Menjembatani Dua Dunia (Tamat)
Ini mengubah situasi saya sebagai Muslim. Terlibat untuk
pertama kalinya dengan kalangan luas rekan-rekan sesama Muslim saya, saya
berkecimpungan dengan urusan umat Islam, menggelutinya secara intelektual dan
emosional. Dilahirkan dalam peradaban dominan dan membanggakan, sebagai
anak-anak dahulu, Imperium “di mana matahari tidak pernah terbenam”, saya
menyeberangi garis perbatasan tak kasatmata dan bergabung dengan para korban
hegemoni Barat, dikutuk turut merasakan kepedihan mereka dan, sering kali, kemarahan
mereka. Dunia umat manusia dan dunia politik, kini terlihat dari perspektif
berbeda, menjadi sebuah dunia yang berbeda.
Hidup dengan dua alam pikiran adalah pengalaman ganjil
tetapi juga, dalam cara tertentu, layak dijalani, kadang-kadang bahkan memperkaya
wawasan. Kadang-kadang saya tergoda, ketika diminta berpendapat tentang sesuatu
yang tidak terlalu menjadi pikiran saya, untuk menjawab dengan pertanyaan,
“Anda mau pendapat saya sebagai orang Islam atau sebagai orang Barat?”
Mempertemukan kedua pendapat tersebut tidak salalu mudah, tetapi memahami dan
mengerti asal usul keduanya sangatlah penting bagi orang-orang seperti kami
yang memilih berfungsi sebagai “jembatan”. Dalam perannya sebagai manusia
perbatasan, bagaimanapun juga, seorang mualaf kini berdiri bersama sebuah
generasi Muslim bawaan lahir, anak-anak imigran di Eropa dan Amerika Utara.
Sang mualaf menemukan Islam sendiri, sedangkan mereka, dalam banyak kasus,
harus menemukan kembali Islam sendiri. Persis dirinya, mereka adalah pria dan
wanita dua dunia. Yang paling beruntung di antara mereka, yang mengenyam
pendidikan tinggi dan belajar berpikit sendiri, mengajukan pertanyaan yang
tidak bisa dijawab orang tua mereka. Generasi tua, kebanyakan dari mereka
tumbuh di desa-desa kecil di anak benua India, menerima Iman begitu saja dan
tidak tahu apa arti keraguan; tidak mengajukan pertanyaan apa-apa, mereka tak
punya tawaran jawaban. Mereka sering bingung dengan dunia aneh yang mereka
masuki bersama keluarga mereka. Ketika menghadapkan wajah ke Utara mereka tidak
terlalu mengerti ke mana mereka pergi. Mereka tidak hanya bingung dengan
orang-orang di sekitar mereka tetapi juga dengan anak-anak mereka, yang
berbicara dalam bahasa asing dan berpikir dalam cara yang juga asing.
Dalam menghadapi sebuah budaya yang sering tampak
bertentangan dengan segala kepercayaan yang ditanamkan kepada mereka, anak-anak
muda itu menghadapi problem yang, dalam kadar yang kian bertambah, juga dihadapi
hampir seluruh kaum Muslimin, di mana pun mereka berada. Mereka berada di garis
depan, dan seluruh umat Islam mengikuti di belakang mereka. Ketika, dan ini
cukup sering, saya diminta berbicara di depan audiens Muslim dengan tema “Muslim
di Barat”, saya selalu meluaskan pengertian ini melampaui batas-batas geografis
yang mendefinisikan belahan Barat dunia dan menekankan bahwa saat ini seluruh kaum
Muslimin hidup, kurang lebihnya, “di Barat”. Saya menolak pembedaan, yang dipakai
beberapa kalangan, antara “modernisasi” dan “westernisasi”. Peradaban Eropa,
berikut turunan Amerikanya, menjulurkan tentakel hampir ke seluruh penjuru
dunia. Lingkungan Islami, yang mencerminkan sekaligus mendukung Iman, sudah dihancurkan.
Anak-anak muda, di Timur Tengah, di Pakistan, Bangladesh atau di mana pun,
menempuh pendidikan Barat yang tidak berbeda dari yang saya dapatkan dahulu.
Inilah sebuah aspek yang lazim disebut “modernisasi defensif”, tetapi ini
menyebabkan korban-korbannya terperangkap di antara dua tata surya berbeda dan mereka
tidak mendapat petunjuk bagaimana mempertemukan keduanya.
Islam
and the Destiny of Man terutama
ditulis bagi mereka yang pikirannya dibentuk oleh kebudayaan Barat. Karena sebagian
besar dunia, sebagaimana yang kita dapati pada akhir abad kedua puluh, adalah produk
kebudayaan itu, saya sebetulnya menulis bagi saudara-saudara seagama saya yang mendapat
pendidikan “modern” sekaligus bagi non-Muslim.
Saya sudah berusaha menunjukkan apa artinya menjadi Muslim
dan merenungkan doktrin, sejarah dan kehidupan sosial di bawah siraman cahaya
Wahyu yang merupakan sumber Iman, di samping sebuah peradaban dan kebudayaan yang
dibentuk oleh umat manusia, yang baik dan jahat, yang bijaksana dan bodoh, dari
kristalisasi material sumber tersebut. Tetapi keseluruhan, yang mencerminkan Kemahasempurnaan ilahi, tak
bisa ditangkap dalam jaring-jaring kata mana pun. Untuk setiap pernyataan yang
terucap saya dengan senang hati menambahkan formula yang mengisyaratkan Allah
Maha Mengetahui, hanya Dia yang mengetahui sesungguh-sungguhnya, dan mereka yang
berbicara atau menulis harus selalu menyadari kebodohan relatif mereka dan
keterbatasan perspektif mereka, persis seperti yang hidup harus selalu mengingat
kematian: Wa Allahu a’lam.
Diterjemahkan dari Charles Le Gai Eaton, Islam and the Destiny of Man, The Islamic Text Society, United
Kingdom, 2005, hlm. 1–17.
Catatan:
Tentu saja banyak hal yang saya tidak sepakat dengan pemikiran Hasan Abdul
Hakeem (Charles Le Gai Eaton, wafat pada 26 Februari 2010) dalam buku Islam and the Destiny of Man ini. Saya
menerjemahkan pengantar beliau dalam buku tersebut untuk keperluan pemuatan
dalam blog ini dengan alasan: ketika saya tergoda untuk kembali ke “habitat”
lama agnotisisme dan ateisme (atau kurang lebih yang seperti itu), buku inilah
yang selalu menahan langkah saya dan mengembalikan saya ke “jalan” yang banyak
dibilang, di zaman kita ini, “kering, miskin warna, tidak lentur, sulit lagi menjemukan.”
Mengenai ketidaksempurnaan buku, saya menyukai kebiasaan beberapa penulis
Muslim zaman dahulu untuk sengaja membikin kesalahan dalam kitab-kitab karya
mereka, sebagai bentuk penghormatan pada keyakinan bahwa “Selain Al Qur’an, tak
ada kitab yang luput dari kesalahan.”
Comments
Post a Comment