REVOLUSI
Revolusi, sebagaimana yang akan segera kita saksikan,
mempunyai beberapa kesamaan kualitas dengan perang saudara. Tetapi revolusi juga punya dinamikanya tersendiri.
Kita definisikan saja revolusi adalah
peralihan paksa kekuasaan atas suatu negara di mana dalam proses itu
setidak-tidaknya dua blok penggugat yang berbeda membuat klaim yang tidak bisa
dipertemukan untuk mengontrol negara, dan beberapa bagian signifikan penduduk
tunduk pada yurisdiksi negara yang menerima klaim masing-masing blok.
Sebuah revolusi penuh mengombinasikan sebuah situasi
revolusioner dengan sebuah hasil revolusioner. Sebuah situasi revolusioner melibatkan sebuah perpecahan besar dalam suatu
rezim, dengan tiap-tiap pihak mengontrol sebagian wilayah substansial dan/atau
instrumen-instrumen negara. Tentu saja kita sedang berbicara tentang suatu
kadar, tentang sebuah kontinum dari tanpa perpecahan sama sekali hingga sebuah
perpecahan yang sepenuhnya membelah rezim. Sebuah hasil revolusioner adalah hal yang berbeda: sebuah pengalihan
besar-besaran kekuasaan atas suatu pemerintahan, sedemikian rupa hingga
beberapa orang yang tadinya mengontrolnya kini memegang kekuasaan. Sekali lagi
kita berurusan dengan soal kadar, dari tak ada pengalihan hingga pengalihan
sepenuhnya. Gambar 8.1 menyampaikan poin itu dengan menempatkan
revolusi-revolusi besar di sudut kanan artas: perpecahan ekstensif dalam suatu
rezim disusul oleh pengalihan besar-besaran kekuasaan dalam rezim tersebut.
Dengan mengingat pemahaman-pemahaman ini, mari kita tilik
lebih dekat situasi revolusioner dan hasil revolusioner. Berikut adalah
komponen-komponen sebuah situasi revolusioner:
·
Para
penggugat atau koalisi penggugat yang mengajukan klaim-klaim eksklusif
bersaingan untuk mengontrol suatu negara atau sebagian segmen negara, Komponen
ini berasal dari mobilisasi, yang selanjutnya sering melibatkan perantaraan dan
pengaktifan batas; komponen ini merupakan sebuah koalisi revolusioner.
·
Komitmen
terhadap klaim-klaim itu dari suatu segmen signifikan warga negara. Sekali
lagi, kita sering melihat mobilisasi yang sedang bekerja, sering kali disertai
oleh penyebaran, pengaktifan batas, dan pengakuan eksternal.
·
Ketidakmampuan
atau ketidakmauan para penguasa untuk menumpas koalisi alternatif dan/atau
komitmen terhadap klaim-klaimya. Komponen ini melibatkan interaksi
penguasa-rakyat, sering kali dengan persekutuan-persekutuan yang terbentuk
antara para penggugat dan anggota-anggota rezim sebelumnya. Jika ketiga unsur
ini muncul bersamaan, arinya sebuah perpecahan signifikan terjadi dalam sebuah
rezm yang tadinya terpadu.
·
Pembelotan anggota-anggota rezim: Walaupun kadang-kadang para anggota cuma berniat kabur
dari ancaman kehancuran, sering kali mereka membentuk koalisi-koalisi baru dengan
segmen-segmen koalisi revolusioner.
·
Akuisisi angkatan bersenjata oleh koalisi-koalisi
revolusioner: Koalisi-koalisi semacam itu bisa terjadi melalui dukungan
eksternal, penggabungan kesatuan-kesatuan pembangkang yang tadina terpisah,
pembelian, atau mobilisasi persenjataan yang sudah dikontrol oleh para
partisipan koalisi.
·
Netralisasi atau pembelotan angkatan bersenjata rezim: Ada kalanya pasukan bubar ketika mereka melihat sebuah
kekuatan yang lebih unggul muncul dan para pemimpin mereka terbelah, tetapi
yang lebih sering terjadi adalah para pemimpin militer itu sendiri yang membawa
kesatuan-kesatuan mereka ke dalam netralitas atau kubu oposisi.
·
Kontrol aparatur negara oleh para anggota koalisi
revolusioner: Hal ini jarang
terjadi tanpa suatu kolaborasi, betapapun sementaranya, antara kaum
revolusioner dan agen-agen yang tadinya setia pada rezim yang terancam.
Jika keempat unsur itu muncul bersamaan, sebuah peralihan
besar kekuasaan sudah mengubah suatu rezim.
Di sepanjang sejarah, jauh lebih banyak situasi
revolusioner—perpecahan politik yang membelah seluruh rezim—yang muncul
daripada hasil-hasil revolusioner. Meski begitu, hasil-hasil revolusioner terus
muncul dalam dunia kontemporer. Hanya menangani kasus-kasus yang dipandangnya
layak disebut sebagai revolusi sosial besar sejak Perang Dunia II, misalnya,
Jeff Goodwin (2001: 4) menyebut Vietnam, Cina, Bolivia, Kuba, Aljazair,
Ethiopia, Angola, Mozambique, Kamboja, Vietnam Selatan, Iran, Nikaragua, dan Grenada.
Tetapi jika kita meluaskan konsep revolusi agar mencakupi apa yang banyak
disebut sebagai revolusi “politik”, jumlah dan cakupan fenomena itu meningkat
secara luar biasa (Tilly 1993).
Diterjemahkan dari Charles Tilly & Sidney Tarrow, Contentious Politics, Oxford University
Press, 2015, h. 184 – 185. Jika
diperlukan sebagai kutipan, silakan dipakai. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment