak berubah. Bisa dikatakan hal itu sungguh tidak lumrah dalam transisi pasca-kolonial. Kunci untuk memahami langkah Cina terletak pada pengertian “satu negara, dua sistem”, sebagaimana tertuang dalam konstitusi wilayah itu, atau yang dikenal juga sebagai Hukum Dasar. Bagi Cina, yang penting adalah pengakuan kedaulatannya atas Hong Kong dan bukan apakah wilayah itu akan menganut sistem pemerintahan yang sama atau tidak. Pendekatan Barat berbeda: kedaulatan dan sistem tunggal adalah sinonim. “Satu negara, dua sistem” mengakara dalam tradisi ribuan tahun Cina yang mengakui dan menerima bermacam-macam perbedaan di banyak provinsinya atau, boleh dibilang, perbedaan-perbedaan semacam itu merupakan bagian yang inheren dan mutlak diperlukan dari sebuah negara-peradaban. Dengan kata lain, negara-peradaban, seperti sistem upeti turunannya, didasarkan pada prinsip “satu peradaban, banyak sistem.” Sebaliknya, pengertian kedaulatan Barat bersandar pada prinsip “satu negara, satu sistem”, dan sistem Wesphalian bertumpu pada “satu sistem, banyak negara-bangsa”.

Sikap Cina menyangkut kedaulatan terkait erat dengan konsep lama Konfusian “harmoni dengan perbedaan”, yang dihidupkan kembali di bawah pemimpin Cina saat ini, Hu Jiantao. Bahkan beberapa sarjana Cina menafsirkan “satu negara,dua sistem” sebagai contoh dari “harmoni dengan perbedaan”. Jika dalam wacana Barat, harmoni menyiratkan identitas dan afinitas erat, tidak demikian halnya dalam tradisi Cina, yang memandang perbedaan sebagai karakteristik hakiki harmoni. Menurut Konfusius, “orang yang menjadi panutan selaras dengan orang lain, tetapi tidak harus setuju dengan mereka; orang kecil setuju dengan orang lain tetapi tidak selaras dengan mereka.” Menyetujui orang berarti Anda tidak kritis seperti mereka: lawan harmoni bukan kekacaubalauan melainkan keseragaman dan homogenitas. Menariknya, di Cina homogenitas sering dikaitkan dengan istilah “hegemoni”, yang dipakai secara peyoratif untuk menggambarkan perilaku kekuasaan besar—dulu Uni Soviet, sekarang Cina—kebalikan dari “harmoni” yang dipandangkan memungkinkan dan menerima perubahan.

Dalam membicarakan hubungan masa depan Cina dan tetangga-tetangganya di Asia Timurnya, penting untuk tidak hanya memperhitungkan warisan historis sistem upeti melainkan juga apa yang bisa disebut realpolitik ukuran. Tentunya ini adalah aspek signifikan sistem upeti merupakan faktor makin menentukan dalam era globalisasi dan negara-bangsa modern. Cina sangat ingin menegaskan keinginannya untuk menahan diri dan menghormati kepentingan negara-negara lain, tetapi dalam jangka panjang, dengan asumsi Cina melanjutkan kebangkitan ekonominya, disparitas antara Cina dan negara-negara di kawasan itu akan mencolok seiring waktu. Tidak sulit untuk membayangkan sebuah skenario di mana ketimpangan antara kekuatan Cina dan kekuatan negara-negara tetangganya akan lebih besar daripada yang bisa ditemui di kawasan lain dunia.  Kekuatan yang begitu besar itu akan terungkap dalam beragam cara, mulai dari ekonomi dan budaya, hingga politik dan militer. Inilah faktor utama di balik kecurigaan laten negara-negara di kawasan tersebut terhadap Cina: yang ditakutkan bukan Cina sekarang—apalagi ketika ia bersemangat untuk meyakinkan tetangga-tetangganya—tetapi akan seperti apa ia nantinya. Pada tahun 1996 panglima angkatan laut Malaysia mengatakan: “seiring waktu berlalu, muncul ... ketidakpastian menyangkut perilaku Cina begitu ia menyandang status kekuatan besar. Apakah ia akan mengindahkan aturan-aturan internasional atau regional, apakah ia akan menjadi kekuatan militer baru yang bertindak sekehendaknya? Bayangkan hubungan lima puluh tahun ke depan antara Cina yang kuat dan maju dengan penduduk lebih dari 1,5 miliar, dengan Laos atau Kamboja yang pada saat itu penduduknya mungkin mencapai sekitar 10 juta dan 20 juta; atau boleh juga Malaysia, dengan penduduk lebih dari 30. Berdasarkan ukuran—apalagi warisan sistem upeti—hubungan antara Cina dan kawasannya berbeda secara mendasar dari hubungan antara negara dominan dengan negara-negara tetangganya di kawasan lain. 

Akan seperti apa Cina? Bagaimana ia akan bertindak? Jelas bahwa perilaku Cina terhadap, dan konsepsinya tentang, kawasan itu sangat dipengaruhi oleh warisan sistem upeti dan karakternya sebagai negara-peradaban. Pengaruh cara berpikir ini sudah terlihat dalam sikap Cina terhadap kepulauan Spratly dan Paracel, Hong Kong dan Taiwan.

Setidak-tidaknya di kawasannya sendiri, bisa dinyatakan sebagai tegas bahwa Cina tidak akan sekadar menjadi sebuah negara-bangsa Westphalian. Taruhlah demikian,  akan sekuat apa Cina nanti? Apakah perilaku Cina di masa depan harus dinilai dengan sikap menahan diri dan tindakan relatif mulia yang merupakan karakteristik rezim saat ini, ataukah hal itu akan ditenggelamnkan oleh sesuatu yang lebih Sinosentris? Dapatkah perlahan-lahan Cina meninggalkan sikap ekstra hati-hatinya saat ini dan menjadi lebih galak terhadap negara-negara yang, misalnya India, Jepang dan negara-negara Asia Tenggara, terlibat sengketa wilayah dengan Cina dan Cina sepakat untuk mendiamkannya saat ini? Ketika bertambah kuat, tidak mengherankan jika Cina menjadi semakin Sinosentris: sesungguhnya, setidak-tidaknya dalam jangka panjang, memang itulah yang diperkirakan. Bagaimanapun juga, penekanan sangat kuat saat ini pada pembangunan ekonomi dan keinginan untuk memastikan tidak ada gangguan, sikap menahan diri untuk sebagiannya bisa dikatakan merupakan prioritas: pada era reformasi, disiplin diri Cina sangat hebat dan mengesankan. Tetapi memikirkan masa depan ketika standar hidup jauh lebih tinggi dan Cina memantapkan diri sebagai kekuatan dominan di Asia Timur, bagaimana kira-kira sebuah pandangan yang lebih Sinosentris memanifestasikan diri?

Barangkali cara terbaik menjawab pertanyaan ini adalah mencari petunjuk-petunjuk yang ada saat ini, betapapun langka dan samarnya. Ada tiga contoh. Yang pertama adalah invasi Cina ke Vietnam pada Februari 1979, yang dibuat Cina sebagai “perang hukuman untuk memberi pelajaran Vietnam” tentang dekatnya Cina dan keyakinannya bahwa Vietnam tidak tahu terima kasih atas bantuan Cina selama Perang Vietnam. Bahasa perang itu, nada pongah imperial, hasrat untuk meneguhkan hubungan hierarkis, perlunya saudara tua memberi pelajaran adiknya, berasal dari zaman tata dunia Cina pramodern dan sistem upeti. Dalam corak tidak berbeda, Cina menggunakan kekuatan militer dalam sengketa kepulauan di Laut Cina Selatan,  terhadap Filipina pada tahun 1995 dan terutama sekali terhadap Vietnam pada tahun 1956, 1974, dan diulangi lagi pada tahun 1988, ketika Cina merebut enam pulau di area Spratly, tiga kapal Vietnam ditenggelamkan dan 72 kelasi Vietnam tewas. Aksi-aksi tersebut ini bercorak sistem upeti, kehendak untuk meneguhkan tatanan hierarkis segala sesuatu dan, kalau perlu, menghukum mereka yang coba-coba melenceng. Tetapi perlu diketahui bahwa hubungan Cina dan Vietnam sudah jauh membaik dalam beberapa tahun terakhir, walaupun kebencian di antara mereka, yang sudah berabad-abad umurnya, mengakar sangat dalam.

Contoh yang kedua adalah hubungan Cina dan warga negaranya di luar negeri. Akhir 2005 beredar dugaan bahwa seorang turis perempuan Cina di Malaysia digeledah telanjang dan dilecehkan pihak berwajib Malaysia. Isu itu diberitakan pertama kali oleh China Press, surat kabar Malaysia berbahasa Cina, dan selanjutnya diangkat begitu gegap gempita oleh media Cina sampai-sampai perdana menteri Malaysia memerintahkan penyelidikan independen, menginstruksikan menteri dalam negeri untuk melakukan lawatan khusus ke Beijing guna menjelaskan dan meminta maaf. Sebuah tajuk di Harian Cina,  surat kabar resmi pemerintah, berseru: “Siapa saja yang berotak waras pasti tersentak oleh foto-foto perempuan setanah air kita dipaksa “jongkok memegangi telinga” dalam keadaan  telanjang oleh seorang polisi wanita Malaysia berseragam. Tidak ada dalih yang bisa membenarkan kebrutalan sengawur itu.” Tajuk itu tidak cukup menahan diri atau hati-hati. Celakanya tak lama kemudian ketahuan perempuan yang dimaksud ternyata bukan warga negara Cina, orang Cina pun bukan. Itu perempuan Melayu. Respons Cina terhadap insiden itu, sejak awal, tidak proporsional dan agresif, dan didasarkan pada informasi salah yang dipungut pers Malaysia-Cina. Tentu saja keliru menarik kesimpulan terlalu banyak dari satu insiden saja, tetapi reaksi Cina itu, dalam situasi demikian, arogan dan meledak-ledak. Cina memperlakukan pemerintah Malaysia tanpa sopan santun. Mereka bahkan tidak memperimbangkan untuk memeriksa fakta-faktanya terlebih dahulu. Mereka bertindak dengan gaya imperial terhadap apa yang tampaknya mereka anggap, setidak-tidaknya demikian kesannya, sebagai negara tidak penting. Sementara itu, pemerintah Malaysia sendiri bertindak layaknya negara pembayar upeti yang sudah semestinya merendah dan menghormat. Dengan pariwisata Cina yang maju pesat di kawasan itu, insiden tersebut menunjukkan bahwa perlindungan terhadap warga negara Cina di luar negeri akan sangat diperhatikan dan proaktif sekurang-kurangnya, menyerang dan agresif pada titik puncaknya. 

Contoh terakhir adalah reaksi rakyat Cina terhadap kerusuhan yang menimpa warga keturunan Cina di Indonesia pada tahun 1997. Pada saat itu pemerintah Chian menunjukkan sikap menahan diri, berusaha mencegah demonstrasi yang dilancarkan orang-orang Cina perantauan di Hong Kong, Taiwan, New York, Asia Tenggara dan Australia. Tak urung, dilihat dari tulisan-tulisan di internet, reaksi kebanyakan orang Cina adalah kemarahan. Berikut adalah salah satu contoh:

Ibu pertiwi, kaudengarkah tangis itu? Anak-anakmu di negeri orang menjerit. Tolong mereka. Aku tidak mengerti politik dan tidak berani bicara politik. Aku tidak tahu apa artinya mengatakan “kita tidak punya teman atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”, dan aku tidak tahu apa kepentingan itu ... yang kutahu hanyalah saudara-saudara sebangsaku dibantai dengan brutal, mereka butuh pertolongan, bukan cuma pernyataan memahami dan keprihatinan moral. Ibu pertiwi, mereka adalah anak-anakmu. Darah di tubuh mereka adalah darah ras Han. Ketulusan dan itikad mereka juga tumbuh dari asuhanmu. Tolonglah ....

Walaupun marak sentimen-sentimen demikian, pemerintah Cina bertindak dengan hati-hati dan wajar; tetapi ketika kekuatan Cina di kawasan itu meningkat, hubungan antara Cina dan orang Cina perantauan—yang menguasai kekuatan ekonomi luar biasa di hampir semua negara ASEAN, dan yang rasa percaya diri, status dan posisinya akan banyak terangkat berkat kebangkitan Cina—akan menjadi faktor yang semakin penting di negara-negara itu. Ditopang oleh kebangkitan Cina, warga keturunan Cina setempat boleh jadi berusaha memanfaatkan meningkatnya posisi tawar mereka guna menambah kekuatan mereka, sementara pemerintah di negara-negara itu kemungkinan akan semakin berhati-hati dalam menyikapi kelompok minoritas Cina mereka karena takut membuat Beijing marah. Sejarawan Gungwu menyatakan bahwa orang-orang Cina perantauan mempunyai banyak kesamaan karakteristik dengan kelompok-kelompok etnis minoritas lain: “Tetapi yang membuat orang “Cina”’ sangat berbeda adalah “ibu pertiwi” di dekat Asia Tenggara, sangat besar dan padat, berpotensi berpengaruh besar dan secara tradisional memandang rendah bangsa dan budaya lain di kawasan itu.”

Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin Books,subjudul asli Shifting Sands h. 285 - 299.


Untuk versi yang sudah disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca bukunya

Judul           : When China Rules The World Ketika China Menguasai Dunia;  Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat.
Penerjemah  : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas 2011
 

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)