Kaghan Khazar
KAGHAN—gelar penguasa
Khazar, berasal dari kata Tatar khan,
yang berarti “pangeran”. Menurut Ibnu Fadlan, bangsa Khazar mengubur para
kaghan di bawah air, di sungai-sungai. Kaghan Khazar selalu berbagi kekuasaan
dengan seorang rekan penguasa dan keseniorannya terhadap rekannya itu hanya
sebatas menjadi orang pertama yang mesti diberi ucapan selamat pagi. Kaghan
biasanya berasal dari keluarga berkuasa lama, barangkali keluarga Turki,
sedangkan raja, atau bey, rekan
penguasanya, adalah putra bangsa itu, seorang Khazar. Sebuah dokumen abad
kesembilan (Yakubi) mengatakan bahwa pada abad keenam kaghan juga sudah
mempunyai seorang khalifah yang mewakilinya. Catatan terbaik tentang kekuasaan
bersama di kalangan bangsa Khazar diwariskan oleh Al-Istakhri. Ditulis pada 320
menurut almanak Arab (932 M), beginilah bunyinya:
“Dalam politik dan administrasi Khazar, penguasanya
disebut Kaghan Khazar. Kedudukannya lebih tinggi daripada raja Khazar (bak atau bey), tetapi rajalah yang menunjuknya (memberinya gelar “kaghan”). Ketika
mereka ingin mengangkat seorang kaghan, calon yang dijagokan dihadapkan dan
dicekik dengan selendang sutra hingga napasnya nyaris putus, lalu mereka
menanyainya, ‘Berapa lama kamu ingin berkuasa?’ dan dia menjawab, ‘Sekian
tahun.’ Jika dia meninggal dunia sebelum masa berkuasanya habis, tidak akan
terjadi apa-apa. Jika tidak, mereka akan membunuhnya begitu bilangan tahun yang
dia sebut terpenuhi. Kaghan hanya berkuasa di rumah-rumah keluarga terkemuka.
Dia tidak mempunyai hak memerintah, tetapi dia dimuliakan dan semua orang
bersujud di hadapannya. Kaghan dipilih dari sekelompok orang terpandang yang tidak
mempunyai kekuasaan dan uang. Ketika giliran menjabat tiba, mereka memilihnya
tanpa memeriksa status kekayaannya. Saya mendengar dari sumber terpercaya bahwa
dia melihat seorang pemuda di jalan sedang menjual roti. Konon ketika sang
Kaghan mangkat, anak muda inilah satu-satunya orang yang pantas
menggantikannya, tetapi dia seorang Muslim sedangkan gelar kaghan hanya
diberikan kepada orang Yahudi.
Rekan-rekan penguasa kaghan biasanya jagoan perang yang
hebat. Suatu ketika, setelah menang perang, di antara rampasan yang mereka
peroleh dari musuh terdapat seekor burung kedasih yang lengkingnya membuka mata
air minum. Musuh mereka lalu hidup bersama mereka. Waktu mulai merayap
terlampau lambat. Mereka menua dalam setahun seperti menua dalam tujuh tahun,
mereka pun harus mengubah almanak mereka, yang dibagi menjadi tiga bulan—bulan
matahari, bulan rembulan, dan bulan tanpa cahaya rembulan. Mereka dilahirkan
dalam dua puluh hari; mereka panen sembilan kali dalam satu musim panas, lalu
sembilan musim dingin berturut-turut mereka makan apa yang mereka panen. Dalam
sehari mereka tidur lima kali, memasak dan duduk untuk makan lima belas kali;
susu tetap segar hanya pada malam-malam tanpa rembulan yang berlangsung begitu
lama hingga orang lupa letak jalan setapak mereka, dan ketika hari akhirnya
merekah mereka tidak bisa saling mengenali, karena sebagian dari mereka telah
tumbuh dewasa dan sebagian lainnya menjadi tua. Dan mereka tahu bahwa ketika
malam datang lagi, itulah terakhir kalinya mereka melihat generasi ini.
Huruf-huruf yang ditulis para pemburu mimpi semakin besar saja; ujung-ujung
huruf sukar dicapai; buku-buku sudah tidak cukup tinggi lagi sehingga para
pemburu mimpi mulai menulis di lereng bukit; sungai-sungai terus mengalir ke
laut lepas. Dan suatu malam, saat kuda sedang merumput diterangi cahaya bulan,
sesosok malaikat muncul dalam mimpi kaghan dan berkata kepadanya,
“Pencipta berkenan dengan niatmu, tetapi tidak dengan
perbuatanmu.” Sang Kaghan lalu menanyakan kepada para pemburu mimpi makna
mimpinya, dan dari mana datangnya malapetaka bagi bangsa Khazar. Salah seorang
pemburu mimpi mengatakan bahwa seorang agung akan datang dan waktu sedang menyesuaikan
diri dengan kedatangan itu. Sang Kaghan menanggapi penafsiran ini,
“Itu tidak benar, kita semakin kecil, dan di situlah
masalah kita berpangkal.”
Dia lalu menyuruh pergi para pendeta dan pemburu mimpi
Khazar serta memerintahkan agar seorang Yahudi, Arab, dan Yunani dihadapkan
kepadanya untuk menjelaskan mimpi itu. Dia memutuskan bahwa dia dan rakyatnya
akan memeluk salah satu agama yang memberikan penjelasan terbaik. Ketika
polemik tentang ketiga agama itu dimulai di istana kaghan, dia terpikat oleh
argumen-argumen utusan Arab, Farabi bin Qurrah yang, antara lain, memberikan
jawaban paling memuaskan untuk pertanyaan ini,
“Apa yang menerangi mimpi-mimpi kita, yang berlangsung
dalam kegelapan total, di balik mata terpejam kita? Ingatan akan cahaya, yang
tak lagi ada, ataukah cahaya masa depan, yang kita anggap seperti pendahuluan
hari esok, walaupun fajar belum tiba?”
“Dalam kedua keadaan tadi cahaya itu tak ada,” jawab bin
Qurrah. “Maka tak jadi soal jawaban mana yang benar, karena pertanyaannya
sendiri harus dianggap tak ada.”
Nama kaghan yang masuk Islam itu tidak dicatat. Diketahui
bahwa dia dikubur di bawah tanda “alif”. Sumber-sumber lain mengatakan namanya
adalah Katib sebelum dia melepas sepatu dan membasuh kakinya untuk memasuki
masjid. Ketika dia menyelesaikan salatnya dan melangkah keluar menyongsong
matahari, nama lama dan sepatunya lenyap.
Dipetik dari sumber yang sama dengan Khazar, hlm. 220–224.
Comments
Post a Comment