Cina dan Ras

Ketika China Menguasai Dunia
When China Rules The World, Martin Jacques

Rasisme adalah subjek yang orang sering berusaha menghindarinya, dianggap terlalu tidak mengenakkan secara politis, sekadar menyebutkan keberadaannya saja sering mengundang reaksi amarah meledak-ledak dan penolakan mentah-mentah. Padahal rasisme sangat penting bagi wacana sebagian besar, kalau bukan  seluruh, masyarakat. Ia selalu mengintai di suatu tempat, kadang-kadang di permukaan, kadang-kadang di bawahnya. Ini juga tidak mengherankan. Manusia  memandang diri sehubungan dengan kelompok, dan perbedaan fisik adalah penanda yang jelas dan tegas dari berbagai kelompok. Sekadar untuk memudahkan saja jika orang menghubungkan karakteristik kultural dan mental dengan suatu kelompok berdasarkan perbedaan-perbedaan fisik kasatmata: dengan kata lain, untuk merumuskan secara esensial perbedaan-perbedaan fisik itu, menambatkan budaya pada alam, untuk menyamakan kelompok-kelompok sosial dengan unit-unit biologis. Terdapat sebuah pandangan yang dianut luas, terutama di Asia Timur, bahwa rasisme adalah “problem orang kulit putih”: itulah yang dilakukan orang kulit putih terhadap pihak lain. Di Cina maupun Taiwan, pendirian resmi menyatakan bahwa rasisme adalah sebuah fenomena budaya Barat, sedangkan Hong Kong menganut pandangan yang umumnya sama. Omong kosong. Semua orang berkecenderungan pada cara berpikir semacam itu—atau, dengan kata lain, semua ras memupuk prasangka rasial, menerapkan mode berpikir rasis dan mempraktikkan rasisme terhadap ras lain. Bahkan, rasisme adalah sebuah fenomena universal dan tidak ada ras perkecualian, bahkan mereka yang sangat menderita karenanya. Tetapi setiap rasisme, walaupun mempunyai karakteristik yang sama dengan rasisme lainnya, juga khas, dibentuk oleh sejarah dan budaya suatu bangsa.  Persis seperti ada banyak budaya berbeda-beda, ada banyak rasisme yang berbeda-beda. Rasisme kulit putih membawa dampak jauh lebih besar dan lebih mendalam—serta merusak—bagi dunia modern ketimbang rasisme lain mana pun. Karena orang kulit putih memiliki kekuasaan jauh lebih besar ketimbang kelompok rasial lain mana pun dalam dua abad terakhir, pengaruh mereka—dan prasangka mereka—menjangkau lebih jauh dan berdampak lebih besar, terutama berkat kolonialisme. Bukan berarti bangsa-bangsa lain tidak mempunyai sikap dan prasangka serupa terhadap ras-ras yang mereka anggap lebih rendah.

Ini jelas berlaku di Asia Timur. Walaupun jarang diakui, di banyak bagian kawasan itu, terutama Asia Timur Laut, pengertian identitas sangat kental dengan gagasan rasial. Banyak istilah di Cina dan Jepang sejak akhir abad kesembilan belas yang menyatakan bahwa kedua negara itu adalah entitas yang khas secara biologis. Di Cina istilah tersebut meliputi zu (silsilah/marga), zhong (benih, tunas, jenis, ras), zulei (jenis silsilah), minzu (silsilah suku bangsa, kebangsaan, ras), zhongzu (anakan silsilah, jenis silsilah, anakan, ras), renzhong (anakan manusia, manusia), sedangkan di Jepang  mencakupi jinshu (anakan manusia, anak manusia), shuzoku (anakan silsilah, jenis silsilah, anakan, ras) dan minzoku (silsilah suku bangsa, kebangsaan, ras). Bahkan di Asia Tenggara, yang jauh lebih heterogen secara rasial, identitas rasial tetap sangat kuat. Singkatnya, rasa kepemilikan bermotif rasial kental sering terletak di jantung identitas nasional di Asia Timur.

Pentingnya wacana rasial di Cina dan masyarakat Konfusian lain seperti Jepang, Singapura, Taiwan, Korea dan Vietnam menimbulkan pertanyaan mengapa bisa demikian halnya. Jawabannya hampir pasti terkait dengan posisi sentral keluarga, yang merupakan jalinan tak putus dan krusial dalam tradisi Cina (maupun semua masyarakat Konfusian lainnya) dan yang, bersama negara, merupakan lembaga kemasyarakatan utama. Keluarga menentukan makna primer “kita”, tetapi keluarga juga terkait erat dengan ide tentang silsilah, yang berfungsi menentukan “kita” yang jauh lebih besar. Orang di Cina sudah lama terbiasa menganggap orang lain yang bernama sama berarti punya leluhur sama. Sejak dinasti Ming, berbagai silsilah berlainan dengan nama keluarga yang sama lazim menghubung-hubungkan leluhur dan menjalin hubungan kekerabatan fiktif melalui sosok historis terkenal, misalnya Kaisar Kuning. “Seluruh penduduk Cina,” kata Kai-wing Chow, “bisa dibayangkan sebagai sebuah himpunan silsilah, karena mereka semua punya nama keluarga Han yang sama.” Dan kenyataan bahwa relatif tidak banyak nama keluarga di Cina semakin memperkuat efek ini. Dalam adat istiadat Cina, silsilah, seperti  halnya keluarga, erat dikaitkan dengan kesinambungan biologis dan garis darah (sebuah gagasan yang mendapatkan signifikansi kultural mendasar dalam masyarakat Konfusian) sebagaimana, pada akhirnya, bangsa itu sendiri. Ini tercermin dalam pengertian tentang kewarganegaraan, di mana darah merupakan prakondisi yang menentukan dalam masyarakat-masyarakat tersebut: bahkan hampir mustahil mendapatkan kewarganegaraan dengan cara selain itu.

Sama sekali bukan ciptaan Barat, rasisme mempunyai akar purba di Cina maupun Jepang. Bukti tertulis dari, sekurang-kurangnya, tahun 1000 SM yang dikutip Jared Diamond memperlihatkan bahwa orang Cina menganggap diri lebih unggul dari orang non-Cina dan orang Cina utara menganggap rekan mereka di selatan sebagai orang barbar. Di Cina kuno, elite berkuasa mengukur berbagai kelompok dengan sebuah standar budaya yang menentukan bahwa siapa saja yang tidak mengikuti tata cara Cina dianggap barbar, walaupun orang barbar tersebut nantinya bisa digolongkan ulang tergantung kadar asimilasinya. Di Kerajaan Tengah, kaum barbar umumnya dibagi menjadi dua kategori: “barbar mentah” (shengfan) yang dianggap  biadab dan melawan, dan “barbar matang” (shufan) yang dianggap sebagai jinak dan patuh). Kaum barbar matang dianggap berada di titik dapat diadabkan, barbar mentah tidak bisa diapa-apakan. Mereka yang hidup di luar perbatasan Cina dianggap sebagai barbar mentah atau, lebih parah, mirip binatang. Perbedaan antara manusia dan hewan kabur dalam folklor Cina, kelompok-kelompok asing yang hidup di luar Cina sering dianggap sebagai orang-orang biadab yang berdekatan dengan kebinatangan dan sering disebut dengan penggunaan radikal-radikal binatang (radikal adalah komponen utama dari aksara Cina), dengan demikian mengidentifikasi orang-orang non-Cina yang berlainan dengan berbagai jenis binatang. Dari sini jelas bahwa rasa unggul masyarakat Cina didasarkan pada sebuah kombinasi budaya dan ras—keduanya terjalin tak terpisahkan, arti penting relatif masing-masing bervariasi menurut zaman dan keadaan. Frank Dikötter, yang menulis kajian utama dalam bahasa Inggris tentang rasisme Cina, mengemukakan:

Di satu sisi, klaim tentang universalisme budaya mendorong golongan elite menegaskan bahwa orang-orang barbar dapat “di-Cina-kan”, atau diubah dengan pengaruh positif budaya dan iklim. Di sisi lain, ketika rasa superioritas budaya Cina terancam, para elite menyerukan perbedaan-perbedaan kategoris alamiah untuk mengusir kaum barbar dan menutup negara dari pengaruh menyesatkan dunia luar.”

Meski begitu, pandangan ekspansif lebih sering berlaku ketimbang defensif. 

Warna kulit adalah yang mula-mula dianggap penting. Sejak zaman paling kuno, orang Cina memilih untuk menyebut diri berkulit putih, kulit cerah sangat dihargai dan disamakan dengan giok putih. Pada awal abad kedua belas, golongan elite menyandangkan nilai tinggi pada orang berkulit putih, dan kesadaran mengenai warna kulit di kalangan elite menjadi sesuatu yang sensitif karena kontak maritim yang dijalin pada masa dinasti Song Selatan (1127-1279 M). Dalam periode itu bahkan citra Buddha yang baru populer diubah dari seorang “India berkulit gelap setengah telanjang menjadi orang suci berpakaian lebih pantas dengan kulit terang”, persis seperti Yesus dibikin putih dalam tradisi Kristen Barat. Tentu tidak semua orang Cina berkulit terang. Mereka yang bekerja keras dan lama di sawah di bawah terik matahari tentunya lekang dimakan cuaca dan berkulit gelap. Jadi jarak, dan perbedaan, simbolis yang direpresentasikan oleh kelas dan tampak jelas pada warna kulit diproyeksikan oleh golongan elite Cina ke dunia luar ketika mereka makin sering berhubungan dengan suku bangsa dan ras lain. Kulit putih dianggap sebagai pusat dunia beradab, diwujudkan oleh Kerajaan Tengah, sedangkan hitam merepresentasikan kutub negatif manusia, dilambangkan dengan bagian-bagian terjauh dunia yang dikenal. Ketika orang Cina menjadi terbiasa dengan negeri-negeri jauh pada masa dinasti Ming, terutama berkat pelayaran Cheng Ho ke Afrika dan Asia Tenggara pada abad kelima belas, persepsi mereka tentang perbedaan warna kulit dan fisik menjadi lebih berwarna-warni, orang Afrika dan aborigin selalu ditempatkan di dasar, sedangkan orang Melayu dan Vietnam sedikit di atasnya.

Pada masa dinasti Qing, kategori rasial menjadi faktor utama dan eksplisit dalam karakterisasi orang barbar. Hal ini mencerminkan pergeseran penting dari norma-norma budaya yang sebelumnya cenderung berlaku, walaupun unsur rasial selalu signifikan. Selanjutnya taksonomi dan klasifikasi rasial baru dielaborasi, didorong oleh peperangan dahsyat yang dilancarkan orang-orang Cina di wilayah barat, yang membuat mereka berhubungan dengan orang-orang sangat berbeda dari mereka yang, di sepanjang paruh kedua abad kesembilan belas, berusaha mereka tundukkan, tetapi hanya berhasil sebagian. Tetapi semakin meningkatnya keberadaan dan kekuatan bangsa Eropa menyusul Perang Candu, dan krisis kian parah yang dihadapi dinsti Qing sebagai akibatnya, adalah pukulan paling telak dan menimbulkan perubahan terbesar dalam sikap orang Cina, bukan cuma di kalangan elite melainkan juga pada tataran populer. Sejak tahun 1890-an rasisme budaya Cina kuno diartikulasikan dalam filsafat rasis baru populer oleh kalangan akademisi dan penulis, yang dipengaruhi oleh teori-teori rasial dan Darwinisme yang berlaku di Barat saat itu. Rasisme pun menjadi bagian tak terpisahkan dari cara pikir rakyat, diartikulasikan dalam penerbitan yang diedarkan luas, terutama di antara penduduk kota pelabuhan-pelabuhan traktat. Wacana rasial baru ini mencakupi seluruh aspek  perbedaan fisik, mulai warna kulit dan rambut hingga tinggi badan, ukuran hidung, warna mata, ukuran kaki dan bau badan: tidak ada yang luput dari perhatian, setiap detail fisik ditelaah untuk mencari signifikansi mental dan kultural lebih luas. Orang-orang barbar sudah disebut “setan” pada abad itu, tetapi belakangan mereka dibedakan menurut warna kulit. Ras Kaukasian disebut “setan putih” (baigui) dan mereka yang berkulit gelap adalah “setan hitam” (heigui), sebutan-sebutan yang masih umum dipakai saat ini. Namun, setan-setan itu tidak dipandang sama: setan putih dianggap “penguasa” dan setan hitam adalah “budak”. Literatur-literatur tentang pelabuhan-pelabuhan traktat sarat dengan penghinaan terhadap mereka yang berasal dari Afrika dan India.

Selama periode ini, bersamaan dengan makin populernya istilah “Han”, orang Cina mulai menyebut diri sebagai ras kuning, bukan putih, sebagai upaya membedakan diri dari orang Eropa di satu pihak dan mereka yang berkulit lebih gelap di pihak lain. Ketika Cina berusaha melawan ancaman Eropa yang semakin meningkat, dunia dilihat dalam pengertian Darwinis-sosial survival of the fittest, mereka yang berkulit gelap dianggap gagal dan oleh karena itu sudah nasib mereka untuk diabaikan, sedangkan ras kuning, dipimpin oleh bangsa Cina, sedang bertempur sengit melawan ras putih dominan. Kuning mempunyai konotasi sangat positif di dunia Cina, mengingat keterkaitannya dengan Sungai Kuning dan Kaisar Kuning. Pada tahun 1925 penyair Wen Yudio, yang pernah menetap di Amerika Serikat, menulis puisi berjudul “Aku orang Cina” yang mengungkapkan gejolak rasa nasionalisme rasialis Cina, yang dalam hal ini disangatkan pengalamannya di Barat:

Aku orang Cina, aku orang Cina,
Akulah darah suci Kaisar Kuning,

Aku datang dari tempat tertinggi di dunia,
Pamir adalah tanah leluhurku,

Rasku laksana Sungai Kuning,

Kami mengalir menuruni lereng pegunungan Kunlun,
Kami mengalir membelah benua Asia,

Dari kami mengalir tradisi luhur,
Bangsa agung! Bangsa agung!

Merebaknya cara berpikir rasialis digarisbawahi oleh Frank Dikötter, yang mencatat contoh-contoh tak terbilang banyak, dengan menambahkan:

Keliru mengasumsikan bahwa klise-klise ini dihimpun ... cukup menggunakan saringan untuk memilah ungkapan-ungkapan rasial. Dibutuhkan kapal keruk untuk mengumpulkan semua klise, stereotipe dan citra rasial yang melimpah ruah di Cina (juga di Barat) dalam periode antarperang. Klise-klise ini adalah ciri paling wacana rasial yang beredar luas dan sangat berpengaruh, juga jarang dipersoalkan. Klise-klise ini diadopsi dan dilestarikan oleh sebagian besar kaum intelektual.

Di samping jelas-jelas merupakan produk situasi makin memburuk Cina imperial, ungkapan sebuah krisis identitas serta hasrat bagi peneguhan dan kepastian, rasisme tersebut juga merupakan buah dari rasisme kultural yang menjadi ciri utama Kerajaan Langit selama kurun hampir tiga ribu tahun. Ketatnya hierarki rasial yang kemudian menjadi endemik itu sangat mirip dengan hierarki budaya tatanan sosial Konfusian—bagi hubungan timbal balik rumit antara bentuk-bentuk superioritas kultural dan rasial dalam masyarakat Cina.

Pemikiran rasialis ini sangat mempengaruhi kaum nasionalis, di bawah pimpinan Sun Yat-sen, yang menumbangkan dinasti Qing dalam Revolusi 1911. Sun memandang bangsa Cina sebagai satu ras dan meyakini konfrontasi tak terelakkan antara ras kuning dengan putih:

Umat manusia terbagi ke dalam lima ras. Ras kuning dan putih relatif kuat dan cerdas. Karena lemah dan bodoh, ras-ras yang lain dimusnahkan oleh ras putih. Hanya ras kuning yang mampu bersaing dengan ras putih. Ini  yang disebut evolusi ... di antara ras-ras kontemporer yang bisa disebut superior hanyalah ras kuning dan putih. Cina termasuk ras kuning.

Di tempat lain dia menulis: “Kekuatan terbesar adalah kesamaan darah. Bangsa Cina termasuk ras kuning karena mereka berasal dari darah mulia ras kuning. Darah leluhur mengalir turun-temurun melalui ras dan itu menjadikan kekerabatan sedarah sebagai kekuatan dahsyat.” Pada mulanya dia menganggap sepi orang-orang Tibet, Mongol, Manchu dan lain-lain karena jumlah mereka yang tidak berarti: dia nasionalis Han yang memandang bangsa Cina melulu dalam bingkai Han, dan dengan demikian sebagai  sebuah ras-bangsa. Tetapi setelah Revolusi dia membentur realitas warisan Cina Qing di mana, walaupun jumlah mereka mungkin kecil, etnis-etnis minoritas itu mendiami lebih dari separuh wilayah Cina. Jika Cina didefiniskan hanya sehubungan dengan Han, pemerintah harus menghadapi prospek pemberontakan etnis dan tuntutan kemerdekaan—dan, pada akhirnya, memang itulah yang terjadi. Menghadapi situasi demikian pemerintahan nsionalis Sun Yat-sen berubah haluan dan mendefinisikan ulang Cina dalam bingkai satu ras dan lima kebangsaan, yakni Han, Manchu, Mongol, Tibet dan Hui: dengan kata lain, Cina diakui sebagai sebuah negara multinasional, walaupun cuma terdiri atas satu ras, semuanya mempunyai asal-usul Cina yang sama. Chiang Kai-shek melanjutkan garis besar pendekatan ini, hanya saja dia menganut garis yang sangat asimilasionis, menindas kelompok-kelompok etnis minoritas dengan alasan mereka harus dipaksa mengadopsi adat istiadat dan praktik-praktik Han secepat mungkin.

Revolusi 1949 mengawali sebuah pergeseran besar dalam kebijakan. Wacana rasis yang marak sejak akhir abad kesembilan belas pun secara resmi dilarang dan nasionalisme Han dibabat. Cina dinyatakan sebagai negara kesatuan multi-etnis, walaupun pemerintah, setelah menawari sebentar kelompok-kelompok etnis minoritas (disebut sebagai suku bangsa) hak untuk menentukan nasib sendiri, segera menarik kembali tawaran itu. Mereka justru mendorong kelompok-kelompok etnis minoritas untuk mengajukan permohonan bagi pengakuan resmi status identitas etnis mereka, akhirnya lima puluh enam permohonan dikabulkan (termasuk Han).  Sifat kelompok-kelompok itu sangat beragam: ada yang memiliki kesadaran identitas etnis sangat kuat, ditambah dengan aspirasi separatis (orang-orang Uighur dan Tibet), ada yang memiliki  kesadaran identitas etnis kuat dan awet tetapi tidak punya ambisi separatis (misalnya orang Yi), ada pula yang kesadaran identitas etnisnya sangat lemah (seperti orang Miao, Zhuang dan Manchu), sedangkan selebihnya, sisa-sisa dari masa lampau sebelum kurang lebihnya mengalami asimilasi total dengan orang-orang Han, hampir tidak ada kecuali dalam entri birokrsi (misalnya orang-orang Bai dan Tujia). Kategori terakhir ini sesungguhnya merangkum sejarah arus utama Cina, yaitu proses Hanifikasi pelan-pelan namun tak kenal henti. Kelompok-kelompok etnis minoritas dengan identitas sangat kuat diberi semacam otonomi dengan pembentukan lima daerah otonom (yaitu Daerah Otonom Mongolia Dalam, Xinjiang Uighur, Guangxi Zhuang, Ningxia Hui dan Tibet, yang memiliki kekuasaan terbatas, termasuk hak kelompok minoritas untuk menunjuk menteri utama; tetapi pembentukan daerah-daerah otonom tersebut tidak pernah dimaksudkan sebagai sarana yang bisa dipakai kelompok-kelompok etnis minoritas menjalankan semacam pemerintahan otonom. Ada tiga kelompok etnis yang, selama abad kemarin, terus memperlihatkan gerakan separatis serius, yakni Mongol, Tibet dan Uighur di Provinsi Xinjiang. Orang-orang Tibet  menikmati otonomi relatif besar sebelum pendudukan Cina pada tahun 1951, sedangkan Xinjiang, yang artinya “wilayah baru”, mengecap kemerdekaan sebentar sebagai Turkistan Timur atau Uighurstan pada tahun 1933. Masing-masing daerah tersebut menikmati status otonom; walaupun pada pelaksanaannya otonomi tersebut dipangkas. Di Daerah Otonom Mongolia etnis Han empat kali lebih banyak dari Mongol, membuat orang Mongol relatif tidak berkutik. Bahkan kampung halaman para penakluk Cina zaman dahulu, Mongol dan Manchu, kini dipenuhi orang-orang Han. Di Daerah Otonom Tibet, orang Han masih kalah banyak dari orang Tibet, sedangkan di Xinjiang, daerah penghasil utama minyak dan gas Cina, mereka setidak-tidaknya merupakan 40 persen dan mungkin lebih dari separuh, padahal menurut sensus tahun 1950-an jumlah mereka hanya 6 persen dari total populasi. Masing-masing daerah tersebut dengan demikian mengalami proses klasik berulang-ulang pemukiman Han yang mengubah, dan pelan tapi pasti terus mengubah, perimbangan etnis mereka. Maka tidak mengherankan bila hubungan antara orang-orang Han dan Tibet, juga orang-orang Han dengan Uighur, yang mayoritas beragama Islam dan menggunakan rumpun bahasa Turki, terus diliputi kecurigaan dan berjarak.

Dengan memangkas sauvisnisme Han, menghindari klaim bahwa Han adalah inti Cina dan memberikan kesetaraan hukum sepenuhnya bagi kelompok-kelompok etnis minoritas, pemerintah Komunis menyingkirkan ekses terburuk asimilasi periode Nasionalis. Di bawah Mao, bahasa ras diganti dengan bahasa kelas. Kendati demikian, sikap-sikap dasar Han tidak banyak berubah. Terdapat prasangka mengakar di kalangan orang-orang Cina Han, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi, terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas. Menurut Stevan Harrel, seorang ahli tentang kelompok etnis minoritas Cina, terdapat “perasaan unggul bawaan, nyaris naluriah, orang-orang Han.” Dia mencontohkan seorang pejabat Han pada sebuah proyek kehutanan pemerintah di daerah Yi dan, walaupun sudah tinggal di sana selama dua puluh tahun, tidak pernah mencoba makanan Yi yang menurut dia kotor dan akan membuatnya sakit. Sama sekali tidak dianggap setara, etnis minoritas  dipandang rendah karena kurang modern. Terdapat keyakinan mendasar bahwa mereka harus diangkat ke derajat Han, yang budayanya dianggap sebagai model untuk diikuti dan ditiru kelompok-kelompok minoritas. Budaya mereka diakui cuma menyangkut hal-hal remeh, misalnya dalam pakaian tradisional dan tari-tarian, tetapi tidak diperlakukan setara dengan golongan Han dalam masalah-masalah yang lebih mendasar. Pada hakikatnya itu tidak berbeda jauh dari arogansi budaya Konfusian yang dicangkokkan secara etnis dan mewarnasi era imperial. Walaupun menjadi tidak begitu eksplisit setelah Revolusi 1949, cara pikir rasialis tidak pernah lenyap, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari, walaupun tersamar, cara pandang orang Cina dan sejak awal peiode reformasi cara pikir tersebut muncul lagi dalam budaya populer maupun di lingkungan pemerintahan.
Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin Books, subjudul asli The Chinese and Race, h. 244 – 252. 

Untuk versi yang disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca buku


Judul        : When China Rules The World Ketika China Menguasai Dunia;  Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat.

Penerjemah  : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas 2011
 

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)