Komposisi




Komposisi, dalam Terjemahan Kumpulan Cerpen Afghanistan

Rahnaward Zariab
Aku duduk di kelas empat sekolah dasar. Di hari pertama dimulainya pelajaran, guru kami datang dan menyapa kami, “Anak-anak ...”
Kemudian dia mulai berjalan ke bagian paling belakang kelas kami. Pandangan matanya mengarah ke bawah. Dia seperti orang menghitung setiap ubin di lantai yang dilaluinya. Dia kelihatan begitu pendek. Dan kenyataannya memang guru kami itu pendek.
Tiba-tiba, dia terbentur tembok. Dia selalu melihat ke atas—setiap dia selesai menghitung ubin lantai. Bibirnya digerakkannya beberapa kali sampai akhirnya dia mulai berbicara.
“Besok, masing-masing dari kalian harus membuat sebuah komposisi tentang musim semi,” katanya.
Hal ini menjadi sebuah kejutan bagi kami. Kami semua merasa heran dan bingung, sementara di telinga kami terngiang “Sebuah komposisi?”, “—tentang musim semi.”
Guru kami pasti sudah bisa merasakan semua kebingungan kami akan hal itu. Karenanya dia kemudian mulai menjelaskan apa sebetulnya yang harus kami kerjakan. “Begini, maksud Bapak, seperti kalian tahu, komposisi tentang musim semi. Tulislah sebuah karangan tentang musim semi. Itu saja. Sebagai contoh, sebutkan saja apa yang dikerjakan orang-orang atau dilakukan hewan-hewan pada musim semi, dan semacamnya.”
Guruku itu mengira semua penjelasannya berguna bagi kami. “Sebuah komposisi tentang musim semi.” Kami benar-benar tidak mengerti.
Dalam perjalanan pulang yang kupikirkan tak lain hanyalah soal “komposisi” yang harus kami tulis itu.
Ketika aku sampai di rumah, aku bertanya pada ibuku, “Ibu, apa itu komposisi?”
Ibuku melihatku dengan heran, “Komposisi? Apa ya ... Ibu juga tidak tahu apa itu komposisi. Kamu mempelajarinya hari ini?” tanyanya.
“Tidak, tapi Pak Guru menyuruh kami membuatnya.”
Setelah makan malam, aku mulai menulis. Maksudku, aku menulis di tepi kertas paling atas, tapi tidak dapat meneruskannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kutulis. Aku harus berpikir dan berpikir, tapi tak ada satu pun gagasan yang singgah di kepalaku. Akhirnya, aku berdiri di depan jendela dan memandang halaman luar.
Kulihat burung gereja bercanda di ranting-ranting pohon halaman rumahku. Di mataku mereka tampak kuning, begitu mencolok di antara hijau dedaunan. Sementara, di sudut halaman, ayam-ayam kami tengah asyik mengorek-ngorek tanah. Ayam-ayam itu terlihat biru. Dan burung layang-layang kecil yang berusaha membuat sarang di batang kayu atap rumahku itu kelihatan seperti layangan berbentuk ikan. Kemudian kulihat kucingku yang selalu membenci terik matahari sedang berlindung di balik bayangan dinding. Dia tampak hijau.
Aku kembali memandangi kertas tugasku itu, tapi tak ada satu pun yang bisa kutulis. Merasa sangat sedih dan tertekan, aku keluar dari rumah dan duduk di sisi tembok gang. Aku terus berpikir.
Walaupun aku berusaha keras untuk berpikit, tetapi pertanyaannya tetap sama, “... komposisi tentang musim semi?” Hanya itulah yang menyangkut di otakku.
Selagi berpikir, aku berusaha keras untuk berpikit, aku melihat tetanggaku keluar dari rumahnya. Seorang lelaki berbadan kurus dan jangkung. Ayahku pernah bercerita bahwa dia seorang panyair. Setelah melihatku, dia menghampiri.
“Kamu kelihatan sedih, kenapa?” tanyanya.
“Pak Guru menyuruh kami menulis sebuah komposisi—tentang musim semi,” jawabku pelan.
“Tapi kamu tidak bisa, begitu?” tanyanya lagi.
“Ya,” sahutku dengan nada muram.
Tetanggaku itu tertawa. Kemudian dia memegang tanganku. Dia menatap ke langit dan dengan jarinya dia menggambar setengah lingkaran yang besar di udara.
“Lihatlah sekelilingmu, apa saja yang kamu lihat tulislah di atas kertas. Itu semua adalah sebuah komposisi tentang musim semi,” katanya.
Tiba-tiba semuanya terasa jelas di benakku. “Aku paham sekarang!” jeritku riang. Kemudian segera aku lari kembali ke rumah. Kuhampiri jendela. Semuanya terlihat seperti sebelumnya. Ibuku sedang duduk di bawah pohon. Dia mencuci beras yang akan dimasak nanti.
Aku mengambil penaku dan menuliskan judul “Komposisi Musim Semi”.
Kemudian aku mulai menulis di bawahnya: “Pada musim semi, burung gereja kuning bercanda di pepohonan. Ayam biru mengorek-ngorek tanah. Burung layang-layang kecil yang mirip layangan berbentuk ikan sedang membuat sarang. Kucing hijau benci matahari jadi dia tidur di bawah bayangan dinding. Ibuku duduk di bawah pohon dan mencuci beras. Di musim semi langit cerah. Lebah-lebah beterbangan. Dan anak-anak sekolah menulis komposisi tentang musim semi.” Aku tidak dapat meneruskan lagi, tapi aku merasa senang karena akhirnya aku bisa menyelesaikan tugasku.
Esoknya, Pak Guru memeriksa pekerjaan kami di kelas. Dan tibalah giliranku. Guruku kemudian membaca apa yang telah kutulis. Dia menatapku dengan sorot mata yang aneh selama beberapa saat. Jantungku berdebar kencang. Dia menyuruhku maju ke mejanya.
Dia melihat ke arahku dengan heran dan berkata, “Katakan pada ayahmu agar memeriksakanmu ke dokter.”
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Kelihatannya ada yang tak beres dengan mata kamu,” dia menambahkan.
“Tapi mata saya baik-baik saja, Pak,” sergahku.
“Kalau begitu mestinya kamu tahu bahwa burung gereja tidak berwarna kuning, ayam itu tidak biru, dan tak ada kucing berwarna hijau. Mengerti?” ujarnya.
Aku mengangguk, “Ya, Pak.”
Pak Guru kemudian memberikan kertas itu. Sebuah tanda silang besar mencoreng tulisanku. Rasanya mataku digenangi air mata. Tanda silang itu tampak bagaikan dua bilah pedang berlumuran darah.

Dipetik dari sumber yang sama dengan Tarian Sang Ngengat, hlm. 54–60.


Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)