Ekspedisi Kutub (4)
![]() |
Annie Dillard, Teaching a Stone to Talk, picture source: www.fantasticfiction.co.uk |
II
Bulan demi
bulan berlalu, tahun-tahun berlalu. Kemajuan apa pun luput sudah.
Rintangan-rintangan baru bermunculan, dan hati yang menciut, juga
ketakutan.
Daratan
Penjelajah
kutub biasanya tewas karena hipotermia, kelaparan, skorbut, atau
disentri; yang kurang begitu lazim adalah serangan demam tifus
(seperti yang menimpa Stefansson), vitamin A beracun dari hati
beruang kutub, atau racun karbon monoksida dari pembakaran tidak
sempurna di tenda berselimut salju. Yang sangat lazim terjadi,
sebagai pendahuluan dari kematian-kematian itu, para penjelajah kutub
kehilangan manfaat kaki mereka; jari-jari kaki beku mereka peretel
saat mereka melepas kaus kaki.
Yang sangat
dramatis adalah kematian orang yang bernama Mr. Joseph Green,
astronom yang ikut serta dalam perjalanan pertama Sir James Cook ke
daerah kutub. Dia jatuh sakit di kapal. Pada suatu malam “yang
membikin gila,” sebagaimana dilaporkan sebuah koran masa itu, dia
bangkit dari tempat tidurnya dan “menaruh kakinya di jendela
lambung kapal, yang menyebabkan kematiannya.”
Vitus Bering,
ikut celaka pada tahun 1740 di Pulau Bering, ditemukan beberapa tahun
kemudian dalam keadaan tidak membusuk di salju. Hasil otopsi
menunjukkan dia dirubung kutu, digerogoti skorbut, dan meninggal
karena “rectal
fistula yang
memicu gas gangrene menyerang urat-uratnya.”
Mayat para
anggota ekspedisi Sir John Franklin tahun 1845 ditemukan dalam
rentang waktu dua puluh tahun, oleh tiga puluh tim ekspedisi pencari,
dalam berbagai posisi tubuh ganjil yang berserakan di atas es Selat
Victoria, Pulau Beechy, dan Pulau Raja William.
Sir Robert
Falcon Scott mencapai Kutub Selatan pada 17 Januari 1912, cuma untuk
menemukan sebuah bendera yang dipancangkan Roald Amundsen tiga bulan
sebelumnya. Mayat Scott, dan dua orang temannya, ditemukan di Dataran
Es Ross sejauh sebelas mil di selatan salah satu depot perbekalan
mereka. Mayat-mayat itu berada dalam kantong tidur. Jurnal dan
surat-surat perpisahannya, ditemukan di bawah tubuhnya, menunjukkan
bahwa kedua temannya itu tewas lebih dahulu. Torso Scott berada di
luar kantong tidur, dan dia membuka lebar-lebar kerah parkanya,
membiarkan kulitnya terbuka.
Yang tidak
pernah ditemukan adalah mayat Henry Hudson, putranya yang masih muda,
dan empat awak kapal, yang pada tahun 1610 diturunkan dari kapal oleh
para pemberontak ke dalam sebuah sekoci, di Teluk Hudson, tanpa
makanan maupun perlengkapan. Yang tidak pernah ditemukan adalah mayat
Sir John Franklin sendiri, atau mayat Amundsen dan tujuh belas orang
lainnya yang bertolak ke Arktik untuk mencari sebuah ekspedisi naas
Italia,
maupun mayat Evans dan Oates, anggota ekspedisi Scott. Yang juga
tidak pernah ditemukan adalah sebagian besar awak kapal Amerika
Serikat Polaris
yang karam maupun kaptennya, yang tewas saat mengendarai kereta
salju.
Dari
ekspedisi Kutub Utara Amerika Serikat Greely, semuanya tewas kecuali
enam orang. Greely sendiri, satu dari enam orang yang selamat,
ditemukan “dalam keadaan compang-camping dengan rambut panjang
dikelabang.” Dari ekspedisi Kutub Utara Amerika Serikat De Long di
kapal Jeannette,
semua tewas kecuali dua orang. Mengenai Jeannette
sendiri berikut perlengkapannya, tidak ada apa pun yang ditemukan
sampai tiga tahun setelah tenggelamnya, ketika, di sebuah pantai di
sisi lain cekungan kutub, seorang Greenland menemukan sepasang celana
kedap air berwarna kuning dengan label Jeannette.
Jemaat
Mengapa kami
jemaat gereja tampak seperti para wisatawan riang gembira dan dungu
dalam sebuah paket wisata Yang Absolut?
Para wisatawan
sedang menikmati kopi dan donat di Dek C. Mungkin ada orang yang
sedang mengemudikan kapal, mengoreksi jalur, menghindari gunung es
dan perairan dangkal, memasok bahan bakar ke mesin, mengamati layar
radar, mencermati laporan cuaca yang dikirim lewat radio dari pantai.
Tak seorang pun bermimpi untuk meminta para wisatawan tersebut
melakukan semua itu. Celakanya, di antara para wisatawan di Dek C,
yang sedang minum kopi dan makan donat, kami mendapati kapten, dan
seluruh perwira kapal, juga semua anak buah kapal. Para perwira
mengobrol; mereka menyumpah-nyumpah; mereka pura-pura tidak mendengar
lelucon yang agak kasar, persis seperti orang kebanyakan. Aksen para
anak buah kapal terdengar lucu. Nampaknya angin sedang bagus.
Umumnya,
kudapati orang-orang Kristen, di luar katakomba, tidak cukup peka
terhadap keadaan. Apa ada orang yang mempunyai gagasan paling tidak
jelas tentang kekuatan macam apa yang kita seru dengan gembira ria?
Atau, jangan-jangan, memang tidak ada yang percaya itu sedikit pun?
Gereja adalah anak-anak yang bermain di lantai dengan perangkat kimia
mereka, meracik bahan-bahan TNT untuk menghabisi sebuah Minggu pagi.
Gila saja mengenakan topi wanita anyaman dan topi beludru ke gereja;
kita semua harus memakai helm pengaman. Para penerima tamu mestinya
membagikan jaket pelampung dan pistol suar; mereka mestinya mengikat
kita di bangku. Karena dewa tidur mungkin bangun suatu hari nanti dan
merasa tersinggung, atau dewa yang melek boleh jadi akan menyeret
kita ke tempat kita tak akan pernah bisa kembali.
Orang-orang
Yahudi Hasid abad kedelapan belas lebih punya nalar, dan lebih punya
keyakinan. Seorang tukang jagal Hasid, yang pekerjaannya mensyaratkan
dia menyeru Tuhan, mengucapkan salam perpisahan mengharukan kepada
istri dan anak-anaknya setiap pagi sebelum berangkat ke rumah jagal.
Dia merasa, setiap pagi, tidak akan pernah bertemu mereka lagi.
Karena setiap hari, ketika dia berdiri dengan pisau di tangannya,
kata-kata dalam doanya mengantarkannya pada bahaya. Setelah dia
memohon kepada Tuhan, boleh jadi Tuhan memperhatikan dan
membinasakannya sebelum dia sempat merampungkan, “Ampunilah.”
Orang Hasid
yang lain, seorang rabi, menolak berjanji kepada temannya untuk
bertandang keesokan harinya: “Bisa-bisanya kamu memintaku berjanji
seperti itu? Malam ini aku harus berdoa dan merapal ‘Dengarlah,
wahai Israel.’ Ketika aku mengucapkan kata-kata ini, jiwaku
melayang ke tepian hidup . . . . Mungkin aku pun tidak akan mati saat
itu, tetapi bagaimana bisa aku berjanji melakukan sesuatu pada suatu
waktu usai doa itu?”
Aneka Satwa
SERANGGA
Aku menyukai
serangga karena kebebalan mereka. Seekor tawon—Polistes—sedang
tertatih-tatih merayapi jendela kaca gereja di sebelah kananku. Aku
melihat pemandangan yang sama di tempat yang sama hari Minggu lalu:
Ssst! Idiot! Sayang! Cobalah memutar lewat pintu! Kuharap kita
terlihat bodoh semengibakan itu di mata Tuhan—terseok-seok
menghampiri lampu, berlarian dengan bebalnya memutari lantai,
berhari-hari memukul-mukul engsel pintu yang terbuka. Kuharap begitu.
Tapi tampaknya tidak begitu.
PENGUIN
Menurut para
turis, penguin Antarktika. . . sangatlah memikat. Mereka jinak!
Mereka lucu!
Turis-turis
Antartika kebanyakan adalah perempuan usia tertentu. Mereka beranjak
dari perahu karet Zodiacs kapal pesiar mengenakan parka cerah milik
kapal; mereka mengendap-endap menapaki kerikil dan memicingkan mata
karena es putih cemerlang yang menyilaukan; mereka berteriak
memanggil-manggil kawanan penguin, yang bagi mereka jinak, lucu, dan
sangat memikat; mereka saling berfoto bersama penguin, dan memandang
sekeliling penuh semangat mencari-cari sesuatu yang bisa dipandang.
Penguin-penguin
itu memang memikat, dan tawon di jendela kaca gereja tadi juga
memikat, karena upaya mereka meniru gengsi manusia sedemikian nyata
gagalnya. Bagaimana peluangnya bahwa Tuhan menganggap peniruan gengsi
manusia kita yang gagal itu memikat? Atau apakah dia terkecoh?
Peluang macam apa yang kau berikan kepadaku?
III
Daratan
Beberapa
tahun lalu aku mengunjungi Artik di dekat kutub dan melihatnya:
Lautan Artik, Laut Beaufort. Tempat itu adalah Pulau Barter, di dalam
Lingkaran Artik, di Aktik Alaska di sebelah utara dari Lereng Utara.
Aku berdiri di tepi lautan pulau itu dan melihat apa yang bisa
dilihat: setumpuk garis-garis tak berwarna. Lewat teropong binokular
aku bisa melihat sebuah tumpukan lebih besar garis-garis tak
berwarna.
Rasanya wajar
menyebut garis-garis tak berwarna yang di atas itu “langit”, dan
boleh juga menyebut garis-garis tak berwarna di kakiku “es”,
karena aku bisa melihat di mana mulainya. Aku bisa membedakan,
katakanlah, sepatuku, dan pantai berkerikil hitam, dan es beku di
sekitarnya yang dihempaskan angin ke pantai. Aneka es inilah—karang
es, deretan bukit es, lempeng es berdiri, lapisan-lapisan es tegak,
miring, membeku bersama dan berdesak-desakan—yang merentang
menyentuh cakrawala. Seperti apa pun aku memicingkan mata, aku tidak
bisa memberi nama garis-garis yang lain. Yang manakah cakrawala?
Apakah aku sedang melihat daratan, atau air, atau pantulan keduanya
di awan yang menggantung rendah? Apakah aku sedang melihat “air
langit” yang terkenal itu, “asap beku” atau “kilau es”?
Di usia
senjanya, James McNeill Whistler biasa menyusuri pantai Atlantik
membawa beberapa papan dan alat lukisnya. Di atas papan-papan itu dia
melukis, hari demi hari, dalam sapuan-sapuan warna lebar dan kabur
yang menggambarkan langit, air, dan pantai, tiga garis kabur
bercahaya. Itulah peninggalan-peninggalan Whistler; aku sangat
menyukai mereka. Di Arktik dekat kutub aku memikirkan
peninggalan-peninggalan itu, sebab tampaknya aku berdiri di salah
satunya. Jika aku mengalihkan pandangan dari sepatuku, kerikil di
kakiku, atau kumpulan aneka es di pantai, aku melihat apa yang mesti
dilihat bayi yang baru lahir: tidak ada apa pun selain aneka cahaya
tanpa makna yang menjamah retina. Dunia ini adalah sebuah lukisan
bidang warna yang menyelubungiku di kejauhan yang tidak dikenal; aku
bimbang melangkah.
Pendeknya,
tidak ada ruang tiga dimensi yang bisa dikenali di Arktik. Juga tidak
ada waktu. Matahari tidak pernah terbenam, tetapi ia juga tidak
muncul. Cahaya temaram sepanjang waktu berubah tanpa bisa
diperkirakan tatkala selubung awan menebal atau menipis. Keadaan
membuat jam makan menjadi tidak karuan atau tidak mungkin. Aku tidur
ketika aku lelah. Ketika bangun aku berjalan-jalan ke garis-garis
tidak berwarna dan angin yang bergulung, di mana atmosfer berbaur
dengan jarak, di mana tanah, es, dan cahaya kabur menjadi uap
bayang-bayang membekukan yang, tidak ada kaitan lainnya dengan segala
sesuatu, kuhirup. Sesekali seekor burung putih muncul dari uap dan
berteriak melengking. Itulah, pendeknya, yang bisa disebut,
diungkapkan dalam kata-kata, sebuah daratan yang indah; dan lebih
indah lagi tatkala langit bersih dan es bercahaya di air gelap.
Teknologi
Kutub Relatif
Tak Bisa Dicapai inilah yang sedang kucari, dan sudah lama kucari, di
pegunungan dan di sepanjang pantai selama bertahun-tahun. Tujuan dari
ekspedisi ini, seperti dikemukakan Paus Gregorius pada masanya,
adalah “Sedikit banyak mencapai cahaya yang tidak tercakupi, dengan
diam-diam, dan sedikit demi sedikit.” Sesering apa aku mengikuti
ekspedisi yang sama ini, apakah perahu absurdku baru setengah
didempul sewaktu bertolak ke Kutub?
Daratan
“Insiden-insiden
itu benar
adanya.” Aku membaca dalam kisah penjelajahan Artik Inggris tahun
1880. “Insiden-insiden itu benar
adanya—badai, rakit es hanyut, gunung es runtuh, kapal karam,
pecahnya lempeng es besar: adegan-adegan itu nyata,
padang luas es, bukit es yang membentuk bubungan, tebing karang
disesaki burung-burung, gletser luas membentang.”
Eksplorasi
Kutub sudah tidak bergengsi lagi seperti pada masa ekspedisi
Franklin, ketika para pengunjung pantai di Brighton merubung panorama
alam bebas Artik yang dilukis di jendela-jendela toko, dan ketika
ribuan warga London memadati taman Vauxhall untuk menyaksikan
diorama laut-laut kutub. Kini perhatian kita terarah ke tempat lain,
tetapi daratan berkubang cahaya itu masih ada; aku pernah melihatnya.
Comments
Post a Comment