Karantina



buku panduan kesehatan Islam terjemahan Noor Cholis

Karantina dipandang sebagai salah satu sarana paling penting dalam menghentikan penyebaran epidemi di zaman modern. Karantina mencegah siapa saja memasuki suatu daerahdi mana epidemi meyebaragar tidak berhubungan dengan penduduk daerah tersebut, juga mencegah penduduk daerah tersebut keluar, tanpa memandang dia terjangkit wabah atau tidak.
Dalam berbagai riwayat, Nabi salallahu ‘alaihi wassalam memaparkan dengan jelas prinsip-prinsip karantina. Beliau melarang orang memasuki negeri yang dilanda wabah. Beliau juga melarang penduduk negeri itu keluar dari daerah mereka. Kemudian, beliau menyamakan penduduk yang keluar dari daerah karantina dengan melarikan diri dari medan perang. Itu termasuk dosa besar. Beliau menggambarkan orang yang menderita akibat wabah itu dan menerimanya dengan sabar maka pahalanya sama dengan orang yang mati syahid.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Sahihain mereka dari Abdullah bin Abbas radliallau ‘anhu bahwa Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu bertolak ke Syria. Beliau sedang berada di Sargh ketika bertemu panglima pasukan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah radliallahu ‘anhu. Para sahabatnya memberi tahu Umar bin Khattab bahwa sampar melanda Syria.
Ibnu Abbas berkata, “Umar mengatakan, ‘Datangkan kepadaku Muhajirin awal.’ Maka aku pun memanggil mereka. Lalu Umar bermusyawarah dengan mereka dan mengatakan kepada mereka bahwa sampar melanda Syria. Mereka berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, ‘Engkau pergi untuk suatu keperluan dan menurut kami janganlah engkau kembali pulang.’ Sebagian lagi mengatakan, ‘Engkau bersama umat yang masih ada dan para Sahabat radliallahu ‘anhum. Menurut kami, engkau tidak perlu melanjutkan perjalanan bersama mereka ke tempat yang sedang dilanda sampar.’ Umar berkata, ‘Kalian boleh pergi.’
Lalu Umar berkata, “Datangkan orang-orang Ansar kepadaku,’ dan aku pun memanggil mereka lalu Umar bertanya kepada mereka. Mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kaum Muhajirin. Mereka juga memiliki perbedaan pendapat yang sama. Umar berkata, ‘Kalian boleh pergi.’ Lalu Umar berkata, ‘Datangkan padaku orang Quraisy paling tua yang hijrah setelah Fathu Makkah.’ Aku memanggil mereka dan tak ada dua orang yang berbeda pendapat di antara mereka. Mereka mengatakan, ‘Menurut kami, engkau harus kembali bersama orang-orang dan tidak membawa mereka ke tempat yang sedang dilanda sampar.’
Mendengar itu, Umar radliallahu ‘anhu menyerukan kepada orang-orang, ‘Besok pagi aku akan berangkat, siapkan tunggangan kalian besok pagi.’ Abu Ubaidah berkata, ‘Apakah engkau hendak lari dari takdir Allah?’ Umar menjawab, ‘Apa ada orang selain engkau yang berkata begitu, wahai Abu Ubaidah!karena Umar tidak senang berselisih dengannya. Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apakah menurutmu jika engkau mempunyai unta-unta dan mereka turun ke sebuah lembah yang mempunyai dua sisi, yang satu hijau dan subur sedangkan satunya tandus, dan kamu membawa mereka untuk merumput di sisi yang subur, bukankah itu karena takdir Allah? Dan jika engkau membawa mereka merumput di sisi yang tandus, bukankah itu juga karena takdir Allah?’
Lalu Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhuyang tidak hadir karena suatu keperluandatang dan berkata, ‘Aku tahu tentang hal itu. Aku pernah mendengar Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda, Jika kamu mendengar itu (sampar) sedang melanda suatu negeri, janganlah pergi ke sana. Dan jika sampar melanda negeri di mana kamu berdiam, jangan pergi, jangan lari darinya.”
Mendengar hal itu Umar radhiallahu ‘anhu memuji Allah subhanahu wa ta’ala, lalu berangkat kembali pulang.
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Rasulullah salallahu ‘alaihi wasaalam bersabda, ‘Umatku tidak akan hancur kecuali karena penikaman dan sampar.’ Aku bertanya, Wahai Rasulullah, soal penikaman itu kita sudah tahu, tetapi apakah sampar itu?’ Rasulullah bersabda: ‘Sebuah kelenjar seperti kelenjar unta yang sakit; orang yang tinggal (di negeri yang dilanda sampar) seperti seorang syuhada, dan orang yang lari darinya seperti orang yang melarikan diri dari medan perang.’”
Mukjizat kenabian yang bisa kita lihat di sini adalah fakta bahwa riwayat-riwayat tersebut melarang orang yang tinggal di suatu negeri yang dilanda wabah untuk meninggalkan negeri itu walaupun dia tidak terjangkit. Alasan bagi larangan orang memasuki negeri itu mungkin jelas dan bisa dipahami, tetapi alasan melarang orang yang tinggal di negeri yang dilanda wabah meninggalkan negerinya—meskipun dia sehat, belum tentu terjangkit. Bahkan, logika dan nalar akan mendorong orang sehat yang tinggal di sebuah negeri yang terjangkit wabah harus lari menyelamatkan diri ke negeri lain yang aman. Sehingga, dia tidak akan terjangkit oleh penyakit tersebut. Alasannya baru diketahui dalam periode belakangan, yakni ketika sains dan pengetahuan sudah berkembang lebih maju.
Kedokteran modernsebagaimana dinyatakan Dr. Muhammad Ali Al Bartelah membuktikan bahwa orang yang sehat sekalipun di sebuah daerah epidemi ada kemungkinan menjadi pembawa kuman-kuman penyebab epidemi. Banyak wabah yang menjangkiti banyak orang, tetapi tidak semua orang yang tubuhnya terinfeksi kuman jatuh sakit. Berapa banyak orang yang membawa kuman tanpa memperlihatkan gejala apa pun? Meningitis, tifus, disentri, TBC, bahkan kolera dan pes bisa menjangkiti banyak orang tanpa terlihat tanda-tanda awal penyakit apa pun. Orang yang bersangkutan mungkin tampak sehat tetapi dia sedang menularkan penyakit ke orang sehat lainnya.
Dalam medis ada istilah masa inkubasi, yaitu masa sebelum munculnya gejalasejak kuman masuk pertama kali ke tubuh dan mulai berkembang biak hingga mencapai puncaknya. Selama periode ini tidak jelas bagi orang yang bersangkutan apakah dia menderita suatu penyakit. Tetapi setelah satu periodebisa panjang atau pendek (bergantung pada jenis penyakit dan kuman yang dibawanya)—gejala-gejala penyakit yang bersembunyi akan tampak pada tubuh.
Masa inkubasi influenza adalah 1 – 2 hari, sementara masa inkubasi infeksi virus lever (hepatitis) waktunya sampai enam bulan. Bakteri yang menyebabkan tuberkulosis mungkin tetap tidak aktif di dalam tubuh selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala apa pun, tetapi begitu masa inkubasi terlewati ia akan mulai menyebar ke seluruh tubuh.
Bagaimana bisa Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam mengetahui semua itu? Siapa yang mengajarinya tentang fakta-fakta tersebut sedangkan beliau adalah orang buta huruftidak bisa membaca maupun menulis? Itulah pengetahuan Ilahiah dan ilham Ilahiah yang mengalahkan semua sains dan pengetahuan modern. Agar agama ini tetap menjadi saksi atas umat manusia kapan pun dan di mana pun. Agar mereka yang menolak berimah akan dihancurkan setelah tampak bukti yang nyata, dan mereka yang beriman akan hidup setelah tampak bukti yang nyata (lihat QS. Al Anfal: 42).

Pes
Pes adalah penyakit epidemi menular yang disebabkan oleh bakteri berbentuk batang yang ditemukan oleh ilmuwan bernama Alexandre Yersin pada tahun 1849. Nama penyakit tersebut diambil dari nama penemunya – Yersinias pestis. Wabah Pes muncul ibarat ombak besar, menyapu suatu wilayah dan semua orang, serta menelan beribu-ribu nyawa. Pes biasanya menjangkiti tikus dan ditularkan ke manusia melalui kutu. Pes menyerang kelenjar getah bening di ketiak, bagian belakang lutut, dan lipatan-lipatan perut. Pes menyebabkan pembengkakan yang kemudian bertambah ukurannya lalu pecah menjadi seperti borok. Pes juga bisa menyerang paru-paru dan tenggorokanyang gejalanya bisa sangat serius, bisa juga tidak. Wabah jenis ini mendera Syria pada tahun 18 Hijriah yang disebut Pes Amwas (Emmaus). Ini mengacu nama sebuah kota kecil antara Yerusalem dan Ramalah di mana wabah ini muncul pertama kali, lalu menyebar ke seluruh Syria.
Al-Waqidi mengatakan, “Wabah Pes Amwas menyebabkan 25.000 Muslim Syria meninggal dunia.  Ada yang menyebutkan angka 30.000 jiwa sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah.
Menurut hadits riwayat Ahmad dari Aisyah  radhiallahu ‘anha, Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Umatku tidak akan dihancurkan kecuali dengan penikaman dan sampar (pes).” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, tentang penikaman ini kita sudah tahu, tetapi apakah sampar (pes) itu?” Beliau menjawab: “Sebuah kelenjar seperti kelenjar unta sakit. Orang yang tinggal (di negeri di mana wabah terjadi) seperti orang yang mati syahid, dan orang yang lari darinya seperti orang yang lari dari medan perang.”
Riwayat ini adalah dasar bagi karantina, istilah yang tidak dikenal sebelum abad ke-20. Jika sebuah wabah menular timbul di suatu negeri, karantina akan dilakukan di negeri itu. Sehingga, tidak ada seorang pun yang boleh masuk agar dia tidak membahayakan diri sendiri dan tertular wabah. Dan tak seorang pun di negeri itu yang diizinkan keluar, dikhawatirkan dia terjangkit penyakit yang masih dalam masa inkubasi dan kepergiaan orang itu akan membawa penyakit keluar negeri dan menyebarkannya di sana. Oleh karena itu, tak seorang pun diizinkan meninggalkan negeri yang dilanda wabah sampai yang bersangkutan mendapatkan vaksin antikuman penyebab penyakit itu dan ditempatkan di ruang karantina untuk menghabiskan masa inkubasi penyakit dalam ruang isolasi. Masing-masing epidemi punya masa inkubasi sendiri yang berbeda-beda. Jika orang yang bersangkutan tidak menunjukkan gejala penyakit sama sekali setelah lewat masa inkubasi berarti dia aman.

Unta yang Sakit Tidak Boleh Dibawa ke Tempat Unta yang Sehat
Diriwayatkan dari Abu Salamah bahwa dia mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Seekor unta yang sakit tidak boleh dibawa ke tempat unta yang sehat berada.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Ini adalah larangan. Pemilik unta yang sakit dilarang membawa peliharaannya itu ke tempat di mana unta yang sehat berada. Ini sesuai dengan riwayat yang dikutip di atas yang mengatakan bahwa penularan terjadi karena takdir Allah Yang Maha Perkasa. Itu juga bisa menimpa hewan sebagaimana yang terjadi pada manusia.
Perlu disebutkan bahwa tidak ada kontradiksi dengan riwayat bahwa Nabi salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Tidak ada ‘Adwa1 tanpa izin Allah, tidak ada Safar2 dan tidak ada Hammah3.”
Seorang Badui bertanya, “Wahai Rasulullah, unta-unta itu tampak sehat seperti rusa, lalu seekor unta kudisan datang dan berbaur dengan unta-unta sehat itu dan semuanya diserang kudis.” Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam balik bertanya, “Dan siapa yang menulari unta pertama?” (Mutafaqun ‘alaih)
Jawaban Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam sangat mengesankan dan cerdik. Begini penjelasannya: Dari mana datangnya kudis yang menginfeksi unta pertamaseperti yang mereka katakan? Jika beliau menjawab dari unta lain, maka rantai penularan akan berlanjut. Jika ada alasan lain, pasti beliau akan menjelaskan. Jika beliau menjawab bahwa yang menginfeksi unta pertama adalah yang menginfeksi yang kedua, maka poinnya terbukti. Yang melakukan terhadap semuanya adalah Sang Maha Pencipta Yang Maha Kuasa, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.
Hadits Nabi salallahu ‘alaihi wassalam yang kita kutip di atas menjelaskan bahwa tidak ada ‘Adwa (penularan), tetapi pada saat yang sama Nabi salallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Larilah dari lepra seperti kamu lari dari seekor singa.” (HR. Bukhari dalam riwayat mu’allaq dan oleh Ahmad)
Dan beliau bersabda dalam pembahasan ini: “Seekor unta sakit tidak boleh dibawa ke tempat unta yang sehat berada.”
Hadits-hadits ini menuntun orang pada tauhid yang sempurna dan membuat mereka kembali kepada Sang Pencipta yang menciptakan segala sebab dan akibat.
Seorang dokter spesialis mengatakan, “Adapun tentang penyakit menular bisa kita lihat dengan jelas sifat kemukjizatan hadits Nabi salallahu ‘alaihi wassalam. Hadits Nabi menerangkan dengan jelas bahwa masuknya kuman ke dalam tubuh saja tidak cukup untuk menyebabkan penyakit; ada faktor-faktor yang lain yang tidak tampak oleh kita dan itulah yang paling bertanggung jawab atas timbulnya penyakit.”
Setelah orang-orang Turki menemukan vaksinasi sapi untuk melawan cacar dan vaksinasi anak-anak mereka, Edward Jennerdokter Inggrismempelajari contoh-contoh mereka. Dengan demikian,  manfaat suntikan dan vaksinasi mencegah kuman menjadi jelas.
Adapun tentang suntikan dan vaksinasi, dapat dijelaskan ringkas sebagai memasukkan kuman mati atau lemah ke dalam tubuh yang sehat. Kemudian sistem kekebalan tubuh mengenali kuman tersebut dan menghasilkan antibodi terhadap kuman tersebut. Ketika kuman yang sesungguhnya masuk ke tubuh, sistem kekebalan tubuh sudah benar-benar siap untuk melawannya.
Jadi, jelas bahwa kuman saja bukanlah penyebab penyakit. Dengan demikian, tidak ada penularan, karena penularan terjadi sebagai hasil dari takdir Allah. Meski begitu, kita tidak bisa menyangkal adanya sebab-sebabnya. Kita harus berhati-hati terhadap sebab-sebab tersebut seraya meyakini sepenuhnya bahwa sebab-sebab itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menjauhkan mara bahaya. Semua berada di tangan Sang Pencipta. Jelaslah bahwa hadits-hadits Nabi salallahu ‘alaihi wassalam mengandung keajaiban ilmiah yang baru diketahui pada abad ke-20, ketika pengetahuan manusia tentang sebab-sebab penyakit dan sistem kekebalan sudah berkembang.
Catatan:
1. Penularan, penyebaran penyakit menular.
2. Bulan Safar dianggap sebagai bulan “sial” pada masa Jahiliyah
3.  Merujuk pada sebuah tradisi Arab pra-Islam yang digambarkan dalam bermacam-macam wujud, di antaranya: seekor cacing mendiami kuburan seorang korban pembunuhan sampai dendamnya dibalaskan; seekor burung hantu; atau tulang belulang orang mati yang berubah menjadi seekor burung yang bisa terbang.

Dipetik dari buku:
Judul               : Panduan Pengobatan Islami (The Islamic Guideline on Medicine)
Penulis             : Yusuf Al-Hajj Ahmad
Penerjemah     : Putri Aria Miranda, Noor Cholis
Penyunting      : Firman Pramudya
Penerbit          : AQWAM (2016)

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera