Menjembatani Dua Dunia 14
Di Madras itu berdiam sebuah keluarga besar yang
leluhurnya berasal dari Timur Tengah dan tinggal dalam kompleks besar
dikelilingi tembok yang tinggi. Mereka menyambut saya dengan hangat, tetapi
seorang kakek yang sudah sangat tua, ketika diberi tahu bahwa saya mualaf,
berujar diiringi sorot samar di matanya, “Anda pasti gila! Buat apa bergabung
dengan kami saat kami begitu mengenaskan, begitu dekaden, begitu memalukan,
begitu menyimpang dari apa yang dimaksud dengan Islam?” Inilah pertemuan
pertama saya dengan kesedihan mendalam dan malu yang membayangi ketenteraman
begitu banyak orang Islam yang baik di zaman kita. Di Hyderabad, yang sering
saya kunjungi, terdapat banyak sufi dari tarekat Jitsiyah dan tarekat-tarekat lain-lain.
Di sana saya dapati sambutan yang sama hangatnya, keterbukaan yang sama dan
sikap toleran yang sama. Belum pernah saya menerima keramahan dan kebaikan hati
semacam itu dari orang asing, dan dalam hal ini saya lebih beruntung dari yang saya
sadari waktu itu. Tidak semua mualaf beruntung bertemu orang-orang terbaik di
antara kaum Muslimin.
Dalam sebuah perjalanan keliling, beberapa bulan setelah kedatangan
kami di Madras, saya meminta sopir untuk berhenti di sebuah kuil Hindu di desa
Seringapatam, Negara Bagian Mysore (di situ, seperti yang saya pelajari di
sekolah, pernah meletus pertempuran bersejarah antara pasukan Inggris dan
Sultan Tipu). Di samping kuil kotor dan berisik itu berdiri sebuah masjid
putih kecil. Saya masuk ke ruang salat kosong dan mendapati tiga orang tua yang
berbicara lirih di sudut. Melihat saya, salah seorang dari mereka mengisyaratkan
dengan tangannya agar saya memanjat naik menara. Saya tidak tahu mengapa dia
menyuruh saya begitu. Mungkinkah dia mengetahui apa yang tidak saya tahu? Saya
meniti anak tangga seadanya dan, dari puncak menara, terpampang lanskap
kerontang Dekkan. Spontan, tanpa memikirkan apa yang saya lakukan, saya
mengangkat tangan dan berkata, “Tuhan, ini aku. Lakukan apa pun sesukamu terhadap
diriku!” Kadang-kadang saya katakan itulah titik balik dalam hidup saya. Tetapi
catatan harian saya sama sekali tidak mendukung klain ini. Tampaknya itu lebih merupakan pemberhentian dalam sebuah perjalanan panjang. Saya kenal sejumlah orang yang perjalanan
spiritualnya terdiri atas lompatan-lompatan kanguru, masing-masing melompati “kelahiran
kembali” yang menghapus yang ada sebelumnya. Saya mengagumi mereka. Kadang-kadang
malah nyaris iri dengan mereka. Tetapi kemajuan sepanjang perjalanan lima puluh
tahun saya lebih mirip perjalanan kebanyakan orang atau bekicot merayapi tanah
kasar. Saya memandang diri saya waktu itu terlalu skeptis dan terlalu duniawi untuk
“orang beragama” seperti yang umumnya dipahami, tetapi saya didesak untuk menerima
dan memegang teguh apa yang menurut saya sangat meyakinkan. Inilah kepulangan yang
sudah disuratkan.
Setelah bertugas di India sekitar tiga tahun saya
dipanggil pulang ke London untuk bekerja di Dinas Persemakmuran dan Luar Negeri.
Kembali saya berhubungan dengan Martin Lings, yang tidak pernah berkomunikasi dengan
saya sejak saya meninggalkan Kairo, walaupun dia – kata seorang teman kami –
tak pernah berhenti mendoakan saya sepanjang tahun-tahun senyap itu. Kemudian saya
ditugaskan ke Ghana dan, sesudah itu, ke Trinidad di mana dua tali hidup saya,
Islam dan Hindia Barat, bertemu (Trinidad adalah satu-satunya pulau di Karibia dengan
masyarakat Islam yang besar). Lalu datang lagi keputusan menjemukan dari
Whitehall, tetapi saya semakin lelah menjadi juru bicara pemerintahan Ratu Inggris
bukannya juru bicara bagi Islam. Datanglah kesempatan untuk pensiun dini, dan
segera saya ambil. Tak lama kemudian seorang teman dari Mesir ditunjuk menjadi Direktur
Pusat Kebudayaan Islam di London (“Masjid Regents Park”) dan dia mengajak saya
bekerja paruh waktu di lembaganya, memberi saya waktu bebas untuk menulis,
mengajar dan siaran, yang terus saya lakukan sejak saat itu.
Comments
Post a Comment