Komposisi
Rahnaward
Zariab
Aku duduk di kelas empat sekolah dasar. Di hari pertama
dimulainya pelajaran, guru kami datang dan menyapa kami, “Anak-anak ...”
Kemudian dia mulai berjalan ke bagian paling belakang
kelas kami. Pandangan matanya mengarah ke bawah. Dia seperti orang menghitung
setiap ubin di lantai yang dilaluinya. Dia kelihatan begitu pendek. Dan
kenyataannya memang guru kami itu pendek.
Tiba-tiba, dia terbentur tembok. Dia selalu melihat ke
atas—setiap dia selesai menghitung ubin lantai. Bibirnya digerakkannya beberapa
kali sampai akhirnya dia mulai berbicara.
“Besok, masing-masing dari kalian harus membuat sebuah
komposisi tentang musim semi,” katanya.
Hal ini menjadi sebuah kejutan bagi kami. Kami semua
merasa heran dan bingung, sementara di telinga kami terngiang “Sebuah
komposisi?”, “—tentang musim semi.”
Guru kami pasti sudah bisa merasakan semua kebingungan
kami akan hal itu. Karenanya dia kemudian mulai menjelaskan apa sebetulnya yang
harus kami kerjakan. “Begini, maksud Bapak, seperti kalian tahu, komposisi
tentang musim semi. Tulislah sebuah karangan tentang musim semi. Itu saja.
Sebagai contoh, sebutkan saja apa yang dikerjakan orang-orang atau dilakukan
hewan-hewan pada musim semi, dan semacamnya.”
Guruku itu mengira semua penjelasannya berguna bagi kami.
“Sebuah komposisi tentang musim semi.” Kami benar-benar tidak mengerti.
Dalam perjalanan pulang yang kupikirkan tak lain hanyalah
soal “komposisi” yang harus kami tulis itu.
Ketika aku sampai di rumah, aku bertanya pada ibuku,
“Ibu, apa itu komposisi?”
Ibuku melihatku dengan heran, “Komposisi? Apa ya ... Ibu
juga tidak tahu apa itu komposisi. Kamu mempelajarinya hari ini?” tanyanya.
“Tidak, tapi Pak Guru menyuruh kami membuatnya.”
Setelah makan malam, aku mulai menulis. Maksudku, aku menulis
di tepi kertas paling atas, tapi tidak dapat meneruskannya. Aku sama sekali
tidak tahu apa yang harus kutulis. Aku harus berpikir dan berpikir, tapi tak
ada satu pun gagasan yang singgah di kepalaku. Akhirnya, aku berdiri di depan
jendela dan memandang halaman luar.
Kulihat burung gereja bercanda di ranting-ranting pohon
halaman rumahku. Di mataku mereka tampak kuning, begitu mencolok di antara
hijau dedaunan. Sementara, di sudut halaman, ayam-ayam kami tengah asyik
mengorek-ngorek tanah. Ayam-ayam itu terlihat biru. Dan burung layang-layang
kecil yang berusaha membuat sarang di batang kayu atap rumahku itu kelihatan
seperti layangan berbentuk ikan. Kemudian kulihat kucingku yang selalu membenci
terik matahari sedang berlindung di balik bayangan dinding. Dia tampak hijau.
Aku kembali memandangi kertas tugasku itu, tapi tak ada
satu pun yang bisa kutulis. Merasa sangat sedih dan tertekan, aku keluar dari
rumah dan duduk di sisi tembok gang. Aku terus berpikir.
Walaupun aku berusaha keras untuk berpikit, tetapi
pertanyaannya tetap sama, “... komposisi tentang musim semi?” Hanya itulah yang
menyangkut di otakku.
Selagi berpikir, aku berusaha keras untuk berpikit, aku
melihat tetanggaku keluar dari rumahnya. Seorang lelaki berbadan kurus dan
jangkung. Ayahku pernah bercerita bahwa dia seorang panyair. Setelah melihatku,
dia menghampiri.
“Kamu kelihatan sedih, kenapa?” tanyanya.
“Pak Guru menyuruh kami menulis sebuah komposisi—tentang
musim semi,” jawabku pelan.
“Tapi kamu tidak bisa, begitu?” tanyanya lagi.
“Ya,” sahutku dengan nada muram.
Tetanggaku itu tertawa. Kemudian dia memegang tanganku.
Dia menatap ke langit dan dengan jarinya dia menggambar setengah lingkaran yang
besar di udara.
“Lihatlah sekelilingmu, apa saja yang kamu lihat tulislah
di atas kertas. Itu semua adalah sebuah komposisi tentang musim semi,” katanya.
Tiba-tiba semuanya terasa jelas di benakku. “Aku paham
sekarang!” jeritku riang. Kemudian segera aku lari kembali ke rumah. Kuhampiri
jendela. Semuanya terlihat seperti sebelumnya. Ibuku sedang duduk di bawah
pohon. Dia mencuci beras yang akan dimasak nanti.
Aku mengambil penaku dan menuliskan judul “Komposisi
Musim Semi”.
Kemudian aku mulai menulis di bawahnya: “Pada musim semi,
burung gereja kuning bercanda di pepohonan. Ayam biru mengorek-ngorek tanah.
Burung layang-layang kecil yang mirip layangan berbentuk ikan sedang membuat sarang.
Kucing hijau benci matahari jadi dia tidur di bawah bayangan dinding. Ibuku
duduk di bawah pohon dan mencuci beras. Di musim semi langit cerah. Lebah-lebah
beterbangan. Dan anak-anak sekolah menulis komposisi tentang musim semi.” Aku tidak
dapat meneruskan lagi, tapi aku merasa senang karena akhirnya aku bisa
menyelesaikan tugasku.
Esoknya, Pak Guru memeriksa pekerjaan kami di kelas. Dan
tibalah giliranku. Guruku kemudian membaca apa yang telah kutulis. Dia
menatapku dengan sorot mata yang aneh selama beberapa saat. Jantungku berdebar
kencang. Dia menyuruhku maju ke mejanya.
Dia melihat ke arahku dengan heran dan berkata, “Katakan
pada ayahmu agar memeriksakanmu ke dokter.”
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Kelihatannya ada yang tak beres dengan mata kamu,” dia
menambahkan.
“Tapi mata saya baik-baik saja, Pak,” sergahku.
“Kalau begitu mestinya kamu tahu bahwa burung gereja tidak
berwarna kuning, ayam itu tidak biru, dan tak ada kucing berwarna hijau. Mengerti?”
ujarnya.
Aku mengangguk, “Ya, Pak.”
Pak Guru kemudian memberikan kertas itu. Sebuah tanda
silang besar mencoreng tulisanku. Rasanya mataku digenangi air mata. Tanda
silang itu tampak bagaikan dua bilah pedang berlumuran darah.
Dipetik dari sumber yang sama dengan Tarian Sang Ngengat, hlm. 54–60.
Gambar: Lukisan “The River” karya Laurie Justus Pace dalam http://www.dailypainters.com/paintings/70661/-The-River-Landscape-River-Painting-by-Laurie-Justus-Pace/Laurie-Justus-Pace
Comments
Post a Comment