Imam Syatibi
Ketika menulis
sebuah biografi tentang Imam Syatibi (rahimahullah),
perhatian seseorang mula-mula tertuju pada langkanya data tentang kehidupannya,
walaupun dia adalah salah seorang ahli hukum Maliki yang paling menonjol.
Jawaban bagi pertanyaan mengapa bisa begitu sedikit informasi tentang orang
yang begitu penting patut diupayakan. Jawaban ini disusul dengan sebuah
pembahasan tentang informasi yang tersedia mengenai hidupnya, kariernya,
perselisihannya dengan para ulama lain, dan karya-karyanya.
Sejauh yang
diketahui, Ahmad Baba1 (w.1036 H/1626 M) menulis Nayl al-Ibtihaj2 yang memuat tinjauan
biografis pertama tentang Imam Syatibi.
Di antara
rekan-rekan sezamannya, Lisan ad-Din Ibn al-Khatib (w. 776 H/1347 M) dan Ibn
Khaldun (w. 784/1382) menulis panjang lebar tentang Granada dan kehidupan
keilmuan di sana pada periode tersebut. Walaupun masuk akal mengasumsikan bahwa
Ibn al-Khatib maupun Ibn Khaldun pasti mengenal Imam Syatibi, beliau tidak
disebut-sebut dalam uraian mereka. Ibn al-Khatib dan Imam Syatibi mempunyai
guru-guru yang sama3 (dan salah satu sumber bahkan menyebutkan Ibn
al-Khatib sebagai murid Imam Syatibi)4 dan teman-teman yang sama.5
Ibn Khaldun menulis sebuah risalah,6 menanggapi pertanyaan Imam Syatibi
yang ditujukan kepada para ulama di Barat. Meski begitu, tak satu pun dari
kedua penulis penting itu yang menyebut-nyebut Imam Syatibi.
Penjelasan masuk
akal bagi tidak disinggungnya nama Imam Syatibi mungkin karena beliau belum menulis
karya kontroversial al-Muwafaqat
ketika kedua orang itu menyusun karya mereka. Hal ini sangat mungkin karena Imam
Syatibi merujuk pada Al-Ihata karya Ibn
al-Khatib dalam karyanya (meski tanpa menyebut nama).7 Rujukan ini
menunjukkan bahwa karya Imam Syatibi pastilah ditulis sesudah diselesaikannya Al-Ihata, sebagaimana kita yakini,
sesudah tahun 771 H/ 1389 M.8 Fakta ini juga menjelaskan mengapa Ibn
Khaldun tidak menyebut-nyebut nama Imam Syatibi. Ibn Khaldun mengunjungi
Granada pada tahun 764-65 H/1362-63 M9 ketika Imam Syatibi belum
menjadi sosok yang cukup kontroversial untuk menarik perhatian pada saat itu.
Di antara para
penulis Tabaqat Maliki,10
Ibn Farhun (w. 799 H/1396 M), penulis Al-Dibaj
al-Mudhahhab adalah rekan sezaman Imam Syatibi, tetapi tidak
menyebut-nyebut namanya. Karena tidak bisa dipastikan apakah Ibn Farhun kenal
dengan Imam Syatibi kita tidak bisa meyakini bahwa tidak disebutkannya nama Imam
Syatibi dalam al-Dibaj sengaja
dilakukan. Meski begitu, ada satu penjelasan masuk akal yang bisa dikemukakan.
Ibn Farhun lahir
di Madinah dan, kecuali beberapa lawatannya ke Barat,11 dia
menjalani sebagian besar hidupnya di belahan Timur dunia Islam. Pengetahuannya
tentang Barat Islam, walaupun secara umum bisa dikatakan menyeluruh, didasarkan
pada sumber-sumber sekunder.12 Lagi pula, dia sudah merampungkan al-Dibaj pada tahun 761 H.13
Seperti yang sudah dikemukakan tadi, sangat mungkin bahwa Imam Syatibi belum
menulis al-Muwafaqat. Sekiranya
sudah, mustahil Ibn Farhun mengabaikan Imam Syatibi. Dasar dari dugaan kita
adalah tekad Ibn Farhun untuk hanya menyertakan dalam al-Dibaj nama-nama orang yang merupakan penulis kitab.14
Badr ad-Din
al-Qarafi (w. 1008 H/ 1599 M) dikenal sebagai penulis Tabaqat berikutnya setelah Ibn Farhun.15 Karyanya Tawsyih al-Dibaj16 adalah
pelengkap al-Dibaj. Dia juga tidak
menyebut Imam Syatibi. Alasan-alasannya tampaknya sama dengan yang diajukan
dalam kasus Ibn Farhun. Di sejumlah tempat, sebagaimana dikemukakan Ahmad Baba
dengan bahasa yang tegas,17 al-Qarafi, karena tidak punya
pengetahuan memadai tentang Barat, mengacaukan nama-nama dan kunyah banyak menulis terkenal.
Ahmad Baba bukan
saja penulis biografi pertama tetapi juga otoritas orisinal dalam hal ini.
Hampir semua sarjana belakangan yang mempelajari Imam Syatibi berasal dari abad
kedua puluh, dan mereka kebanyakan bersandar pada tinjauan Ahmad Baba.18
Ahmad Baba membahas Imam Syatibi dalam Nayl
al-Ibtihaj maupun dalam Kifayat
al-Muhtaj,19 yang melengkapi Nayl
al-Ibtihaj. Nayl ditulis selama
periode penawananya di Maroko, di mana dia dijadikan tawanan menyusul
penyerbuan ke Sudan oleh Sultan Maroko pada tahun 1591. Di sana, Ahmad Baba,
walaupun tidak mempunyai koleksi sumber sendiri, bisa memanfaatkan buku-buku
milik para sarjana Maroko dan buku-buku di perpustakaan.20
Alasan-alasan
mengapa Ahmad Baba menyebut Imam Syatibi sedangkan para pendahulunya tidak,
bisa jadi adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai
sebuah alasan umum, Nayl dimaksudkan
sebagai pelengkap bagi al-Dibaj;
“melengkapi apa yang luput di dalamnya dan menambahinya dengan (penyebutan)
para a’immah terkemuka yang datang
sesudahnya.”21
Kedua, dia jelas
lebih tahu tentang tradisi ilmiah di Barat Islam22 daripada al-Qarafi
atau Ibn Farhun, dan karena itu dia mampu menyempurnakan kekurangan-kekuranan al-Dibaj.
Ketiga, dia
merasakan kekurangan itu dengan lebih intens karena sudah begitu lama tidak ada
karya lain mengenai masalah itu selain karya Ibn Farhun,23 itu pun
mengandung kelemahan-kelemahan serius.
Di samping
pertimbangan-pertimbangan umum itu, penghargaan yang tinggi Ahmad Baba terhadap
Imam Syatibi mungkin merupakan alasan tersendiri mengapa Ahmad Baba menyebutkan
Imam Syatibi. Penghargaan ini tercermin dalam gelar-gelar penghormatan yang dia
gunakan ketika menyebut Imam Syatibi.24 Penghormatannya kepada Imam Syatibi
semakin terlihat ketika dia membantah klaim Abu Hamid Makki bagi gurunya Ibn
‘Arafa (w. 803 H)25 sebagai “tanpa tanding dalam tahaqiq (kecakapan menerapkan
prinsip-prinsip umum madzhab (Maliki) untuk kasus-kasus khusus).”26
Ahmad Baba menyebut Imam Syatibi sebagai salah satu ulama yang tidak kalah dari
Ibn ‘Arafa.27 Di tempat lain dia mengatakan,
“Di antara
orang-orang abad kesembilan (keenam belas Masehi) terdapat mereka yang
menegaskan capaian mereka dalam status ijtihad, sementara Imam asy-Syatibi dan
Hafid Ibn Marzuq (w. 842 H/ 1438 M) menolak hal itu. Padahal jelas bahwa kedua
orang ini memiliki pengetahuan (Syari’ah)
yang lebih dalam dan karena itu (sebetulnya) lebih layak menyandang status
tersebut daripada mereka yang mengklaimnya.28
Kita sudah mengetahui
mengapa Ahmad Baba adalah yang pertama kali mengulas Imam Syatibi sementara
yang lain-lainnya tidak. Sekarang saatnya kita membahas sumber-sumber Ahmad
Baba bagi biografinya tentang Imam Syatibi.
Di samping
sumber-sumber yang disebutkan menjelang akhir Nayl, yang paling signifikan di antaranya adalah Wansyarisi,29
Ahmad Baba menggunakan karya Imam Syatibi sendiri Al-‘Ifadat wa’l Insyadat.30 Karya ini tampaknya berisi
catatan pelajaran Imam Syatibi dan anekdot-anekdot yang diceritakan
guru-gurunya. Rangkuman dari karya ini, sebagaimana dikutip oleh al-Maqqari31
dalam Nafh at-Tib dan oleh Ahmad Baba
dalam Nayl, menunjukkan bahwa ‘Idafat pasti mengandung banyak
informasi tentang guru-guru Imam Syatibi dan dirinya sendiri. Jika memang
demikian, informasi Ahmad Baba tentang Imam Syatibi bisa diangap sebagai sumber
tangan pertama.
Sedangkan mengenai
informasi kita dalam halaman-halaman berikut ini, terutama didasarkan pada Nayl. Kita juga menggunakan rangkuman Ifadat sebagaimana dikutip dalam Nayl dan Nafh. Kita juga menggunakan al-Muwafaqat
dan al-I’tisham karya Imam Syatibi.
Pengantar al-I’tisham menjelaskan
keadaan yang mendorong pemikiran Imam Syatibi tentang syari’ah melalui berbagai
tahapan dan bagaimana dia dituduh “sesat”.32 Al-Muwafaqat merujuk pada pembahasan-pembahasan33 di
mana Imam Syatibi terlibat dengan ulama-ulama lain. Ringkasnya, bisa kita
katakan bahwa informasi yang menyusul berikut ini dihimpun dan Nayl dan dari karya-karya Syatibi
sendiri.
KEHIDUPAN IMAM SYATIBI
Dikatakan bahwa
nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi
asy-Syatibi. Kita hampir tidak tahu apa pun tentang keluarganya dan kehidupan
awalnya. Paling banter yang bisa kita ketahui dengan menyimpulkan dari
nisbahnya adalah dia termasuk suku Arab Lakhmi. Kita juga tahu bahwa keluarga
intinya berasal dari Syatiba (Xativa atau Jativa). Nisbah terakhir ini
menyesatkan beberapa sarjana untuk menganggap bahwa Imam Syatibi lahir atau
hidup di Syatiba sebelum datang ke Granada.34 Ini tidak mungkin
karena Syatiba direbut orang Kristen beberapa dekade sebelumnya dan, menurut
tarikh, kaum Muslimin terakhir diusir dari Syatiba pada tahun 645 H/1247 M.35
Imam Syatibi besar
di Granada dan memperoleh seluruh pendidikannya di kota yang merupakan ibu kota
kerajaan Nashriyah. Masa muda Imam Syatibi bertepatan dengan kekuasaan Sultan
Muhammad V al-Ghani Billah, sebuah periode kejayaan bagi Granada.36
Kota itu menjadi pusat perhatian bagi para sarjana dari seluruh penjuru Afrika
Utara. Tidak perlu disampaikan di sini daftar semua sarjana yang mengunjungi
Granada atau yang mempunyai ikatan dengan istana Nashriyah, nama-nama seperti
Ibn Khaldun dan Ibn Khatib sudah cukup untuk menunjukkan maksud kita.
Pendidikan
Kita tidak
mengetahui kapan dan subjek apa yang dipelajari bagi pendidikannya. Berikut ini
adalah uraian tentang sebagian gurunya, di mana gagasan tentang pendidikan bisa
disimpulkan. Tampaknya, menurut kebiasaan yang lazim berlaku, Syatibi muda mengawali
pendidikannya dengan kajian dalam bahasa Arab, tata bahasa dan sastra. Dalam
bidang-bidang tersebut, dia mengambil ilmu dari dua guru. Dia mengawali
belajarnya dengan Abu ‘AbdAllah Muhammad bin ‘Ali al-Fakdkhar al-Biri37
yang dikenal sebagai guru para ahli tata bahasa (Syaikh an-Nuhat) di Andalusia.
Syatibi tetap bersamanya sampai gurunya itu meninggal dunia pada tahun 754
H/1353 M. Catatan Imam Syatibi tentang al-Fakhkhar dalam al-‘Ifadat menggambarkan dengan jelas bahwa dia menerima pendidikan
menyeluruh dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan bahasa Arab.38
Gurunya yang kedua
dalam bahasa Arab adalah Abu’l Qasim asy-Syarif as-Sabti (760 H/1358 M),
penulis ulasan terkenal atas al-Maqshurah
karya Hazim.39 Dia dijuliki “Pembawa Panji-panji Retorika”.40
Dia adalah Qadhi kepala di Granada pada tahun 760 H/1348 M.
Faqih Andalusia
terkenal Abu Sa’id Ibn Lubb mulai memberikan pelajaran di Madrasah Nashiriyah
pada tahun 754 H/1353 M.41 Kemungkinan besar dia menggantikan
al-Fakhkhar yang meninggal dunia. Ibn Lubb sangat ahli dalam fiqih dan diakui
karena “derajat ikhtiyar (keputusan
menurut preferensi) sehubungan dengan fatwa.”42 Pendidikan Syatibi
dalam fiqih hampir sepenuhnya ditempuh bersama Ibn Lubb. Imam Syatibi berutang
banyak pada orang ini, meski begitu dia bertentangan juga dengan Ibn Lubb
mengenai sejumlah persoalan.43
Kita tidak perlu
menyebutkan semua nama guru Imam Syatibi;44 tampaknya dia mengambil
ilmu dari semua ulama ternama Granada maupun mereka yang mengunjungi Granada
dalam misi diplomatik. Di antara para ulama semacam itu harus disebutkan Abu
‘Abd Allah al-Maqqari45 yang datang di Granada pada tahun 757 H/1356
M dalam sebuah misi diplomatik yang dikirim oleh Sultan Mariniyah Abu ‘Inan.46
Al-Maqqari meniti karier yang cemerlang. Sultan Abu ‘Inan memilihnya sebagai
kepala Qadhi, tetapi Qadhi Abu ‘Abd Allah al-Fisyati berhasil membuatnya
dicopot. Maqqari dikirim ke Granada dan di sana dia menolak kembali ke Fez.
Sultan Nashriyah menangkapnya dan mengirimnya pulang. Abu’l Qasim as-Sabti dan
Abu’l Barakat Ibn al-Hajj al-Balfiqi, dua qadhi Granada, mengikutinya ke Fez
untuk memastikan pelepasannya. Meski begitu, Maqqari diadili oleh al-Fisytali
dan dihukum.47
Selera akademis
Maqqari sangat banyak. Dia adalah penulis sebuah kitab tentang tata bahasa
Arab. Dia dikenal sebagai pemegang kedudukan “muhaqqiq”48 (ahli dalam penerapan prinsip-prinsip umum
madzhab Maliki pada kasus-kasus tertentu).
Maqqari tampaknya
memperkenalkan Syatibi dengan Razisme dalam ushul fiqih. Dia mulai membuat ringkasan
al-Muhassal49 karya Fakhr
ad-Din ar-Razi (606 H/1209 M). Dia juga
merupakan pengarang ulasan atas Mukhtashar
Ibn Hajib yang memperkenalkan Razisme ke dalam ushul fiqih Maliki.
Maqqari jugalah
yang memasukkan Imam Syatibi ke dalam sufisme – sebuah silsilah khusus yang
kita bicarakan di tempat lain.50 Maqqari terkenal dengan kitabnya al-Haqa’iq wa’l-raqa’iq fi al-tasawwuf.51
Perlu pula
disebutkan dua guru Imam Syatibi yang memperkenalkannya pada falsafa dan kalam dan ilmu-ilmu lain yang dalam klasifikasi ilmu-ilmu Islam
dikenal sebagai ilmu-ilmu rasional (al-‘ulum
al-‘aqliyah) yang dipertentangkan dengan ilmu-ilmu tradisional (al-‘ulum al-naqliyah).
Abu Ali Mansur
az-Zawawi52 datang ke Granada pada tahun 753 H/1352 M. Ibn al-Khatib
memuji-mujinya karena kesarjanaannya dalam ilmu tradisional maupun ilmu
rasional. Tampaknya dia sering berselisih pendapat dengan para ahli hukum di
Granada. Dia dituduh dalam banyak hal. Akhirnya, pada tahun 765 H/ 1363 M dia
diusir dari Andalusia.63
Imam Syatibi
menyebut Zawawi ketika mengutip gurunya, Ibn Musfir, yang mengatakan bahwa
dalam ulasannya tentang Al-Qur’an, Razi bersandar pada empat kitab, semuanya
ditulis oleh orang Mu’tazilah; dalam ushuluddin Kitab ad-Dala’il karya Abu’l Husayn, dalam ushul fiqih al-Mu’tamad karya orang yang sama, dalam
ushul tafsir bersandar pada Kitab at-Tafsir
(?) karya Qadhi ‘Abd al-Jabbar, dalam Ushul
al-‘Arabiyah dan bayan pada Kasysyaf karya Zamakhsyari.54
Ulasan ini tampaknya mengisyaratkan bahwa Zawawi dan gurunya melihat suatu
kelanjutan kalam Mu’tazilah dalam
Razi.
Asy-Syarif
at-Tilimsani (w. 771H/1369 M) tampaknya juga bersikap kritis terhadap Razisme.
Dia belajar bersama ‘Abili dan mengkhususkan diri pada ilmu-ilmu rasional. Ibn
Khaldun menyebutkan bahwa Tilimsani diam-diam mengajari Ibn ‘Abd al-Salam
kitab-kitab Ibn Sina dan Ibn Rusyd.55 Tilimsani sangat menguasai
ilmu tradisional maupun ilmu rasional. Para sarjana zaman itu menggarisbawahi
derajat Mujtahid yang dicapainya.56 Ibn ‘Arafa meratapi kematian
Tilimsasi sebagai kematian ilmu-ilmu rasional.57
Dari uraian di
atas tentang guru-guru terkemukanya bisa disimpulkan bahwa pendidikan Imam Syatibi
sangat menyeluruh dalam ilmu-ilmu tradisional maupun rasional. Meski begitu,
minat utamanya, seperti yang akan kita lihat dari daftar karyanya,
terkonsentrasi pada bahasa Arab dan, terutama, ushul fiqih.
Minat Imam Syatibi
pada Ushul Fiqih
Fiqih adalah
subjek yang sangat menguntungkn dan karena itu populer, tetapi minat pada ushul
fiqih sangat jarang di Andalusia.58 Apa yang mendorong Imam Syatibi
untuk meminati ushul fiqih adalah anggapannya bahwa kelemahan fiqih dalam
menghadapi tantangan perubahan sosial pada umumnya disebabkan oleh kekurangan
metodologis dan filosofisnya. Kelemahan ini menarik perhatian Syatibi muda bahkan
sejak masa-masa awal pendidikannya. Beliau mengatakan:
“Sejak terbukanya kecerdasanku untuk memahami
(segala sesuatu) dan sejak minat meluap-luapku tertuju pada ilmu, aku selalu
melihat pada alasan-alasan dan legalitasnya (syari’ah); prinsip-prinsip dan cabang-cabangnya. Sejauh waktu dan
kemampuanku memungkinkan aku tidak ketinggalan satu ilmu pun di antara sekian
ilmu, aku juga tidak mengunggulkan satu di atas yang lain.
Aku mengerahkan
seluruh kemampuan alamiku atau lebih tepatnya menceburkan diri ke dalam lautan
bergolak ini ... sedemikian rupa hingga aku takut akan menghancurkan diri di
kedalamannya ... sampai Allah memperlihatkan kemurahan-Nya kepadaku dan
menjelaskan kepadaku makna Syaria’ah yang berada di luar perhitunganku ...
Dari sini aku
merasa cukup kuat menapaki jalan sejauh Allah memudahkannya untukku. Aku mulai
dengan pokok-pokok agama (ushuluddin) dalam teori dan praktek dan
cabang-cabangnya, berdasarkan persoalan-persoalan ini. Dalam periode itulah
menjadi jelas bagiku mana yang bid’ah dan mana yang halal dan mana yang tidak.
Memandingkan dan menghadapkan ini dengan pokok-pokok agama dan hukum (fiqih),
aku mendorong diriku untuk bergabung dengan kelompok yang oleh Nabi disebut sawad al a’dzam (mayoritas).”59
Salah satu problem
paling membingungkan bagi Imam Syatibi adalah keragaman pendapat di kalangan
ulama dalam berbagai permasalahan. Menggunakan prinsip mura’at al-khilaf menjadikan persoalan semakin kompleks. Prinsip
ini, sebagaimana akan kita saksikan di bawah,60 dipakai untuk
menghormati perbedaan pendapat dengan memandang semuanya sebagai sama-sama
sahih. Karena sikap ini, keragaman pendapat dipertahankan dengan banga bahkan
sejak masa-masa awal fiqih Maliki. Imam Syatibi sendiri ingat bagaimana
keragaman dalam pernyataan-pernyataan Imam Malik dan sahabat-sahabatnya yang
sering menyibukkan pikirannya.61
Belajar bersama
Abu Sa’id bin Lubb, Imam Syatibi sangat sering menghadapi
kebingungan-kebingungan semacam itu. Dia menyatakan:
“Aku pernah
mengunjungi guru kami, Abu Sa’id bin Lubb, sang musyawir, bersama teman-temanku ... Dia berkata, “Aku ingin memberi
tahu kalian tentang beberapa prinsip dasar yang menjadi sandaranku dalam suatu
fatwa, dan (untuk menjelaskan) mengapa aku cenderung lunak dalam hal ini.” Kami
tahu tentang fatwa itu ... kami berselisih pendapat terhadap jawabannya ... Dia
mengatakan, “Aku ingin memberitahu kalian sebuah aturan berguna dalam
mengeluarkan fatwa. Aturan ini disahihkan (karena dipraktekkan) para ulama.
Aturan itu adalah jangan bersikap keras kepada orang yang meminta fatwa.”
Sebelum pertemuan itu berbagai aspek dalam pernyataan-pernyataan Imam Malik dan
sahabat-sahabatnya sering membingungkanku. Tetapi kini Allah menjernihkan
pikiranku berkenaan dengan wacana ini.”62
Kepuasaan ini,
bagaimanapun juga, tidak berlangsung lama. Kesibukannya dalam mura’at al-khilaf menunjukkan bahwa
penjelasan Ibn Lubb tidak memuaskan. Imam Syatibi merasa bahwa tubuh hukum itu
tanpa jiwa, formalismenya akan tetap jauh dari realitas kecuali watak asli
teori hukum diteliti.63 Karya-karya Imam Syatibi didesikasikan bagi
penelitian semacam itu.
Karier Syatibi
Kita tidak
mendapati gambaran apa pun tentang karier Imam Syatibi atau profesinya. Meski
begitu, ada tiga dugaan yang bisa disampaikan. Pertama, dalam uraian Imam Syatibi
tentang tuduhan yang dilancarkan orang terhadap dirinya, dalam satu kesempatan
bisa disimpulkan bahwa dia adalah imam dan juga khatib di sebuah masjid. Selama
proses pengadilannya, bisa diasumsikan, dia diberhentikan dari kedua jabatan
tersebut.64
Dugaan kedua bisa
dibuat berdasarkan fatwa-fatwa yang dimintakan kepadanya, yaitu bahwa dia
adalah seorang mufti. Karena dia tidak pernah disebut al-musyawir, bisa diasumsikan bahwa dia tidak ditunjuk secara resmi
untuk menduduki jabatan itu.
Dia, bagaimanapun
juga, mempunyai sejumlah murid. Dari sini dugaan ketiga bisa dibuat, bahwa dia
mengajar di madrasah Gharnata.
Di antara para
muridnya, yang menonjol adalah Ibn ‘Asim. Dia menjadi kepala qadhi Granada. Dia
dikenal berkat karyanya Tuhfat al-Hukkam,
sebuah kompendium aturan-aturan fiqih yang disusun bagi para qadhi. Dia juga
menulis versi ringkas al-Muwafaqat
karya Imam Syatibi.65
Wafatnya
Imam Syatibi wafat
pada tahun 790 H/1388 M.66
Tuduhan Bid’ah
terhadap Imam Syatibi
Pada suatu masa di
sepanjang kariernya Imam Syatibi dituduh melakukan bid’ah. Waktu tepatnya
pengadilan itu tidak diketahui. Pikiran serba ingin tahu Imam Syatibi mendorong
timbulnya diskusi dan kontroversi dengan para fuqaha’ lain. Kemungkinan terbesar periode pengadilannya
berlangsung pada saat dia sedang menulis kitabnya al-Muwafaqat, ketika beliau berkorespondensi dengan para ulama
mengenai sejumlah subjek.
Syair-syair
Syatibi mengenai pengadilan tersebut menunjukkan bagaimana perasaannya mengenai
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya. Beliau mengatakan:
Wahai kaumku,
kalian menempatkanku dalam cobaan (balaita)
cobaan yang mengguncang keras,
Cobaan di mana
orang berpusing di dalamnya, hingga cobaan itu tampak menghancurknnya,
(Kalian menganggapku
bersalah) karena mencegah orang berbuat salah, bukan karena mencegah mencapai
kebaikan (maslahah).
Semoga Allah
mencukupkanku dalam akal dan agamaku.67
Imam Syatibi
mengungkapkan kisah tentang cobaan tersebut dalam Al-I’tisam dengan kata-kata berikut:
“Aku menerjuni
beberapa profesi yang lazim (khutat)
seperti khatib dan imam. Ketika aku memutuskan untuk mempertegas jalanku,
kudapati diriku menjadi orang asing di tengah-tengah mayoritas rekan-rekan
sezamanku. Kebiasaan dan praktek sudah mendominasi profesi mereka; noda-noda
bid’ah tambahan menutupi tradisi asli (sunnah) ...68
Aku
terombang-ambing di antara dua pilihan; pilihan yang satu adalah mengikuti
sunnah bertentangan dengan yang dianut orang dalam amalan. Dalam hal ini aku pasti
mendapatkan apa yang bakal didapatkan oleh penentang amalan-amalan (sosial),
apalagi jika pendukung amalan mengklaim bahwa amalan mereka sajalah yang sesuai
sunah ... Pilihan lainnya adalah mengikuti amalan yang bertentangan dengan
sunnah dan para pendahulu yang salih. Pilihan ini akan membuatku berada dalam
penyimpangan (dari jalan yang benar) ... Aku memutuskan bahwa lebih baik aku
binasa dalam keadaan mengikuti sunnah untuk mendapatkan keselamatan ...
Aku mulai
bertindak menurut keputusan ini secara bertahap dalam hal-hal tertentu. Segera
saja malapetaka menimpaku; kesalahan ditimpakan kepadaku ... Aku dituduh
melakukan bid’ah dan menyimpang.”69
Imam Syatibi, pada
titik ini, menyebutkan tuduhan-tuduhan berikut yang dialamatkan kepadanya:70
(1)
Kadang-kadang aku dituduh mengatakan bahwa doa tidak ada
gunanya ... itu karena aku tidak mengikuti amalan berdoa bersama-sama setelah
salat berjamaah.
(2)
Aku dituduh rafd
(penganut Syi’ah ekstrem) dan membenci para Sahabat ... itu karena aku tidak
mengikuti amalan menyebutkan nama-nama para khalifah yang saleh dalam khotbah
(Jum’at) ....
(3)
Aku dituduh mengatakan bahwa aku mendukung pemberontakan
melawan a’imma (penguasa) ... itu
karena aku tidak menyebut nama-nama mereka dalam khotbah.
(4)
Aku dituduh membenarkan bahwa agama itu sulit ... karena
aku menganut tradisi mapan dalam kewajiban dan fatwa, sedangkan mereka
mengabaikannya dan mengeluarkan fatwa sesuai dengan apa yang diinginkan peminta
fatwa ...
(5)
Aku dituduh memusuhi para wali Allah ... itu karena aku
menentang beberapa sufi pelaku bid’ah yang menentang sunnah ...”
Imam Syatibi
dituduh melakukan bid’ah terutama karena dia menentang praktek-praktek yang
dilakukan para fuqaha’. Khususnya,
sebagaimana akan kita saksikan nanti,71 salah satu permasalahan
kontroversial penyebutan nama Sultan dalam khotbah dan berdoa untuknya
menjelang akhir salat. Imam Syatibi menyebut amalan ini sebagai bid’ah.
Tindakannya itu mengguncang fondasi kekuasaan politik elite keagamaan. Mengenai
masalah ini, menarik untuk digarisbawahi bahwa dia ditentang oleh seluruh qadhi
di Spanyol dan Afrika Utara maupun oleh beberapa petinggi yang memegang jabatan
pemerintahan.72
Catatan:
1.
Ini adalah Ahmad Baba (w. 1036 H/1626 M), penulis Nayl al-Ibtihaj. Untuk keterangan
terperinci tentang hidup dan karyanya lihat M. Cheneb, “Ahmed Baba”, EI., (edisi ke-2) Vol. I, 191-2; Levi
Provençal, “Ahmad Baba”, EI., (edisi
ke-2) Vol. I, 279-280; J. O. Hunwick, “Ahmad Baba and the Moroccan Invasion of
the Sudan (1591), Journal of Historical
Society of Nigeria, II (3, 1962), 311-28; penulis yang sama, “A new source for the biography of Ahmad Baba
al-Tinbukti (1556-1627)”, Bulletin of
the School of Oriental and African Studies, XXVII (1964), 568-593; Muhammad
Makhluf, Syajarat an-Nur az-Zakiyyah
(Kairo, 1349 H), Vol. I, 298.
2.
Bisa kita peroleh dalam dua edisi; dalam naskah Maghribi,
(Fez: Matba’ Jadida, 1317 H); edisi kedua, dicetak pada catatan pinggir Ibn
Farhun, Al-Dibaj al-Mudhahhab (Kairo,
1351). (Oleh karena itu penyebutan Nayl
merujuk pada edisi yang belakangan).
Permasalahan
mengenai sumber-sumber Ahmad Baba tentang Nayl
dibahas para sarjana dengan berbagai macam kompetensi. Sepengetahuan saya
ulasan erbaik tetap yang diberikan oleh Cherbonneau yang terutama adalah
penyebutan kembali sumber-sumber yang disebutkan sendiri oleh Ahmad Baba
menjelang akhir Nayl (h 361).
Bandingkan dengan
berikut ini:
1.
E. Fagnan, “Les Tabaqat Malikites” dalam D. F. Saavedra, Homenaje à D. F. Codera, (Zaragoza,
1904), 110.
2.
Cherbonneau, “Lettre a M. Defremery sur Ahmed Baba le
Tomboucrien, Auteur du Teklimat ed-Dibadj”, Journal
Asiatique, 5e serie, I (1853), 93-100.
3.
Ibn al-Fakhkhar al-Biri, Abu ‘Abd Allah al-Maqqari, Abu
‘Abd Allah at-Tilimsani dan Abu’l Qasim as-Sabti adalah guru-guru bersama
semacam itu. Bandingkan dengan Maqqari, Nafh
at-Tib, (Kairo: Matba’ Sa’adah, 1949), VII, 187, memberikan sebuah
ringkasan dari Ifadat karya Imam Syatibi
di mana Imam Syatibi menyebut Ibn al-Khatib di antara mereka yang menghadiri
bersamanya pelajaran-pelajaran al-Maqqari pada tahun 757 H.
4.
Lihat h. 199.
5.
Ibn Zumruk yang diasuh Ibn al-Khatib dan yang di kemudian
hari menggantikan Ibn al-Khatib yang membelot ke Tlemcen, adalah teman dekat Imam
Syatibi. Lihat Nafh at-Tib, X, 139,
dan F. de la Granja, “Ibn Zamark”, dln E.
I. (edisi ke-2) Vol. III, 972-73.
6.
Karya Ibn Khaldun Syifa’
as-Sa’il li Tahdzib al-Masa’il, disunting oleh Muhammad bin Tavit at-Tanji
(Istambul 1957) ditulis untuk menanggapi sebuah pertanyaan yang dikirimkan
kepada para ulama di Barat di mana nama Ibn Qabbab dan Ibn ‘Abbad dikonfirmasi
oleh Wansyarisi. Pengaitan risalah ini dengan Ibn Khaldun diragukan oleh para
sarjana (lihat: Talbi, “Ibn Khaldun”,
E. I. (edisi ke-2), Vol. III, h. 828.
Tetapi Tanji, penyunting karya tersebut, mengemukakan pendapatnya secara
mendetail yang mendukung pengaitan semacam itu. Dia berpendapat bahwa yang
disebut dalam risalah itu adalah taqyid
(pertanyaan) Imam Syatibi. Lihat Pendahuluannya, h. th.
7.
Karya Imam Syatibi Al-I’tisham,
penyunting Rasyid Ridha, (Kairo, 1915), Vol. II. 84, mengutip sebagai ikhtisar
yang mengatakan “Sebagaimana diriwayatkan oleh salah satu penulis sezaman kita”
yang sangat bersesuaian dengan al-Ihata,
(Kairo, 1319 H), Vol. I, h. 75.
8.
Berbagai keterangan diberikan mengenai tahun
diselesaikannya Al-Ihata. Misalnya
Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of
History (Chicago, 1964), h. 35, catatan 5, menyebutkan tahun 763 H/1361-2 M.
Tahun itu tidak mungkin karena (1) Ibn Khatib menyebutkan di antara karya-karya
Ibn Khaldun, yang sudah selesai, sebuah risalah tentang logika yang dia tulis
untuk Sultan Muhammad V dari Granada. Karena itulah tahun selesainya Al-Ihata pasti sesudah 765 H/1636 M. (2)
Kedua, Al-Ihata menguraikan
peristiwa-peristiwa pada tahun 771 H/1369 M (op. cit. Vol. II, h. 58) yang menyebutkan tahun penyelesaiannya
sesudah 771 H/1369 M. Karena bukti kedua inilah kita yakin bahwa Al-Ihata pasti akhirnya diselesaikan pada
tahun 771 H/1369 M.
9.
Nafh at-Tib, IV, 195-201.
10.
Untuk detail mengenai literatur Tabaqat Maliki lihat: E.
Fagnon, “Les Tabaqat Malikites” op. cit.,
h. 105-113.
11.
Nayl, h. 30.
12.
Misalnya, al-Qabbab adalah seorang ahli hukum terkenal
pada masa itu, tetapi Ibn Farhun mengambil informasi tentang dia dari Al-Ihata (yang penggalan-penggalannya
bisa dia peroleh). Ulasan al-Qabbab atas Qawa’id
al-Islam bisa dilihat dalam gaya berikut: “seseorang di antara
murid-muridku bahwa dia (yakni al-Qabbab) menulis ulasan atas Qawa’id al-Islam.” Al-Dibaj al-Mudhahhab, op.
cit., h. 41.
13.
Catatan penulis pada akhir buku menyebutkan tahun
penyelesaiannya adalah 761 H. (Ibid.,
h. 362). Meski begitu, banyak entri yang menyebutkan tahun di luar 761 H
(misalnya, h. 83, 330); salah satunya bahkan menyebutkan tahun 803. Fagnan (op. cit., h. 110) menganggap entri-entri
semacam itu adalah sisipan belakangan dan baginya waktu penyelesaian kitab
tersebut adalah tahun 761 H.
14.
Al-Dibaj, h. 2.
15.
Lihat Fagnan, op.
cit., 111.
16.
Masih dalam bentuk manuskrip. (Bibliothèque Nationale de
Paris No. 4627, juga No. 4614; Zaituna, No. 3245) vide Fagnan op. cit., h.
111.
17.
Lihat misalnya Nayl,
h. 51, 52, 88.
18.
Di antara tinjauan-tinjauan itu bisa kita sebutkan
sebagai berikut:
Ignaz, Goldziher, Streitschrift de Gazali gegen die Batinijja
– Sekte (Leiden, 1916), h. 32-34, di mana dia membahas Al-Muwafaqat. D. S. Margoliouth, “Recent Arabic Literature” dalam
J. R. A. S. (London, 1916), h. 397-98, di mana dia membahas al- I’tisham.
Di antara berbagai
tinjauan biografis: Brockelmann, Supp. II,
374-75; Muhammad Makhluf, Syajarat an-Nur
az-Zakia, (Kairo, 1349 H), h. 231; Isma’il Pasha Baghdadi, Idah al-Maknun, tambahan untuk Kasyf az-Zunun (Kairo: Bahiyya, 1945),
Vol. II, h. 127; Mahmud Hasan al-Toniki, Mu’jam
al-Musannifin, (Beirut. 1344), Vol. IV, h. 448-454; ‘Abd al-Mut’al
as-Sa’idi, Al-Mujaddidun fi l-Islam
(Kairo, Namudhajiyyah, tanpa tahun), h. 307-12; Fadhil bin ‘Asyur, A’lam al-Fikr al-Islami fi Tarikh al-Maghrib
Al-‘Arabi, (Tunis: Najah, tanpa tahun), h. 70-77; Yusuf Ilian Sarkis, Mu’jam al-Matbu’at al-‘Arabiyyah wa’l
Mu’arraba, Vol. I, (Kairo, 1928), h. 1090; Khayr al-Din Zirkili, Al-A’lam, Vol. I (edisi ke-2, 1954), h.
71; Kahhala, Mu’jam al-Mu’allifin
(Damaskus, 1957), Vol. I, h. 118-19.
19.
Ikhtisar entri relevan karya ini bisa diperoleh dalam Al-Muwafaqat, (edisi Tunis, 1302), Vol.
IV, sebagai lampiran, h. 1-4.
20.
Nayl diselesaikan pada
tahun 1005 H (Fagnan, op. cit.).
Untuk detail mengenai penyerbuan ini dan kehidupan Ahmad Baba, lihat
sumber-sumber yang disebutkan di atas dalam catatan nomor 1.
21.
Nayl, h. 12.
22.
Bandingkan antara sumber-sumber yang disebutkan menjelang
akhir al-Dibaj oleh Ibn Farhun dan
sumber-sumber yang disebutkan Ahmad Baba dalam Nayl. Sumber-sumber Ahmad Baba sebagian besar terkait dengan Barat
Islam, sedangkan Al-Ihata adalah
satu-satunya sumber yang terkait dengan Barat Islam, yang disebutkan oleh Ibn
Farhun.
23.
Nayl, h. 16.
24.
Nayl, h. 46.
25.
Seorang ulama yang terkenal dan berpengaruh di Tunis pada
masa Imam Syatibi. Dia adalah imam masjid Zaytuna selama 50 tahun. Dia adalah
yang paling terkemuka di antara saingan-saingan Ibn Khaldun saat Ibn Khaldun
menetap di Tunis. Dia berkorespondensi dan berdiskusi dengan Syatibi mengenai
masalah mura’at al-Khilaf. Lihat Ibn
Maryam, Al-Bustan fi Dzikr al-Awliya’
wa-l ‘Ulama’ bi Tilimsan, Penyunting Muhammad bin Cheneb (Aljiers, 1326 H),
h. 194-195.
26.
Nayl, h. 277.
27.
Ibid.
28.
Ibid., h. 217.
29.
Abu’l ‘Abbas Ahmad al-Wansyarisi (h. 914/1506), Al-Mi’yar al-Mughrib wa’l Jami’ al-Mu’arrab
‘an Fatawa ‘Ulama Ifriqiya wa\l Andalus wa’l Maghrib, (Fez, 1314 H).
30.
Lihat Nayl, h.
69, 283, 346.
31.
Maqqari memberikan ikhtisar panjang dari Al-Ifadat dalam Nafh Vol. VII, h. 187-192 (mengenai Abu ‘Abd Allah al-Maqqari); h.
276-301 (tentang Ibn al-Fakhkhar al Biri), dan Vol. X, h. 139-40 (tentang Ibn
Zumruk).
32.
Al-I’tisham, op. cit., h. 9-12.
33.
Al-Muwafaqat, Vol. IV, h.
150ff.
34.
I. Goldziher, Streitschrift
des Gazali gegen die Batinijja-sekte (Leiden, 1916), h. 32, mengatakan
bahwa Syatibi “dem aus Xativa stammenden, später in Granada lebenden.” Kesalahan yang sama
dilakukan oleh Brockelmann, G. A. L. S. II, h. 374; “aus Xativa, gest in
Granada.” Asin Palacios juga terkecoh oleh nisba,
ketika dia menyatakan bahwa Syatibi tinggal di Syatiba, lihat Asin Palacios
terjemahan oleh M. L. de Céligny. “Un Précurseur Hispano-Musulman de Saint Jean
de la Croix”. Etude Carmélitaines,
1932, h. 121-22, vide P. Nwiya Ibn ‘Abbad, op. cit., h. 173, catatan nomor 2.
35.
Levi-Provençal, “Shatiba”, E. I. (edisi pertama) Vol. IV, h. 337.
36.
Lihat h. 86ff.
37.
Lihat di atas catatan nomor 3 dan Nafh a-Tib, op. cit.,
Vol. VII, h. 275; Syajarah, op. cit., Vol. I, h. 228.
38.
Nafh at-Tib, Vol. VII, h.
276-278; 297-301.
39.
Kahhala, Mu’jat,
op. cit., Vol. VIII, h. 252.
40.
Syajarah, op. cit., Vol. I, h. 233.
41.
Nayl, h. 219.
42.
Syajarah, h. 230.
43.
Lihat h. 182, 222ff.
44.
Nayl., h. 47.
45.
Nafh at-Tib, Vol. VII, h. 134.
46.
Al-Ihata, Vol. II, h. 139.
47.
Nayl, h. 250.
48.
Syajarah, h. 232.
49.
Nafh at-Tib, Vol. VII, h.
206.
50.
Lihat h. 117f.
51.
Nafh at-Tib, Vol. VII, h. 232-249.
52.
Nayl, op. cit., h. 245, 346; Syajarah, I, h. 234. Zawawi hidup hingga
tahun 770 H.
53.
Nayl, h. 346.
54.
Ikhtisar dari Al-Ifadat
karya Imam Syatibi ini dikutip oleh Ahmad Baba dalam Nayl, h. 346 dan oleh P. Nwiya, dalam Ibn ‘Abbad de Ronda, h. XXXIX, No. 2.
55.
Muhsin Mahdi, op.
cit., h. 35, catatan nomor 2; Nayl,
h. 256.
56.
Nayl, h. 256.
57.
Nayl, h. 258.
58.
Kurangnya minat terhadap ushul fiqih dikemukakan oleh Ibn
Sa’id sebagaimana dikutip oleh Maqqari dalam Nafh at-Tib, Vol. I., h. 9.
59.
Al-I’tisham, op. cit., Vol. I, h. 9.
60.
Lihat h. 184ff.
61.
Nayl, h. 221.
62.
Ibid., h. 221.
63.
Al-Muwafaqat, Vol. I, op. cit., h. 22.
64.
Imam Syatibi, dalam sepucuk surat kepada temannya,
mengisyaratkan bahwa pemberhentian dari jabatan imam atau khatib sebuah masjid
adalah hal yang lazim setelah seseorang menentang amalan-amalan bid’ah. Lihat
Wansyarisi, Mi’yar al-Mughrib, Vol.
XI, h. 109.
65.
Leon Bercher (menyunting, menerjemahkan, dan mengulas)
Ibn ‘Âçim al-Maliki al-Gharnâti, Al-‘Âçimiyya
ou Tuh’fat al-hu’kkâm fi nukat al-‘uqoût wa’l ah’kam, (Aljiers, 1958),
Pendahuluan, h. III.
66.
Nayl, op. cit. h. 49.
67.
Ibid.
68.
Al-I’thisam, op. cit., h. 9f.
69.
Ibid., h. 11.
70.
Ibid., h. 11f.
71.
Lihat, h. 182ff.
72.
Lihat h. 183ff.
Diterjemahkan dari:
Muhammad Khalid
Mas’ud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law: An Analitical Study of Shatibi’s Concept
of maslaha In Relation to His Doctrin
of maqasid shari’a With Particular
Reference to the Problem of the Adaptability of Islamic Legal Theory to Social
Change, a dissertation presented to the Faculty of Graduate Studies and
Research Mc Gill University, Montreal, 1973, h. 165-179
Comments
Post a Comment