Al-Bakri
Khazaria |
AL-BAKRI,
SI ORANG SPANYOL (abad
kesebelas)—penulis tarikh Arab utama tentang polemik Khazar. Naskahnya baru
belakangan diterbitkan (Kunik dan Rosen,
44), diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Marquart (Osteuropäische und ostasiatische Streifzüge, Leipzig, 1903, 7–8). Bersama
karya Al-Bakri, dua laporan lain tentang polemik Khazar (baca: perpindahan
agama) masih tersimpan, tetapi laporan-laporan itu tidak lengkap, dan tidak
selalu jelas apakah yang ditunjuk adalah masuknya bangsa Khazar ke agama Yahudi,
Kristen, atau Islam. Selain keterangan dari Al-Istakhri, bagian dari laporan
itu hilang, ada pula keterangan dari Masudi Tua, pengarang Padang Rumput Emas, yang meyakini bahwa bangsa Khazar meninggalkan
agama asli mereka pada masa kekuasaan Harun Arrasyid (786–809), suatu masa
ketika banyak orang Yahudi diusir dari Bizantium dan dari kekhalifahan ke
Khazaria, saat mereka diterima tanpa penolakan. Penulis tarikh lain tentang
polemik itu adalah Ibnu Al-Atsir, tetapi keterangannya tidak tersimpan dalam bentuk
asli—keterangan itu sampai kepada kita dari Dimasci. Akhirnya, sebagai sumber
paling terpercaya dan paling lengkap, terdapat Al-Bakri yang menyatakan bahwa,
setelah tahun 731 dan peperangan melawan para khalifah, bangsa Khazar menerima
perdamaian dan Islam dari bangsa Arab. Lebih lanjut, para penulis tarikh Arab,
Ibnu Rustah dan Ibnu Fadlan, menyebut banyak tempat ibadah Islam di Imperium
Khazar. Mereka juga berbicara tentang “kerajaan dua lapis” yang bisa diartikan
bahwa di satu titik Islam dianut di negeri Khazar sederajat dengan agama-agama
lain, dan kaghan memeluk agama Muhammad, sementara Raja Khazar menganut Yahudi.
Menurut Al-Bakri, orang Khazar kemudian masuk Kristen dan akhirnya, setelah
polemik yang dipimpin Kaghan Sabriel Obadiah pada 763, yang tidak dihadiri
wakil Islam karena diracun dalam perjalanan, mereka memeluk Yahudi.
Al-Bakri (menurut Daubmannus) meyakini bahwa saat yang sangat
penting adalah ketika bangsa Khazar pertama kali meninggalkan keyakinan asal
mereka dan memeluk Islam. Kitab Suci mempunyai banyak
tingkatan—tulisnya—sebagaimana ditegaskan oleh imam pertama ketika dia bersabda, “Tak
ada kata sepatah pun dalam kitab ini dikirim lewat sang Malaikat yang turun
dari langit tanpa dia mengimlakan ke penaku; tak sekata pun yang ditulis tanpa
aku mengulangnya keras-keras, dan untuk setiap kata dia menjelaskan kepadaku
sebanyak delapan kali; makna harfiah dan makna rohaninya, ayat yang diubah
dengan ayat sebelumnya dan ayat yang mengubah ayat sesudahnya, misteri dan
ambiguitas, yang khusus dan yang umum.” Mengikuti beberapa petunjuk yang diberikan
ahli kedokteran, Zakaria Razi, Al-Bakri yakin bahwa ketiga agama—Islam,
Kristen, dan Yahudi—bisa dipandang sebagai tiga tingkatan Kitab Suci. Setiap
umat menganut tingkatan-tingkatan dalam Kitab Suci berdasarkan urutan yang
paling sesuai, yang dengan demikian mengungkapkan tabiatnya yang paling
mendasar. Dia menganggap sepi pemaknaan tingkat pertama, karena ini adalah
tingkat harfiah, disebut awwam, dan
bisa dimengerti semua orang, apa pun agamanya. Tingkat kedua—tingkat kiasan,
makna perlambang, disebut khawas dan
dipahami kalangan elite—merepresentasikan gereja Kristen, dan mencakup masa
sekarang serta bunyi (suara) Kitab Suci. Tingkat ketiga, disebut aulia, meliputi makna-makna gaib,
merepresentasikan tingkatan Yahudi dalam Kitab Suci, tingkat kedalaman mistik
dan bilangan, tingkat alifbata kitab. Dan yang keempat, anbiya, tingkat pancaran profetik dan hari esok, merepresentasikan
ajaran Islam dalam maknanya yang paling esensial, roh Kitab Suci, atau
kedalaman ketujuh dari kedalaman. Orang-orang Khazar—yang menerima terlebih
dahulu tingkatan tertinggi (anbiya),
baru kemudian tingkatan-tingkatan lain Kitab Suci, itu pun tidak secara
berurutan—menganggap ajaran Islam paling sesuai bagi mereka. Sesudah itu,
mereka tidak pernah benar-benar meninggalkan Islam, walaupun kemudian masuk
Kristen dan memeluk Yahudi.
Bukti hal ini adalah Kaghan Khazar kembali pada
kepercayaan yang mula-mula dianut dan memeluk Islam sebelum ambruknya Imperium
Khazar, sebagaimana diriwayatkan dengan amat bagus oleh Ibnu Al-Atsir.
Laporan Al-Bakri dari Spanyol ditulis dalam bahasa Arab
yang dipilih dengan cermat, gaya yang sama seperti yang dipakai oleh para
malaikat, tetapi pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ketika sudah tua, gaya
Al-Bakri berubah. Dia mulai memberi makan tahunnya yang keenam puluh tujuh; dia
botak, bertangan kidal, dan mengandalkan kaki kanan. Walaupun begitu, sepasang
mata besarnya tetap bagus, seperti dua ikan biru kecil. Suatu malam dia
bermimpi ada seorang perempuan mengetuk pintunya. Dari tempat tidurnya dia bisa
melihat dengan jelas, melalui jendela
kecil di pintu, wajah bersinar rembulan perempuan itu, yang dibedaki dengan
tepung ikan seperti yang lazim dilakukan para perawan. Ketika dia bangun untuk
mempersilakan perempuan itu masuk, dia mendapati bahwa perempuan itu mengetuk
pintu tidak sambil berdiri, tetapi duduk di tanah. Dalam keadaan duduk, dia
sama tingginya dengan Al-Bakri. Namun, ketika perempuan itu mulai berdiri, hal
ini makan waktu lama sekali, dan dia berdiri sedemikian tinggi sampai-sampai
Al-Bakri ketakutan dan terbangun, dan tahu-tahu mendapati dirinya tidak berada
di tempat tidurnya, tetapi di dalam sangkar di atas air. Dia menjadi seorang
pemuda berumur dua puluh tahun, berkaki kidal, dengan rambut ikal panjang dan
jenggot panjang, yang kepadanya sebuah ingatan yang sangat tidak terjelaskan
terikat—dia mencelupkan jenggotnya ke dalam anggur dan membasuh payudara
seorang gadis dengan jenggot itu. Dia tidak mengerti sepatah pun kata Arab, dan
dengan sipir penjaranya, yang memanggangkan roti untuknya dari tepung lalat
tanah. Dia fasih bicara dalam bahasa yang dipahami pengurungnya, tetapi tidak
dirinya. Dia benar-benar tidak tahu lagi bahasa apa pun, dan inilah
satu-satunya jejak dari dirinya yang tua, dirinya sebelum bangun. Sangkar itu
menggantung di atas air. Ketika gelombang pasang datang, hanya kepalanya yang
tersembul di atas gelombang, tetapi ketika surut, dia bisa menangkap kepiting
dan kura-kura dengan tangannya, karena kemudian laut menyusut dan sungai
pasang, dia membilas air asin dengan air tawar. Di dalam sangkar dia menulis
menggunakan giginya mengguratkan huruf ke cangkang kepiting atau kura-kura,
tetapi karena dia tidak bisa membaca yang dia tulis, dia menjatuhkan kembali
hewan-hewan itu ke air, tanpa pernah tahu pesan yang dia kirimkan ke dunia.
Pada saat-saat yang lain, dengan menangkap kura-kura ketika gelombang surut,
dia menerima pesan-pesan pada tempurung hewan itu dan membacanya, tetapi dia
tidak pernah bisa memahami sedikit pun yang dia baca. Dia mati memimpikan
payudara asin perempuan dalam kuah ludah dan sakit gigi, mempelajari kembali
bahasa Kitab Suci dari pohon tempat dia bergantung.
Dipetik dari sumber yang sama dengan Khazar, hlm. 196–201.
Comments
Post a Comment