Lima Abad Kekerasan Irlandia-Inggris
Kehadiran Inggris di Irlandia berawal dari asimilasi para
penakluk dan kolonis Anglo-Norman, setelah itu Irlandia terbiasa dengan
beberapa abad persaingan antara pada pemimpin dan raja-raja pribumi. Bermula
dengan Henry VIII, bagaimanapun juga, invasi Tudor menimbulkan sebuah putaran
baru perlawanan bersenjata. Maka dimulailah hampir lima abad di mana beberapa
kelompok pemegang kekuasaan Irlandia selalu bersekutu dengan Britania Raya, dan
banyak pemegang kekuasaan lainnya yang bersekutu melawan Britania Raya.
Kolonisasi ditegakkan di antara berbagai konflik antara penganut Protestan yang
umumnya orang Inggris dan umat Katolik yang merupakan bagian terbesar populasi.
Kebanyakan orang Katolik hidup miskin, tetapi antara tahun 1690-an dan 1780-an,
orang Katolik berpunya sekalipun tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam
politik publik Irlandia. Dari tahun 1780-an hingga 1820-an, mereka masih
mengalami ketidakmampuan politik serius. Sejak abad keenam belas, Irlandia jarang
beranjak jauh-jauh dari persaingan sengit penuh kekerasan. Pulau ini
berulang-ulang tercebur dalam perang saudara.
Selama abad kesembilan belas, tuntutan bagi otonomi atau
kemerdekaan Irlandia membesar. Pada tahun 1801, umumnya sebagai respons terhadap
pemberontakan 1798 dan ancaman pemberontakan itu terhadap kepentingan Britania
dalam perang besarnya melawan Prancis, Britania Raya (Inggris, Skotlandia, dan
Wales) menggabungkan Irlandia ke dalam sebuah Kerajaan Serikat (UK). Langkah
ini membubarkan parlemen eksklusif Irlandia Protestan dan ratusan orang
Protestan Irlandia bergabung dengan Majelis Rendah di London nun jauh di sana.
Berkat Emansipasi Katolik (1829), orang-orang Katolik berpunya memperoleh hak
untuk memberikan suara dan memangku sebagian besar jabatan publik.
Perubahan-perubahan rezim tersebut menghubungkan
perseteruan Irlandia lebih dekat dengan struktur peluang politik Inggris, yang
membuka secara tidak menentu seiring abad kesembilan belas mulai berjalan;
pusat-pusat independen kekuasaan berlipat jumlahnya, rezim sedang menjadi agak
lebih terbuka bagi aktor-aktor baru, blok-blok politik menjadi sedikit lebih
tidak stabil, sekutu-sekutu berpengaruh dan para pendukung menjadi lebih
tersedia bagi orang-orang Katolik Irlandia terorganisasi. Tetapi pembedaan
Protestan-Katolik dan Inggris-Irlandia mempertahankan banyak dari kekuatan
politik mereka. Ini menjadi sebuah sistem hibrida.
Selama abad kesembilan belas, konflik antara penyewa dan
tuan tanah bertambah parah, pameran kekuasaan publik oleh masing-masing kubu
berulang kali menimbulkan kekerasan jalanan di Irlandia Utara (Tilly 2003:
111–127). Sebuah kampanye bagi home rule
(kekuasaan untuk memerintah sendiri yang diberikan kepada pemerintahan lebih
kecil oleh entitas yang lebih besar) menyebabkan pembubaran Gereja Irlandia
yang tadinya resmi pada tahun 1869. Walaupun akhirnya didukung oleh Perdana
Menteri William Gladstone, home rule
itu sendiri gagal lolos di Parlemen UK. Orang-orang Protestan Irlanida
menggalang aksi menentang langkah-langkah semacam itu dengan mengusung tema “Home rule is Rome rule” (McCracken 2001:
262). Undang-Undang Hak Suara 1884, berbarengan dengan Undang-Undang Reformasi
Ketiga Britania Raya, memberikan hak suara kepada sebagian besar penduduk
laki-laki dewasa Irlandia dan dengan demikian sangat memperluas elektorat
Katolik pedesaan. Pada saat itu, bagaimanapun juga, setiap partai besar
menempelkan diri pada satu segmen agama. Partai-partai berbasis Katolik
bertekad bulat membaktikan diri bagi otonomi atau kemerdekaan Irlandia. Sebuah
kombinasi perang saudara, konflik etnis-agama sangat destruktif, dan revolusi
sedang dipersiapkan.
Setelah berkali-kali pergolakan anti-Inggris selama enam
puluh tahun sebelumnya, persoalan dinas militer demi kepentingan Inggris
membelah tajam Irlandia selama Perang Dunia I. Pada mulanya rakyat Irlandia
ikut serta dalam peperangan. Tentu saja orang-orang Protestan Ulster jauh lebih
bersemangat daripada populasi Irlandia selain mereka. Pasukan Sukarela Ulster
sebelum perang, sebuah satuan paramiliter Protestan yang menentang home rule
Irlandia yang diorganisasi pada tahun 1913, berbondong-bondong bergabung dengan
angkatan bersenjata Inggris. Sementara itu, Inggris mempertahankan dua puluh
dua ribu pasukan dan polisi di bagian pulau selebihnya untuk menghadang milisi
populer Katolik yang mulai terbentuk pada tahun 1914.
Pada saat itu Irlandia menampung lima angkatan bersenjata
berbeda: bukan hanya tentara Inggris dan Sukarelawan Ulster tetapi juga
musuh-musuh mereka: Sukarelawan Irlandia, Tentara Warga, dan Persaudaraan
Republikan Irlandia. Meski begitu, perlawanan serius terhadap kepentingan
Inggris belum mengkristal hingga perang sudah berjalan selama hampir dua tahun.
Pemberontakan Paskah 1916 yang gagal—diorganisasi sebagian dari New York,
didukung oleh agen-agen Jerman, ditopang oleh bombardir Jerman atas pantai
Inggris, dan ditumpas dengan brutal oleh pasukan Inggris—memperlambat cita-cita
kemerdekaan Irlandia untuk sementara. Kendati demikian, kaum nasionalis
Irlandia mulai melakukan konsolidasi pada tahun 1917.
Pemilihan parlementer 1918 memberikan kemenangan bagi
Sinn Féin, sebuah partai yang dikenal luas mengidentifikasi diri dengan
Pemberontakan Paskah dan cita-cita republikan. Ketika pemerintah UK menetapkan
wajib militer bagi Irlandia pada April 1918, seluruh orang Irlandia anggota
Parlemen kecuali perwakilan Protestan Utara mundur dari Parlemen UK. Para
anggota Parlemen yang pulang memipin organisasi oposisi di tempat asal mereka.
Pada Desember 1918, kaum nasionalis Irlandia menang mudah di Irlandia selatan
dalam sebuah pemilihan parlementer, dengan tiga puluh empat dari enam puluh
sembilan kandidat yang terpilih masih mendekam di penjara. Para anggota
parlemen yang baru saja dipiliah memutuskan untuk membentuk parlemen Irlandia sendiri
bukannya bergabung dengan majelis UK. Dalam rapat pada Januari 1919 mereka
memilih Eamon De Valera kelahiran New York, waktu itu masih di penjara, sebagai
presiden parlementer mereka. De Valera kabur dari penjara tak lama kemudian,
tetapi setelah empat bulan beraktivitas di Irlandia dia bertolak ke Amerika
Serikat.
Tidak lama kemudian pemerintah Inggris aktif memberangus
organisai-organisasi nasionalis Irlandia. Kaum nasionalis sendiri memobilisasi
perlawanan dan menyerang perwakilan-perwakilan otoritas Inggris. Pada akhir
1919 Irlandia mencapai status perang saudara. Sebagaimana yang dirangkum Peter
Hart (1998) untuk County Cork:
Sin Fein menang dan menjaga wilayah politik barunya
dengan kewajiban minimum perkelahian jalanan dan tembak-menembak senjata
ringan. Namun, kegaduhan familier persaingan partai itu berubah menjadi
pembunuhan dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya dan tidak terbayangkan.
Ajang politik diubah menjadi sebuah dunia mimpi buruk pembunuh dan korban
anonim, penghilangan, pembantaian, eksekusi tengah malam, peluru di belakang
kepala, mayat-mayat dibuang di lapangan atau parit-parit. Lebih dari 700 orang
tewas di Cork dalam penembakan atau pengeboman revolusioner atau
kontrarevolusiober antara tahun 1917 dan 1923, 400 dari mereka tewas di tangan
Sukarelawan Irandia—yang segera dibaptis ulang menjadi Irish Republican Army.
(50)
Inggris bersusah payah menegakkan kontrol militer tetapi
juga mulai berunding dengan perwakilan Irlandia. Dalam dua tahun, berbagai
perundingan berujung pada sebuah persetujuan: pemisahan Irlandia Utara (Ulster
minus County Cavan, Donegal, dan Monaghan) dari Irlandia selebihnya, dan status
dominion seperti Kanada dan Afrika Selatan untuk Negara Bebas Irlandia yang
baru dibentuk minus Utara. Walaupun kaum republikan garis keras Irlandia tidak
mau menerima penyelesaian itu dan mengobarkan pemberontakan pada tahun 1922,
pengaturan itu bertahan dalam bentuk yang kurang lebih sama hingga tahun
1930-an.
Di Irlandia Utara, kekuatan-kekuatan anti-Inggris tidak
pernah menyerah. Untuk sebagiannya diilhami oleh contoh-contoh hak-hak sipil
Amerika, sebuah putaran baru konflik dimulai dengan mars Katolik pada tahun
1968, konfrontasi kekerasan dengan polisi, pertarungan dengan demonstran
tandingan Protestan, dan serangan-serangan lebih terpencar-pencar terhadap
orang dan harta benda kubu lawan masing-masing. Pada tahun 1972, pasukan payung
Inggris yang berusaha membubarkan mars tidak bersenjata tetapi ilegal membelah
Derry, yang diselenggarakan Perhimpunan Hak-hak Sipil Irlandia Utara, menembaki
para demonstran, menewaskan tiga belas orang. Keributan menyusul “Minggu
Berdarah” itu mendorong pemerintah Inggris yang cemas untuk memberlakukan
kembali pemerintahan langsung atas provinsi itu.
Setelah sebuah kesepakatan gencatan senjata diumumkan
pada tahun 1994, serangan dan konfrontasi (termasuk yang pecah di luar
Irlandia) sebetulnya meningkat. Sebuah perjanjian berikutnya (disebut
persetujuan Jumat Agung) memprakarsai pembicaraan-pembicaraan serius di antara
partai-partai besar dan mengakhiri sebagian besar kebuntuan publik di antara
kedua belah pihak, tetapi tidak mengakhiri aksi gerilya oleh seluruh unit
paramiliter dan juga tidak menghasilkan perlucutan senjata total unit-unit
tersebut. Bahkan ketika perundingan-perundingan berlangsung, kelompok-kelompok
paramiliter kedua belah pihak berkali-kali melanggar perdamaian. Dukungan
terhadap militan-militan Katolik oleh Tentara Republikan Irlandia (IRA),
berbasis di Irlandia merdeka dan mendapat dukungan melimpah dari migran
Irlandia di luar negeri, jelas menunjang kelangsungan konflik. Tetapi
orang-orang militan Katolik asli Uslter berulang kali menantang orang-orang
Protestan Ulster yang tak kalah militannya. Salah satu kekerasan antarkolompok
berskala besar yang berlangsung paling lama ini berlanjut hingga abad baru.
Jumlah korbannya serius. Antara tahun 1969 dan 1982
kekerasan kolektif Irlandia Utara meninggalkan catatan berikut: 2.268 orang
tewas, termasuk 491 militer, 187 polisi, dan 1.590 warga sipil; 25.120 orang
luka-luka; 29.035 insiden penembakan; 7.533 ledakan; 4.250 pembakaran; 9.871
perampokan bersenjata; 153 pelumuran ter dan bulu; dan 1.006 penembakan
tempurung lutut (Palmer 1988: 2). Angka-angka tersebut mengungkapkan pertikaian
aktor-aktor politik. Walaupun intensitas kekerasan naik turun seiring irama
lebih umum pertarungan antrakelompok di Irlandia Utara, serangan berbalas
serangan terus berlanjut sampai tahun 1990-an. Bahkan penyelesaian sementara
1998 tidak mengakhiri semua itu.
Biar bagaimanapun Inggris/Irlandia Utara tetap merupakan
sebuah sistem hibrida dengan bentuk-bentuk kombinasi perseteruan: Di sepanjang
konflik pasca-Perang Dunia II pemilihan-pemilihan terus diselenggarakan, para
pendukung Oranye (Protestan) menggelar mars, keluarga para korban berdemonstrasi,
dan dialog politik terus dilakukan dalam beberapa bentuk. Bahkan dalam puncak
kekerasan, agen-agen Inggris mengadakan pertemuan rahasia dengan perwakilan IRA
untuk mengupayakan kesepakatan. Pada saat kesepakatan Jumat Agung,
partai-partai politik pelan-pelan meneguhkan kekuasaan mereka atas
sekutu-sekutu paramiliter mereka. Deklarasi 2005 bahwa IRA akan meninggalkan
kekerasan kolektif pada umumnya mengakhiri konflik-konflik mematikan, tetapi
kita belum bisa yakin.
Rakyat Inggris, rakyat Irlandia, dan para pengamat
konflik Inggris-Irlandia sering mendeskripsikan hubungan-hubungan di seberang
Laut Irlandia sebagai akibat dari kebencian kuno yang sengit dan tidak bisa
didamaikan. Sejarah aktual konflik panjang itu, bagaimanapun juga,
mengungkapkan bahwa kebencian yang memang kuno semacam itu sebetulnya bisa
dinegosiasikan. Begitu sebagian besar Irlandia merdeka, tingkat konflik etnis
dan agama menurun, dan titik-titik kekerasan terkonsentrasi di Irlandia Utara.
Bahkan pergolakan Irlandia Utara menyempit, menjadi berkurang kekerasannya, dan
menunjukkan tanda-tanda penyelesaian setelah tahun 2000 ketika IRA mulai
melucuti senjata, para pemimpinnya menjadi juru runding yang diakui
internasional, dan bahkan para pemimpin Protestan Irlandia berupaya mencari
jalan bagi penyelesaian dengan jangka waktu lebih panjang (Maney 2006).
Proses politik yang menghasilkan perubahan dalam hubungan
Inggris-Irlandia tidak berasal dari suatu wilayah tersendiri yang hanya dihuni
kebencian kuno dan konflik etnis-agama. Justru sebaliknya, kisah Irlandia
menunjukkan kepada kita efek-efek familier pergeseran struktur peluang politik,
mobilisasi, polarisasi, perantaraan, dan represi—pendek kata, politik
perseteruan pada umumnya. Kisah ini juga menunjukkan kepada kita bagaimana politik
sehari-hari terus dimainkan beriringan dengan konflik maut yang mendominasi
judul berita.
Diterjemahkan
dari Charles Tilly & Sidney Tarrow, Contentious
Politics, Oxford University Press, 2015, h. 76-80.
Comments
Post a Comment