PERANG SAUDARA
Perang
saudara terjadi ketika dua
atau lebih organisasi militer berbeda, setidak-tidaknya salah satunya terikat
dengan pemerintahan yang ada sebelumnya, berperang memperebutkan kontrol atas
sarana pemerintahan utama dalam suatu rezim (Collier dan Hoeffler 2003; Fearon
dan Laitin 2003). Kita sudah mencermati pertikaian sipil yang berkobar di
Yugoslavia ketika federasi runtuh. Sebagai bagian dari upaya mereka
menganalisis dan mengorganisasi resolusi konflik yang damai, para sarjana
Skandinavia mengkhususkan diri dalam penyusunan katalog berbagai konflik
kekerasan di seluruh dunia. Salah satu kelompok dari mereka melakukan
perhitungan tahunan konflik-konflik besar, menghitung sebagai perang saudara
konflik-konflik antara pemerintah dan aktor-aktor lain di mana setidak-tidaknya
dua puluh lima orang tewas pada tahun yang bersangkutan.
Pada tahun 2003 saja, para pengamat konflik profesional
Skandinavia mengidentifikasi perang saudara di atas ambang dua puluh lima
mereka di Afghanistan, Aljazair, Burma/Myanmar, Burundi, Chechnya, Colombia,
Irak, Israel/Palestina, Kashmir, Liberia, Nepal, Filipona, Sri Lanka, Sudan,
Turki/Kurdistan, dan Uganda (Eriksson dan Wallensteen 2004: 632–635).
Kasus-kasus ini merentang dari rezim-rezim di mana pihak-pihak besar bertarung
memperebutkan kontrol atas satu pemerintah nasional (misalnya, Nepal) hingga
rezim-rezim di mana setidak-tidaknya satu pihak utama berusaha lepas sepenuhnya
dari yurisdiksi pemerintah pusat (misalnya, Filipina).
Sepanjang tahun-tahun sesudah Perang Dunia II, terjadi
sebuah perubahan luar biasa dalam konflik-konflik bersenjata di dunia. Selama
dua abad hingga berakhirnya Perang Dunia II, sebagian besar konflik fatal
berskala besar dikobarkan oleh negara-negara merdeka yang saling berhadapan.
Penaklukan kolonial dan perlawanan antikolonial merupakan perkecualian utama
dari kelaziman ini. Selama periode tak lama sesudah perang, negara-negara
penjajah Eropa menghadapo perlawanan dan pemberontakan di banyak negeri jajahan
mereka. Perang kolonial mengemuka sebelum surut pada tahun 1970-an. Ketika
Perang Dingin mendominasi antara tahun 1960-an dan 1980-an, negara-negara
besar—terutama Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara bekas
penjajah—sering kali campur tangan dalam perang saudara pascakolonial seperti
yang mengoyak Angola antara tahun 1975 dan 2003 (Dunér 1985). Tetapi perang
saudara tanpa campur tangan militer langsung oleh pihak ketiga semakin sering
menjadi lokasi utama konflik fatal berskala besar (Kaldor 2006; Tilly 2003: bab
3).
Para peneliti Amerika yang bekerja dalam kerangka proyek
“Correlates of War” (COW) membagi
konflik-konflik bersenjata sejak Perang Dunia II ke dalam kategori-kategori
berikut ini:
·
Ekstranegara, yang berlangsung antara sebuah negara dan sebuah kelompok bukan negara di
luar wilayahnya, kasus paling tipikal kategori ini adalah perang kolonial
·
Antarnegara, antara dua negara atau lebih
·
Perang Saudara antara pemerintah suatu negara dan kelompok-kelompok oposisi internal
tanpa campur tangan dari negara-negara lain
Tabel 8.1, didasarkan pada karya para sarjana “COW”,
menunjukkan berbagai tren dalam ketiga kategori konflik. Tabel ini menunjukkan
perang ekstra negara menurun setelah tahun 1929; perang antarnegara
berfluktuasi tetapi tidak pernah lenyap; dan perang saudara mencapai titik
maksimum dari tahun 1970-an hingga 1980-an, lalu menurun setelah tahun 2000.
Disintegrasi Soviet dan Yugoslavia turut berperan dalam lonjakan jumlah perang
saudara dan kematian yang ditumbulkan pada tahun 1990-an (Beisinger 2002;
Kaldor 1999).
Selama periode lebih panjang sejak Perang Dunia II,
perang saudara terkonsentrasi dalam dua jenis rezim: (1) rezim-rezim dengan
kapasitas relatif tinggi, betapapun demokratis atau tidak demokratisnya, yang
mencakupi zona-zona signifikan yang melepaskan diri dari kontrol pusat (dari kasus-kasus
mutakhir, Israel/Palestina, bagian Kashmir yang dikuasai India, Peru, Chechnya,
Filipina, Turki, dan Kolombia); (2) rezim-rezim tidak demokratis berkapasitas
rendah (selebihnya). Dalam kedua jenis rezim itu, musuh-musuh bersenjata
pemerintah pusat merentang dari para pembela wilayah kekuasaan daerah sampai
aktivis-aktivis yang berusaha menumbangkan pemerintah pusat. Pihak oposisi ini
merentang dari para panglima perang dan petani-petani yang tertindas, di satu
sisi, hingga kelompok-kelompok yang jelas-jelas separatis atau revolusioner, di
sisi lain. Di sepanjang kontinum itu, bagaimanapun juga, mereka menghadapi
probelm ganda taruhan tinggi dan pemeliharaan angkatan bersenjata.
Tabel 8.1 JUMLAH PERANG DARI BERBAGAI JENIS YANG MELIBATKAN
SETIDAK-TIDAKNYA SERIBU KEMATIAN, MENURUT DEKADE, 1900–2007, DAN JUMLAH
PERSENTASE TOTAL KORBAN TEWAS DALAM PERANG SAUDARA
Dekade
|
Perang
Ekstra Negara
|
Perang
Antar-Negara
|
Perang
Saudara
|
Kematian
dalam Perang Saudara (N) %
|
|
1900–1909
|
16
|
18
|
11
|
45.330
|
18,7
|
1910–1919
|
9
|
43
|
25
|
963.460
|
9,7
|
1920–1929
|
9
|
4
|
22
|
175.100
|
68,2
|
1930–1939
|
4
|
25
|
12
|
992.335
|
14,4
|
1940–1949
|
6
|
31
|
13
|
1.393.357
|
10,2
|
1950–1959
|
6
|
29
|
12
|
63.351
|
6,2
|
1960–1969
|
2
|
22
|
35
|
189.265
|
15,0
|
1970–1979
|
7
|
30
|
53
|
350.428
|
70,4
|
1980–1989
|
2
|
10
|
40
|
280.334
|
17,4
|
1990–1999
|
2
|
33
|
71
|
150.628
|
44,4
|
2000–2007
|
18
|
10
|
26
|
42.115
|
58,8
|
Total
|
81
|
255
|
320
|
4.645.703
|
13,0
|
Sumber
Data: COW Wars v4.0;
tersedia di
http://www.correlatesofwar.org/COW2%20Data/WarData_NEW/WarList_NEW.html. Lihat
juga Meredith Sarkees dan Frank Wayman, Resort
to War, 1816–2007 (2010)
Lebih dari itu, dalam kedua jenis rezim para panglima
perang dan kaum revolusioner sama-sama memiliki insentif dan sarana untuk
menciptakan angkatan bersenjata sendiri dan menandai zona kontrol wilayah
mereka sendiri. Senjata banyak tersedia di pasar bawah tanah di seluruh dunia
yang terutama dipasok oleh para distributor di Amerika Serikat dan bekas blok
Soviet (Boutwell, Klare, dan Reed 1995). Akses terhadap dukungan dari luar
(misalnya dari para aktivis Islam Timur Tengah di Chechnya dan dari
milisi-milisi berbasis Kongo di Burundi) dan ketersediaan barang selundupan
bernilai tinggi (misalnya berlian di Liberia dan heroin di Afghanistan) sangat
memudahkan upaya mempersenjatai diri. Maka perang saudara mengilustrasikan
secara dramatis bagaimana bentuk sebuah rezim memunculkan struktur peluang
politik, yang selanjutnya berinteraksi dengan repertoar pembuatan klaim mapan
untuk membentuk karakter politik perseteruan. Perang saudara Sudan dan masa
sesudahnya mengilustrasikan argumen-argumen ini dan juga betapa sulitnya
mengakhiri kekerasan setelah perang saudara usai.
Diterjemahkan dari Charles Tilly & Sidney Tarrow, Contentious Politics, Oxford University
Press, 2015, h. 180 – 182. Siapa tahu ada
yang butuh kutipan. Silakan dipakai. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment