Opus Dei (1)

Opus Dei Gereja Katolik konspirasi kontroversi
John L. Allen's Opus Dei, picture source www.penguin.co.uk

Jika Anda menghendaki sebuah isyarat metaforis untuk Opus Dei, organisasi spiritual yang didirikan di Spanyol pada tahun 1928 oleh Santo Josemaría Escrivá yang menjadi kekuatan paling kontroversial dalam agama Katolik Roma, bayangkan itu sebagai Guinnes Extra Stout  Gereja Katolik. Bir yang sungguh keras, benar-benar cita rasa yang harus dibiasakan, dan jelas tidak untuk semua orang.
Perumpamaan demikian mudah menimbulkan kesan dangkal, belum lagi kesan menghina, sebab Opus Dei bukan sebuah produk komersial melainkan sebuah jalan spiritual yang bertujuan mengkuduskan dunia sekuler, sebuah jalan yang diikuti dengan kesetiaan teguh dan keseriusan moral oleh sekitar delapan puluh lima ribu orang di dunia dan dikagumi oleh jutaan lainnya. Tetapi jalan ini juga ditentang keras oleh kubu-kubu opini yang sangat berpengaruh di dalam dan di luar Gereja Katolik. Membandingkan Opus Dei dengan sebuah merek bir bisa tampak seperti tindakan meremehkan. Kendati demikian gambaran “Guinnes Extra Stout” mampu menangkap sesuatu yang penting tentang peran yang dipegang Opus Dei di pentas Katolik, dan layak rasanya menyisihkan sejenak waktu untuk memilah biji dari sekam.
Dalam sebuah era di mana pasar bir disesaki oleh “diet” ini dan “rendah” itu, Guinnes Extra Stout memilih jalan lain. Ia sama sekali tidak menyampaikan basa-basi soal banyaknya kalori dan tingginya kandungan alkohol. Ia mengemas rasa pahit berbusa yang oleh sementara pelawak disamakan dengan minum oli mesin berbuih. Justru karena menampik tren sesaat, ia menuai pemujaan di kalangan puris yang menghargainya karena tidak pernah berubah. Tentu saja, kalau Anda menganggap rasanya membikin mual, mungkin konsistensi bukan daya tariknya yang tertinggi. Bagaimanapun juga, meski barangkali tidak akan pernah mendominasi pasar, Extra Stout akan selalu punya penggemar setia.
Jika gambaran demikian diterapkan bagi Gereja Katolik, empat dekade semenjak Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) boleh dibilang juga ditandai oleh semangat “lebih kecil lebih baik”. Secara umum, tujuan inti Vatikan II adalah membuka lebar-lebar jendela Gereja, memutakhirkan dan meremajakan diri dengan kembali kepada nilai-nilai dasar Injil, menawarkan keterbukaan lebih lebar kepada dunia, dan memajukan persatuan lebih erat di kalangan keluarga Kristen yang terpecah-pecah dan dengan seluruh umat manusia. Dalam berbagai ritus dan ritual gereja, terdapat sebuah dorongan kuat bagi penyederhanaan, terutama penghapusan bahasa Latin sebagai bahasa utama peribadatan dan pemakaian bahasa lokal. Kebanyakan ibadat dan praktik tradisional sudah ditinggalkan sedangkan disiplin-disiplin spiritual seperti puasa hari Jumat dilonggarkan. Dialog-dialog ekumenis dan antaragama menggeser apologetika sebagai cara utama berinteraksi dengan orang-orang yang menganut keyakinan dan tradisi religius lain. Para pastor dan suster sering tidak lagi mengenakan pakaian keagamaan khas, khawatir jika pakaian demikian dipahami sebagai lambang privilese atau cara membedakan diri dari masyarakat yang hendak mereka layani. Dalam banyak kubu opini, misi gereja kini dipahami sehubungan dengan upaya memajukan pembangunan manusia dan sosial kontemporer, sedangkan terlalu banyak membahas ibadat dan sakramen dipandang sebagai upaya spiritualisasi insentif. Dalam sebagian besar pendidikan Katolik metode hafalan doktrin mengalah  pada pendekatan yang lebih analitis dan kritis, dan aktivitas derma ditambahi dengan perhatian terhadap dimensi struktural ketidakadilan global dan apa yang belakangan dikenal sebagai “dosa sosial”. Semua pernyataan ini adalah karikatur kecenderungan teologis dan eklesial yang kompleks, tetapi ini menunjukkan garis-garis besar perkembangan.
Dalam era bir eklesiastik ini, Opus Dei menawarkan sebuah alternatif klasik meyakinkan. Seperti Guinnes, “pangsa pasar” Opus Dei dalam agama Katolik global sesungguhnya, mengingat citra publiknya yang dibesar-besarkan, kecil saja. Menurut Annuaria Pontificio 2004, buku tahunan resmi Vatikan, 1.850 pastor Opus Dei di seluruh dunia bersama 83.641 umat menjadikan kelompok ini berkekuatan 85.491 orang, 0,008 persen dari populasi Katolik global yang berjumlah 1,1 miliar orang (55 persen anggota Opus Dei, asal tahu saja, adalah perempuan). Sekadar perbandingan, keuskupan agung Hobart di pulau Tasmania, Australia, beranggotakan 87.691 orang, artinya jumlah ini saja sudah lebih besar ketimbang keanggotaan Opus Dei di seluruh dunia.
Opus Dei, yang dalam bahasa Latin berarti “Karya Tuhan”, secara resmi hanya digolongkan sebagai “perwalian pribadi” Gereja Katolik, ini berarti kepala kelompoknya di Roma, saat ini Uskup Echevarría Rodríguez, memiliki yurisdiksi atas para anggotanya dalam persoalan-persoalan menyangkut kehidupan internal Opus Dei. Untuk persoalan-persoalan menyangkut seluruh umat Katolik, para anggota Opus Dei tetap tunduk pada yurisdiksi uskup setempat. Tetapi biasanya Opus Dei dipandang sebagai bagian dari sebuah perkembangan pesat gerakan dan kelompok yang dimotori umat pada abad kedua puluh, yang memperoleh kemasyhuran internasionalnya dalam periode setelah Konsili Vatikan Kedua.
Gagasan  inti Opus Dei, sebagaimana dikemukakan Escrivá, adalah pengkudusan pekerjaan sehari-hari, artinya orang bisa menemukan Tuhan melalui praktik hukum, teknik, atau kedokteran, dengan memunguti sampah atau mengantar surat, asalkan orang yang bersangkutan menyertakan dalam kerja itu semangat Kristen semestinya. Guna memupuk semangat semacam itu, para anggota Opus Dei mengamalkan formasi doktrinal dan spiritual ekstensif, dan umumnya tidak melakukan tindakan sembrono dalam meraih kekudusan. Kebanyakan orang Katolik tidak menghadiri Sakramen Pemberkatan lagi? Anggota Opus Dei diminta menghadirinya setiap hari. Kebanyakan orang Katolik tidak membaca doa rosario? Lagi-lagi para anggota Opus Dei melakukanya setiap hari. Di Kenya, Uskup Agung Raphael S. Ndingi dari Noirobi berseloroh kepada saya bahwa dahulu, jika Anda ingin mengidentifikasi anggota Opus Dei di Afrika, yang perlu Anda lakukan adalah memberi mereka tumpangan. Jika mereka minta diturunkan satu mil dari tujuan agar bisa melakukan doa rosario, mereka adalah Opus Dei. Kebanyakan penganut Katolik saat ini setidaknya menerima beberapa aspek ajaran Gereja dengan ragu-ragu. Tetapi para anggota Opus Dei didorong untuk “berpikir bersama gereja” yang artinya menerima keseluruhan ajaran Gereja tentang iman dan moral. Terdapat tekanan kuat di kalangan rohaniawan Opus Dei pada disiplin kepastoran konservatif. Mereka mengenakan pakaian klerikal, membaca doa rosario, dan menghabiskan banyak waktu di bilik pengakuan dosa. Salah satu tanda keteguhan mereka adalah hingga saat ini tidak satu pun pastor Opus Dei di Amerika Serikat yang dituduh melakukan tindakan pelanggaran seksual atau dicopot jabatannya menurut peraturan khusus yang disahkan pada tahun 2002 bagi gereja Amerika oleh Vatikan.
Tidak sepenuhnya tepat menyebut hal itu sebagai sebuah “alternatif tradisional” dari paham Katolik pascakonsili yang lebih ”liberal”, sebab dari sudut pandang sejarah Opus Dei sama sekali tidak tradisional. Visinya tentang umat dan pastor, pria dan wanita, yang menghayati panggilan yang sama dan menjadi bagian dari tubuh yang sama, semuanya bebas mewujudkan panggilan jiwa itu dalam wilayah profesional yang mereka pandang sesuai, sedemikian inovatif sampai-sampai Escrivá dituduh menyebar bidat di Spanyol tahun 1940-an. Di dalam Opus Dei, kebanyakan pastor mempunyai pembimbing spiritual awam, yang menyimpang dari kultur klerikal tradisional, dan jemaat Opus Dei, pria maupun wanita, memilih wali gereja mereka (artinya rohaniwan yang berwenang), yang sama dekatnya dengan pemilihan demokratis seorang uskup seperti yang dilakukan di Gereja Katolik sekarang. Opus Dei adalah lembaga pertama dalam Gereja Katolik yang memohon, dan memperoleh pada tahun 1950, izin Vatikan untuk memasukkan orang-orang non-Katolik dan bahkan non-Kristen sebagai “kooperator”, yang bisa diartikan sebagai para pendukung non-anggota.
Lebih dari itu, desakan Escrivá agar kerja nyata menyebarkan Injil kepada dunia dilaksanakan oleh orang awam lewat pekerjaan sekuler mereka menandai semacam pergeseran Kopernikan dalam agama Katolik, yang cenderung memandang umat sebagai peran pembantu dalam drama spiritual, dengan pastor dan suster sebagai pemeran utama. Boleh dikata, perang budaya periode pasca Vatikan II, yang ditandai dengan antagonisme perenial antara “kiri” dan “kanan”, mengaburkan wawasan spiritual awal Opus Dei. Yang dilihat orang adalah ortodoksi dan kesetiaan kepada kepausan tanpa kompromi yang membungkus pesan Opus Dei, tetapi jarang orang melihat pesan itu sendiri.
Selain itu, spiritualitas dan keyakinan doktrinal sebagian besar anggota Opus Dei sering terlihat “tradisional” menurut standar kontemporer, sekiranya cuma dilihat dalam pengertian bahwa mereka memegang teguh doa, praktik, dan disiplin lama dalam zaman di mana kebanyakan tradisi itu sudah dipahami dalam cara-cara baru atau ditinggalkan. Dalam pengertian ini, Opus Dei adalah sebuah sengatan bagi kepekaan Katolik tertentu, apalagi bagi pandangan sekuler yang sering tidak memahami lembaga keagamaan.
Mungkin karena etos “Katolik Stout” itulah Opus Dei menjadi sebuah penanda bagi perang budaya lebih luas dalam tubuh Gereja dan kebudayaan. Kubu Katolik yang menyatakan diri “liberal” umumnya tidak menyukai dan menentang Opus Dei. Kubu “konservatif” umumnya membelanya, karena mereka tidak menyukai para pengkritiknya yang kelewat sengit. Dalam dunia sekuler lebih luas, Opus Dei menjadi ikon bagi sebuah perhimpunan rahasia dan tertutup dengan cita rasa elitis, agak mirip Skull and Bond atau Mason. Berkat kesuksesan komersial luar biasa novel Dan Brown The Da Vinci Code, persepsi-persepsi tentang Opus Dei tersebut merajai pasar.
Karena Opus Dei memasang target lompatan yang tinggi bagi para anggotanya, pendaratan yang dilakukan bisa sangat keras ketika ada yang tidak beres. Banyak bekas anggota, cukup untuk menunjukkan bahwa ini lebih dari sekadar insinuasi, yang mengaku terluka oleh pengalaman mereka—mereka mengatakan bahwa mereka dibawa ke ambang keletihan fisik dan emosional, kontak mereka dengan dunia luar berkurang, dan sikap mereka terhadap Opus Dei maupun otoritas pada umumnya disetir ke arah kepatuhan tanpa pikir. Akibatnya, Opus Dei dikritik oleh sebagian bekas anggotanya dengan kegarangan yang mengejutkan, sebagian dari mereka menyebut-nyebut soal “pelecehan spriritual” atau bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia mereka. Mereka menyatakan bahwa iklim internal dalam Opus Dei—yang mereka gambarkan sebagai defensif, picik, dan kadang-kadang semi-apokaliptik—bisa sangat berbeda dengan citra yang ingin ditampilkan Opus Dei. Dalam bahasa Inggris, Opus Dei Awareness Network menyuarakan perspektif ini, sebagaimana dilakukan www.opuslibros.org dalam bahasa Spanyol. Deskripsi-deskripsi ini ditentang oleh puluhan ribu anggota yang puas maupun para bekas anggota yang masih menjaga hubungan baik dengan Opus Dei. Boleh jadi kedua kubu itu memaparkan realitas yang kurang lebih sama, tetapi dilihat melalui prisma yang berbeda—yang satu meyakini bahwa Opus Dei benar-benar sebuah “karya Tuhan”, yang lain sama yakinnya bahwa Opus Dei adalah, sampai tingkat yang signifikan, sebuah instrumen kontrol dan kekuasaan manusia.
Misteri dan kontroversi yang menyelubungi Opus Dei membuat analisis cermat menjadi pekerjaan rumit. Dalam memilah-milah berbagai isu, dua pembedaan barangkali akan bermanfaat. Apa pun kata orang tentang fakta bahwa sebagian kecil anggota Opus Dei mengenakan sebuah rantai berduri yang disebut “cilice” di paha mereka selama dua jam sehari, misalnya, atau bahwa Opus Dei tidak akan mempublikasikan nama-nama anggotanya, kedua hal ini adalah praktik-praktik kelembagaan yang berasal dari, dan karena hanya bersifat sekunder dalam, apa sesungguhnya Opus Dei itu. Mengingat perhatian yang ditujukan pada praktik-praktik itu di media massa atau ajang gosip, orang bisa menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan membicarakan tentang Opus Dei tanpa benar-benar menyentuh tujuan dan misi resminya.
Pada intinya, pesan Opus Dei adalah bahwa penebusan dunia akan tercapai sebagian besar melalui umat wanita dan pria yang mengkuduskan kerja sehari-hari mereka, mengubah dunia sekuler dari dalam. “Spiritualitas” dan “doa”, menurut cara memandang segala sesuatu ini, bukanlah sesuatu yang semata-mata diperuntukkan bagi gereja, seperangkat praktik ibadat yang terpisah dari kehidupan; akan tetapi itulah fokus sejati kehidupan sehari-hari yang dilihat dari sudut pandang keabadian, yang memuat signifikansi transenden. Ini adalah sebuah konsep ekplosif, dengan potensi melepas energi kreatif Kristen dalam banyak bidang usaha. Ambisinya tak kurang dari berabad-abad sejarah Kristen untuk menghidupkan kembali praktik pemeluk Kristen generasi awal—umat awam perempuan dan laki-laki, tidak berbeda dari sejawat dan tetangga mereka, menunaikan pekerjaan sehari-hari mereka, namun mampu “menyalakan” Injil dan mengubah dunia.
Yang sama kuatnya dengan rasa ingin tahu publik adalah isu-isu kontroversial di sekitar Opus Dei, seperti kerahasiaan, uang, dan kekuasaan. Mengangkat pembicaraan semata-mata dalam batasan-batasan ini berisiko mendekati Opus Dei dari pintu belakang, tidak akan pernah bisa melihat sebagaimana organisasi itu memandang dirinya.

(Bersambung)
Diterjemahkan dengan pemilahan seperlunya dari John L. Allen, Opus Dei: The Truth about its rituals, secrets and power, Penguin Books, Introduction, hlm. 1-11.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)