Ekspedisi Kutub (2)
Annie Dillard's Teaching a Stone to Talk, picture source: www. fantasticfiction.co.uk |
(Sebelumnya)
Teknologi: Ekspedisi Franklin
Ekspedisi Franklin adalah titik balik dalam penjelajahan Artik.
Ekspedisi itu sendiri tidak mencapai apa-apa, dan seluruh anggotanya tewas.
Tetapi kegagalan ekspedisi itu untuk pulang, dan misteri keberadaannya,
menyedot begitu banyak publisitas di Eropa dan Amerika Serikat sampai-sampai
tiga puluh kapal bertolak untuk mencari jejak kapal-kapal itu berikut awaknya;
tim-tim pencari itu menjelajahi dan memetakan Artik untuk pertama kalinya,
menemukan jalur barat laut yang dicari-cari Franklin, dan mengembangkan sebuah
teknologi yang disesuaikan dengan kondisi Artik, teknologi yang mampu membawa
pulang para penjelajah hidup-hidup. Teknologi ekspedisi Franklin, sebaliknya,
hanya disesuaikan dengan klub-klub perwira Angkatan Laut Kerajaan di Inggris.
Ekspedisi Franklin mengandalkan gengsinya.
Pada tahun 1845, Sir John Franklin dengan 138 perwira dan
anak buah kapal bertolak dari Inggris untuk mencari jalur barat laut melintasi
kawasan kutub Artik Kanada ke Samudera Pasifik. Mereka menggunakan dua kapal
layar kecil bertiang tiga. Setiap kapal membawa mesin uap tambahan dan persediaan
batu bara dua belas hari untuk perjalanan yang diperkirakan memakan waktu dua
atau tiga tahun. Bukannya membawa batu bara tambahan, menurut L. P. Kirwan,
masing-masing kapal malah menampung sebuah perpustakaan berisi 1.200 buku,
“sebuah orgel tangan, yang mampu memainkan lima puluh nada,” ruang porselen
untuk para perwira dan anak buah kapal, cawan anggur gelas berukir, dan
peralatan makan dari perak. Pisau, garpu, dan sendok perak para perwira itu
luar biasa menarik. Perangkat perak itu sarat hiasan desain Victorian,
gagangnya sangat berat dan berpola sangat kaya. Pada gagang-gagang itu terukir
inisial masing-masing perwira dan simbol keluarga. Ekspedisi itu tidak
membawa pakaian khusus kawasan Artik,
hanya seragam Angkatan Laut Inggris.
Armada itu bertolak dalam suasana penuh gelora, di tengah
kemegahan dan pawai luar biasa gegap gempita. Franklin menyampaikan pidatonya:
“Tujuan tertinggi hasrat saya adalah menunaikan tugas sepenuh hati.” Dua bulan
kemudian seorang kapten kapal
pemburu ikan paus Inggris bertemu dengan dua kapal kecil itu di Teluk
Lancaster; di Inggris dia melaporkan tentang semangat tinggi para perwira dan
anak buah kapal yang dia temui. Dialah orang Eropa terakhir yang melihat mereka
dalam keadaan hidup.
Bertahun-tahun kemudian, dunia beradab mengetahui bahwa
banyak kelompok suku Inuit—Eskimo—mengambil risiko menembus pemandangan
dramatis yang terdiri atas para anggota ekspedisi Franklin yang masih hidup
maupun yang sudah mati. Sebagian dari mereka melihat, misalnya, orang-orang yang
mendorong dan menarik sebuah perahu kayu melintasi es. Sebagian lagi menemukan,
di suatu tempat yang disebut Teluk Kelaparan, perahu itu, atau yang serupa
dengan itu, dan sisa-sisa tiga puluh lima orang yang menariknya. Di Teluk Teror
orang-orang Inuit menemukan sebuah kemah di atas es dengan tiga puluh mayat di
dalamnya. Di Selat Simpson beberapa orang Inuit melihat pemandangan sangat
aneh: pulau es apung yang dibelah tiga tiang kayu kapal yang menjorok.
Selama dua puluh tahun, tim-tim pencari menemukan
kerangka manusia di segala penjuru laut beku. Franklin sendiri—baru diketahui
dua belas tahun kemudian—meninggal di kapal. Franklin tewas, kapal-kapal
membeku menjadi bongkahan es didera musim dingin demi musim dingin, perbekalan
kapal habis, para perwira dan anak buah kapal yang selamat memutuskan untuk
berjalan kaki mencari pertolongan. Mereka membawa perlengkapan dari gudang
kapal untuk perjalanan itu; mayat mereka ditemukan dengan perbekalan yang
mereka pilih itu. Menemani sekumpulan mayat beku adalah, misalnya,
yang secara tidak sengaja menunjukkan bukti kanibalisme, perangkat makan perak
dengan ukiran inisial para perwira dan lambang keluarga. Sebuah tim pencari
menemukan, di hamparan es yang jauh dari kapal, sebuah jepitan surat, dan
sebuah papan backgammon yang
diberikan Lady Jane Franklin kepada suaminya sebagai hadiah perpisahan.
Tim pencari yang lain menemukan dua rangka dalam sebuah
perahu di atas kereta luncur. Mereka menarik perahu itu sejauh seratus empat
kilometer. Bersama dua rangka itu ditemukan beberapa cokelat, senjata api, teh,
dan banyak sekali meja perak. Beberapa kilometer di selatan dua kerangka ini
tergolek rangka lain, sendirian. Seorang perwira yang mati beku. Di sakunya dia
mengantongi, menurut Kirwan, “sebuah parodi gubuk laut”. Rangka itu berseragam:
celana panjang dan jaket “dari kain biru halus ... berenda biru pinggirnya,
dengan lengan belah yang masing-masing dihias lima kancing. Di luar seragamnya
perwira mati itu mengenakan mantel besar biru, dengan syal sutra hitam.” Demikianlah
riwayat ekspedisi Franklin.
Sir Robert Falcon Scott, yang tewas di semenanjung Antartika,
tidak pernah mampu meyakinkan diri untuk memanfaatkan anjing, apalagi memberi
makan anjing dengan anjing lainnya atau memakan mereka. Dia justru bersusah
payah dengan kuda-kuda poni Inggris, dan untuk itu dia harus membawa jerami.
Menurut Scott menyantap anjing sungguh
tidak manusiawi; dia juga menganggap, seperti yang ditulisnya, bahwa jika orang
mencapai Kutub tanpa pertolongan, perjalanan mereka ditopang “sebuah konsepsi
unggul” dan “prestasinya diraih dengan lebih adiluhung dan menakjubkan.”
Pengagungan sentimen ini, kemurnian ini, gengsi ini dan kontrol diri inilah
yang membuat surat perpisahan Scott—ditemukan di bawah jasadnya—menjadi dokumen
amat menggetarkan.
Yang kurang menggetarkan adalah dokumen-dokumen para
penjelajah kutub sukses. Para pemimpin mereka mengandalkan teknologi pribumi
yang, seperti dinyatakan setiap buku yang pernah ditulis tentang suku Inuit,
“disesuaikan dengan kondisi amat ganas.”
Roald Amundsen, yang pulang membawa kejayaan dari Kutub
Selatan, menempuh perjalanan ala Inuit; dia bergerak cukup cepat menggunakan
kereta salju dan memberi makan anjing dengan anjing menurut jadwal. Robert E.
Peary dan Matthew Henson mencapai Kutub Utara ditemani empat orang Inuit. Di
sepanjang ekspedisi Peary, orang-orang Inuit mengendalikan tim anjing,
membangun iglo, dan memasok pakaian dari kulit anjing laut dan walrus.
Tidak ada itu yang namanya penjelajah kutub soliter,
seunggul apa pun konsepsi ini.
Jemaat
Baru setahun aku mengikuti Misa Katolik. Sebelumnya, yang
paling terjangkau adalah gereja Jemaat Protestan. Pekan
demi pekan aku mendaki tangga panjang ke gereja kecil itu, masuk, dan duduk
bersama beberapa tetanggaku. Pekan demi pekan aku dibikin terharu oleh
mengenaskannya sakristi berlantai linoleum polos yang bunga apa pun tidak
sanggup menyegarkan dan melembutkannya, oleh nyanyian payah yang begitu
kusukai, oleh pembacaan Injil yang melelahkan, kehampaan lambat dan lemahnya
liturgi, khotbah yang kosong melompong, dan oleh kabut muram absurditas yang
melingkupi segalanya, yang menyertai, dan barangkali menyebabkan, keajaiban
fakta bahwa kami datang; kami kembali; kami muncul; minggu demi minggu, kami
bertahan.
Suatu ketika saat kami sedang melantunkan Gloria, istri
seorang petani—yang cuma kukenal sekilas—dan aku saling mengerling spontan dan
penuh kemenangan.
Baru-baru ini aku kembali ke gereja Jemaat Protestan untuk
mengikuti kebaktian ekumenis. Seorang pastor Katolik dan pendeta melayani
perjamuan jus anggur.
Pastor dan pendeta itu sama-sama profesional, sangat
berpengalaman. Tetapi mereka diperdaya oleh kebanggan dan kepercayaan diri.
Mereka bersikap tenang dan diliputi rasa khidmat; mereka setengah percaya diri
dan mengontrol diri, setengah kebingungan dan berbisik-bisik. Aku bisa
mendengar mereka: “Di mana?” “Kamu sudah mendapatkannya?” “Kupikir kamu yang
menyimpannya!”
Pastor itu, dia orang baru bagiku, berusia enam puluhan.
Perawakannya tinggi; dia membiarkan kejemuanya terlihat, berdiri tegak dan
mengatur napasnya. Ketika dia berlutut di altar, dan ketika bangkit, lututnya
bergemeretak. Musik gereja yang luar biasa, bunyi gemeretak lututnya itu.
Daratan
Para penjelajah kutub—berdasarkan laporan-laporan
mereka—mencari sesuatu yang adiluhung di Kutub. Kesederhanaan dan kemurnian
memikat mereka; mereka bertolak untuk melaksanakan tugas-tugas jelas di daratan
yang tidak tercemar. Keganasan daratan itu memukau mereka. Mereka memuji-muji
keindahan meruah seakan-akan itu adalah kualitas moral atau spiritual: “aula es
keindahan memukau dingin,” “puncak keagungan yang sepenuhnya diselimuti salju
abadi.” Fridtjof Nansen menyebut-nyebut “petualangan besar di es, dalam dan
murni laksana ketidakberhinggaan . . .
putaran abadi semesta dan kematian abadinya.” Di mana-mana prosa-prosa
Kutub membangkitkan rasa absolut ini, gagasan-gagasan tentang “keabadian” dan
“kesempurnaan” ini, seolah-oleh semua itu adalah bagian yang sungguh kasatmata
dari lanskap.
Mereka berangkat, ketahuilah, setengahnya adalah untuk
mencari keindahan tersebut, dan mereka menemukan itulah satu-satunya cara
menemukannya, di sana sini—di sekitar tepi batas, menyusup dalam sudut
hari-hari. Karena mereka adalah manusia—semuanya, orang Inggris sekalipun—dan walaupun mengaku
punya konsepsi murni, tentu mereka juga membawa kemanusiaan mereka ke Kutub.
Mereka membawa tubuh ringkih mereka ke Kutub, dan
menjumpai kondisi sedemikian sulit hingga, misalnya, umumnya tim ekspedisi
Kutub Selatan Scott memerlukan beberapa jam setiap pagi untuk mengenakan sepatu
bot mereka. Siang malam mereka melakukan perjuangan mengenaskan, menyibukkan,
dan sering kali fatal melawan jari kaki membeku, diare, gusi berdarah,
kelaparan, ketidakberdayaan, kekacauan mental, dan keputusasaan.
Mereka menyeret absurditas manis manusia mereka ke Kutub.
Ketika Robert E. Peary dan Matthew Henson mencapai Kutub Utara pada tahun 1909,
Peary menancapkan di laut beku, menurut L. P. Kirwan, bendera Deke:
“warna-warni Persaudaraan Delta Kappa Epsilon Bowdoin College. Peary adalah
alumnus kampus itu.”
Para penjelajah Kutub harus menyesuaikan diri dengan
segala kondisi. Mereka harus menyesuaikan diri, di satu pihak, dengan
keterbatasan fisik yang sangat menyulitkan; mereka harus menyesuaikan diri, di
lain pihak—seperti kita semua—dengan keterbatasan emosional manusia lumrah.
Bagian yang sulit adalah menemukan sebuah kompromi yang bisa diterapkan. Jika
Anda adalah Peary dan sudah merencanakan setiap langkah hingga titik komanya,
barangkali tidak jadi soal kalau Anda pergi ke Kutub Utara membawa bendera
Deke, kalau itu akan membuat Anda nyaman. Setelah delapan belas tahun
persiapan, mengapa tidak merasa sedikit nyaman? Apabila Anda adalah perwira
dalam ekspedisi Franklin dan tidak tahu apa yang sedang Anda lakukan atau
sedang berada di mana, tetapi Anda merasa tidak bisa makan kecuali dengan peralatan makan perak, Anda tidak usah pergi
saja. Ke mana pun kita pergi, tampaknya hanya ada satu urusan di depan
mata—yaitu menemukan berbagai kompromi yang bisa diterapkan antara keindahan
gagasan-gagasan kita dan absurditas fakta tentang kita.
Mereka mempertimbangkan kebutuhan emosional mereka.
Kapal-kapal ekspedisi musim dingin biasanya membawa, selain bahan bakar yang memadai, perlengkapan untuk penerbitan
surat kabar mingguan. Para penjelajah kutub pemberani duduk santai di tengah-tengah
entah, membaca dalam terbitan seadanya mereka gosip mereka sendiri dan
teman-teman mereka dalam mingguan seperti terbitan Parry Winter Chronicle and North Georgia Gazette, Framjaa bikinan Nansen, atau kepunyaan Scott South Polar Times dan The Blizzard. Para penjelajah kutub juga
menghibur diri dengan menggelar pentas teatrikal. Jika orang membeku di pulau
es apung di sekitar Pulau Ross di dekat AntArtika, di kapal Discovery Scott, pada suatu malam di
tengah musim dingin tahun 1902, dia bisa menyaksikan satu-satunya pementasan Tiket Berangkat, komedi teriakan satu babak.
Begitu pula jika, pada puncak musim dingin tahun 1819, dia adalah anggota
ekspedisi Edward Parry muda yang membeku di pulau es apung di Artik dekat
kutub, dia bisa mendapati serial pertama lakon dua mingguan, kesuksesan penuh
tempik sorak Nona Belasan Tahun.
Menurut Kirwan, “‘Ini,’ kata Parry ironis, ‘memberi anggota tim kegembiraan
sedemikian rupa untuk membenarkan harapan yang kami tumbuhkan dari manfaat
hiburan teatrikal.’” Dan Anda sendiri, Komodor Angkatan Laut Kerajaan Inggris
Edward Parry, tidakkah Anda sedikit terhibur? Atau pada usia dua puluh sembilan
tahun Anda masih berusaha menjaga gengsi?
Comments
Post a Comment