Awal Baru
Oleh: Mahtab Shabzad
Aku berdiri di tengah dingin salju. Tubuhku menggigil.
Kulit beruangku memucat. Air mataku menjadi butiran-butiran es. Perasaan hampa
menghantuiku, membawaku ke seberang dunia. Napasku mengepul seperti asap.
Ribuan jarum terasa menusuki kulit persikku, tenang dan terus, seperti jarum
mesin jahit menembusi kain.
Paru-paru merah muda seketika berubah merah tua di
tubuhku yang hangat. Di dalam diriku, ada hutan sedang terbakar. Hangat apinya
berasal dari satu jiwa lain. Salju berjatuhan dan menguburku di bawah hamparan
dada yang menggunung putih seputih susu. Sementara itu aku tetap berdiri dan
dengan sabar menunggu datangnya matahari. Menunggu matahari mencairkan salju
segar menjadi sari lezat sebuah kehidupan dan menjadikannya satu awal yang
baru.
Detik menjadi momen, momen menjadi jam, namun waktu
bagiku tak penting lagi karena ia tak memberikan arti apa pun. Waktu tak
bertujuan, dan aku tak berada di bawah pengaruhnya. Matahari yang panas membara
tampak menyalakan semua pesonanya, menerawangkan matanya yang indah dan
mengerdipkan bulu matanya, beriring dengan denyut jantung, nun di atas
bukit-bukit yang putih. Panasnya menembus dan melubangi salju, seperti seorang
lelaki mengebor kayu; namun, suara alam terdengar lebih menenteramkan.
Saat mencair, salju itu kudapati seperti kepompong.
Sekarang aku adalah putri duyung. Tubuhku menyesuaikan diri dengan
pencairannya. Aku pun berenang menyelami samudra batu, kehidupan yang baru. Aku
terlahir kembali. Ibuku adalah salju. Dia melahirkan dan membantuku mencocokkan
diri dalam bentuk baruku, di sebentang samudra yang kita sebut kehidupan.
Dipetik dari Mata Yang Setia, Kumpulan Cerpen
Afghanistan, diterjemahkan oleh Evi Novianti, disunting oleh Hasif Amini,
Penerbit akubaca, Jakarta, 2002, hlm. 78–80.
Comments
Post a Comment