Cyril (I)



Sumber-sumber mengenai perpindahan agama bangsa Khazar
St. Cyril



CYRIL (Konstantin dari Tesalonika atau Konstantin sang Filsuf) (826 atau 827–869 M)—Penginjil Kristen Timur, wakil Yunani dalam Polemik Khazar, salah seorang rasul yang menguasai baca tulis Slavia. Putra ketujuh Leo orang Drungar, yang menjalankan tugas-tugas kemiliteran dan administratif bagi istana Bizantium di Tesalonika, Konstantin mengemban sejumlah jabatan pemerintahan dan diplomatik dan dibesarkan di tengah gereja-gereja bebas ikon garis keras para ikonoklas yang waktu itu berkuasa di Konstantinopel. Mereka mencakupi sejumlah orang Tesalonika, dan Konstantin belajar dari orang-orang yang merupakan ikonoklas terkemuka. Leo sang Matematikawan, yang mengajarinya tentang Homerus, geometri, aritmetika, astronomi, dan musik, adalah seorang ikonoklas dan kerabat Patriark Konstantinopel (837–843 M), ikonoklas Yohanes sang Ahli Tata Bahasa; dia memelihara hubungan dengan orang-orang Saracen* dan khalifah mereka, Al-Makmun. Para pengajar Konstantin yang lain, filsuf ternama Photius yang kelak menjadi patriark mengajarinya tata bahasa, retorika, dialektika, serta filsafat, dijuluki Aristoteles Kristen dan, bersama Leo sang Matematikawan, membantu meluncurkan renaisans humanistis sehingga dunia Bizantium sekali lagi memandang dirinya sebagai keturunan silsilah Hellenis kuno. Photius menjalani kehidupan pertapa dan mempraktikkan ilmu-ilmu terlarang, astrologi, dan ilmu gaib. Kaisar Bizantium menyebutnya “wajah Khazar”, dan sebuah legenda beredar di istana bahwa pada masa mudanya Photius menjual jiwanya kepada seorang penyihir Yahudi. Konstantin mencintai bahasa; baginya bahasa seabadi angin, dan dia berganti bahasa seperti Kaghan Khazar berganti perempuan dari bermacam-macam keyakinan. Selain bahasa Yunani, dia mempelajari bahasa Slavonik, Ibrani, Khazar, Arab, Samaria, atau bahasa-bahasa yang tertulis dalam naskah Gotik maupun “Rusia”. Dia tumbuh dewasa dan kemudian hidup dengan hasrat berkelana yang sangat besar. Dia selalu membawa tikar dan pernah berkata, “Di mana tikarku di situlah rumahku; dia menghabiskan bagian terbaik hidupnya di tengah suku-suku yang begitu liarnya sampai-sampai setelah berjabat tangan dia harus selalu menghitung jari-jarinya. Hanya sakit yang menyediakan semacam pulau kedamaian dalam hidupnya. Begitu jatuh sakit, dia akan melupakan semua bahasa selain bahasanya sendiri. Setidaknya selalu ada dua penyebab sakitnya. Ketika kubu ikonoklas Tesalonika digusur dari kekuasaan pada 843 M dan pemujaan ikon diberlakukan kembali menyusul mangkatnya Kaisar Teophilus, Konstantin terpaksa mengungsi di sebuah biara di pesisir Asia Kecil. Dia berpikir, “Dan Tuhan telah mundur untuk memberi ruang bagi dunia. Mata kita adalah sasaran objek yang ada di depannya. Objek-objek itu yang menatap mata, bukan sebaliknya.” Dia lalu dipaksa kembali ke ibu kota, menyatakan di depan khalayak penyangkalan terhadap bekas guru-gurunya dan orang-orang senegerinya, dan membela ikon. “Ilusi belaka bahwa pikiran-pikiran kita ada di kepala kita,” simpulnya kemudian. “Kepala kita dan kita secara keseluruhan ada dalam pikiran kita. Kita dan pikiran-pikiran kita bagaikan laut dan arus yang mengalir di dalamnya—tubuh kita adalah arus di laut, tetapi pikiran-pikiran kita adalah laut itu sendiri. Karena itu tubuh membuat ruangan untuk dirinya sendiri di dunia melalui penempaan pikiran. Dan jiwa adalah dasar laut untuk keduanya ...”
Dia lantas meninggalkan seorang bekas gurunya yang lain—kakaknya, Metodius, yang tidak pernah menyerang siapa saja yang sependirian. Cyril mendapati dirinya melampaui saudaranya yang pernah menjadi bapak spiritualnya, dan ganti memimpin.
Dalam pengabdiannya di istana Konstantinopel, mula-mula dia menjadi pejabat rendah pengadilan sebuah provinsi Slavia, lalu belajar di sekolah kerajaan di ibu kota, selaku padri dia bekerja sebagai pustakawan kepatriarkan dan dosen filsafat di Universitas Konstantinopel di mana, berkat pengetahuannya yang luar biasa, dia dianugerahi gelar kehormatan “Filsuf” yang dibawanya sampai mati. Namun, dia berpegang teguh pada sebuah pandangan berbeda dan keyakinan seorang pelaut bahwa daging ikan cerdas berbahaya dan lebih alot daripada daging ikan bodoh. Hanya orang bodoh yang makan ikan bodoh dan ikan cerdas, sedangkan orang pintar mengambil dan memilih ikan bodoh.
Setelah menghabiskan separuh pertama hidupnya menjauhi ikon, dia menjalani separuh kedua hidupnya dengan mengusung ikon layaknya perisai. Namun, terlihat bahwa sekalipun dia terbiasa dengan ikon Bunda Maria, dia tidak terbiasa dengan sang Bunda Kudus itu sendiri. Beberapa tahun kemudian, dalam polemik Khazar, ketika dia membandingkan perawan suci dengan para pelayan di sekeliling Kaghan, dia membandingkan sang Perawan dengan seorang laki-laki alih-alih perempuan.
Kemudian setengah abadnya berlalu dan setengah hidupnya sudah dijalani.
Dia memungut tiga koin emas dan menaruh di tasnya, seraya berpikir, “Yang pertama akan kuberikan kepada peniup terompet, yang kedua kepada para penyanyi gereja, dan yang ketiga kepada para malaikat penyanyi di langit.” Dan dia pun mengawali perjalanan tiada akhirnya. Dia tidak pernah sempat mencampur remah-remah makan siang dengan remah-remah makan malam. Dia terus-menerus bergerak. Pada 851 M dia menghadap khalifah Arab di Samarra, di dekat Baghdad, dan ketika kembali dari misi diplomatiknya, dia melihat di cermin kerut pertama di dahinya dan menyebutnya “kerut Saracen”. Tahun 859 M menjelang tutup, dan dia mencapai usia yang sama dengan Alexander Agung yang meninggal pada tiga pupul tiga, usia Konstantin saat itu.
“Ada lebih banyak orang seumurku yang mendiami dunia bawah tanah daripada permukaannya,” katanya dalam hati, “orang-orang dari semua kurun, dari era Ramses III, dari labirin Kreta, dari masa pengepungan pertama Konstantinopel. Suatu hari, ketika aku berada di bawah tanah, aku pun akan berusia sama dengan kebanyakan yang masih hidup. Namun, menjadi tua di sini, di atas bumi, aku mengkhianati orang mati yang lebih muda dariku.”
Dan terjadilah lagi pengepungan terhadap kota yang menyandang namanya itu. Sementara orang-orang Slavia mengepung Konstantinopel pada 860 M, Konstantin tengah menyiapkan perangkap untuk mereka di bilik biaranya yang tenang di Olympus Asia Kecil—dia sedang menciptakan huruf-huruf pertama aksara Slav. Dia mulai dengan huruf-huruf bulat, tetapi bahasa Slavonik begitu liarnya hingga tinta tidak bisa menahannya, lantas dia pun membuat aksara kedua dari huruf-huruf berjeruji dan mengurung bahasa susah diatur itu di dalamnya layaknya mengurung seekor burung. Baru kemudian, ketika sudah dijinakkan dan diajari bahasa Yunani (sebab bahasa memang mempelajari bahasa lain), bahasa Slavonik bisa ditangkap dalam huruf-huruf bulat Glakolitik orisinal ...


* Sebutan untuk orang Islam yang berperang melawan tentara Salib Kristen pada Abad Pertengahan, orang Arab dan Muslim masa lalu.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)