Tarian Sang Ngengat



 
Tarian Sang Ngengat, Kumpulan Cerpen Afghanistan
Tarian Sang Ngengat
Farzad Bahari
Menatap hujan merintik satu demi satu, aku lewati lagi hari yang suram, hari yang begitu sepi. Apartemenku yang kecil, gelap, dan kotor terlihat lebih kecil, lebih gelap dan lebih kotor setiap harinya. Hujan turun lebih deras. Tetesan air hujan dari retakan atap yang jatuh ke lantai kosong dan bisu tempat aku duduk terdengar seperti tik-tok jam kakekku.
Aku memejamkan mata dan mendengar nyanyian hujan yang seolah bercerita tentang sebuah kisah tua. Aku mendengarkannya, seperti seorang anak mendengarkan cerita dari ibunya sebelum tidur—menyimak kata demi kata. Sebuah cerita hujan yang tiada henti. Ia bicara dan mengajari kami, tetapi kebanyakan dari kami tidak begitu menggubris cerita tentang masa lalu dan para leluhur.
Aku sentuh dadaku, tapi tidak kurasakan detak jantung. Sudah lama aku tidak mendengarnya. Aku berusaha membayangkannya berdetak tapi aku gagal dan gagal lagi. Namun darahku masih mengalir dalam pembuluhnya. Aku duduk seakan mati rasa, di dekat jendela melihat dunia yang berjalan dingin bersamaan dengan tetesan hujan. Kusentuh kaca jendela yang dingin dengan jari-jariku yang lemah dan tak bernyawa. Jari-jariku terasa lebih dingin.
Seorang lelaki dari arah jalan memperhatikanku dan memandangku dengan matanya yang kelabu kemudian menyalakan rokoknya dan berlalu pergi. Kemampuan berhubungan dengan manusia lain telah hilang dariku. Itulah yang sudah lama tak pernah lagi kualami. Ingin bicara tapi tak sepatah kata pun keluar.
Kesunyian jantungku yang aus dan tak berdetak telah menemaniku selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Aku pandangi dunia kelabu melalui jendela yang dingin, jauh dari kampung halaman, tanpa keluarga, teman atau orang sekampung halaman.
Seperti hujan yang turun, begitu pun kegelapan. Kututup mataku, pikiranku melukiskan sebuah bayangan hitam tanpa wajah, tubuh atau bentuk apa pun—sebuah kuburan yang gelap. Kubuka mataku, dan kegelapan yang ada di pikiranku muncul di sekelilingku.
Aku menemukan sebatang lilin yang layu di dekatku. Aku menyalakannya dan menatapnya terbakar seolah menjatuhkan mutiara bagai butiran air mata. Seperti sepenggal puisi yang aku pernah hafal saat di sekolah dasar, aku menunggu kedatangan ngengat saat ia mencari jalan menuju cintanya—api lilin itu.
Kenapa ia membakar dirinya dalam api yang panas? Sebesar apakah cinta sang api hingga ngengat itu rela menjadi abu? Sedemikian gilakah ia sampai mengakhiri hidupnya yang berharga itu ke dalam kobaran api lilin yang menghanguskan? Namun akhirnya, sang ngengat menemukan cinta sejatunya dan menerima takdirnya dengan tulus.
Seperti lilin itu, kampung halamanku, cinta sejatiku, berada dalam api bersama orang-perang yang telah mengambil pilihan yang tak bisa kusalahkan. Kenapa aku tak ikut masuk ke dalam api dan menjadi abu? Tak cukup besarkah cintaku?
Di dalam bayangan, seekor ngengat muncul dan memperlihatkan tarian ritualnya mengelilingi api. Ngengat itu menari dengan irama genderang dan seruling yang berada jauh entah di mana. Dalam tariannya, ia kian tertelan irama dan mabuk, mendekat dan mendekati api cintanya, sebuah ayunan indah, dalam gerak yang lembut. Ngengat yang tersihir itu menemukan takdirnya di dalam lilin api yang menyambutnya dengan besar hati. Ia terbakar menjadi abu. Tarian sang ngengat pun berhenti.

Dipetik dari sumber yang sama dengan Awal Baru, hlm 74–77.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)