Hitler & His God (1)


misteri sejarah Hitler Nazi Jerman

Seorang kopral mengamati tikus
Saya jamin, Tuan-tuan, bahwa yang mustahil selalu berhasil
yang paling tidak mungkin adalah yang pasti.
                                                                             ADOLF HITLER
Kopral itu bangun agak dini pagi itu, sebelum mengawali rutinitas hariannya. Karena tidak ada yang harus dikerjakan, dia menghibur diri dengan melempar remah-remah roti pada tikus-tikus yang merupakan tamu tetap kamar sempitnya, dan memperhatikan mereka bermain-main dengan remah-remah atau bertarung memperebutkannya. Perang Dunia Pertama – atau disebut “Perang Besar” – sudah usai, dan masa depan si kopral, yang tidak punya ikatan keluarga dan perkawanan, terlihat amat suram.
Dia tidak pulang perang bersama barisan tak putus-putus rombongan tentara abu-abu dan letih yang membawa bau lumpur, mesiu dan daging busuk manusia di lipatan seragam mereka. Sebab tak lama sebelum gencatan senjata dia dibutakan oleh gas di dekat Wervik, di perbatasan Perancis-Belgia, dan dilarikan jauh ke utara ke sebuah rumah sakit militer di Pasewalk, Pommerania. Di sana dia menyentuh dasar penderitaannya tatkala mendengar pengumuman bahwa perang dihentikan pada 11 November, bahwa Jerman kalah perang, bahwa Kaisar dan seluruh pangeran Jerman dimakzulkan, dan bahwa sebuah republik Jerman diproklamirkan. Kini dia menunggu di Munich, di barak pasukan yang masih merupakan resimennya, untuk didemobilisasi.
Walaupun dia orang Austria menurut kelahiran dan kebangsaan, Adolf Hitler, pada Agustus 1914, diizinkan masuk Resimen Infanteri Cadangan Bavaria ke-16. “Resimen List”. Dia bertugas penuh dedikasi sejak pekan pertama hingga hari-hari terakhir perang, empat tahun penuh. Sebagai pelari kurir tempur (Gefechtsmeldegänger, menggunakan sebutan yang dia buat sendiri) di berbagai markas resimen dia berperan dalam banyak sekali pertempuran sengit di Perancis dan Belgia; dia nyaris disergap maut dalam berbagai kesempatan, dan dianugerahi Salib Besi Kelas Satu dan Kelas Dua untuk keberaniannya. “Tidak seorang pun yang mengenal [Hitler] dari dekat meragukan keberaniannya,” kata Ajudan Resimen di kemudian hari. “Di medan tempur dia membuktikan diri sebagai kurir pemberani dan luar biasa andal yang sungguh pantas menerima Salib Besi Kelas Satu, dan yang beberapa kali menunjukkan bukti itu sebelum mendapat anugerah. Dialah contoh prajurit tak dikenal yang dengan diam-diam dan bersahaja melaksanakan tugasnya.”
Perang itu adalah “masa paling tak terlupakan dan terbesar dalam kehidupan duniawinya”, sebagaimana yang kelak ditulis Hitler sendiri, dia “sangat bahagia menjadi tentara.” Waktu itu dia berusia dua puluh sembilan tahun. Akan jadi apa dia? Dia tidak punya prospek, tidak punya masa depan. Oleh sebab itu dia melakukan apa saja yang mungkin untuk menunda demobilisasinya, sebab angkatan darat memberinya sebuah dipan untuk tidur dan sekerat roti untuk dimakan. Sendirian, dia cuma bisa meluncur kembali ke mimpinya menjadi seorang arsitek besar, sementara harus mencari nafkah dengan menjual lukisan cat air gedung-gedung dan monumen megah. Sebab itulah yang dia lakukan di Munich sebelum pecah perang, sebagaimana yang dia lakukan di Wina, di mana dia hidup menggelandang. “Dia selalu terlihat begitu kelaparan,” kenang orang yang kenal dia pada masa itu.
Kini dia bisa berganti baju sipil kapan saja. Pahlawan perang melimpah ruah. Tak ada yang peduli pada gerombolan tentara kusut masai, kurang makan dan berpakaian compang-camping, masih menenteng senjata mereka, dengan pantulan horor tak terkatakan dan kematian di mata mereka, berkeliaran di sebuah dunia sipil yang tidak lagi menerima dan sangat menghinakan mereka. Kondisi pangan di Jerman masih teramat buruk hingga tak ada orang peduli dengan kelaparan orang lain. Meski demikian, sejumput remah-remaah masih bisa disebar untuk tikus-tikus. “Karena aku biasa bangun sebelum jam lima pagi,” tulis Hitler dalam Mein Kampf, “aku menjadi terbiasa menaruh sisa-sisa atau kulit roti di lantai untuk tikus-tikus yang bersuka ria di kamar sempitku, dan memperhatikan makhluk-makhluk kecil lucu itu mengejar cuilan-cuilan roti. Aku sangat mengenal kemelaratan dalam hidupku hingga aku bisa membayangkan kelaparan, dan karena itu juga kesenangan, makhluk-makhluk kecil itu.
Tapi, lihatlah ... beberapa tahun kemudian berdirilah Adolf Hitler yang itu juga, penuh kemenangan, sebagai Kanselir Jerman baru di balkon istana Kanselir Rich di Berlin, disanjung oleh ribuan warga Jerman yang antusias! Dan kemudian dia berdiri, sendirian dengan Salib Besi Kelas satu tersemat di dada, tinggi di atas barisan tertata rapi pasukan Jerman berseragam di Lapangan Zeppelin di Nuremberg. Mereka memuja dan menghormati dia sebagai pemimpin mereka, Führer mereka, bahkan Mesias mereka, yang datang untuk membuat mereka besar lagi, lebih besar dari sebelumnya dalam sejarah mereka, para penguasa bumi. Deutscheland über alles, über alles in der welt. Seorang kopral yang dahulu putus asa tanpa masa depan sudah menjadi “Pemimpin bangsa, Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata, Kepala Pemerintahan dan Pemimpin Eksekutif Tertinggi, Hakim dan Peimpin Tertinggi Partai [NSDAP].”
Bukan hanya menjadi penguasa hidup dan mati di negeri yang dia perintah, di mana kehendaknya adalah hukum dan ucapannya mewartakan kebenaran, dia juga “mengubah peta Eroap, menghancurkan imperium-imperium, dan mendorong kebangkitan kekuasaan-kekuasaan baru, menyulut revolusi, dan mengakhiri abad kolonial.” “Orang dari antah-berantah” itu menyatukan Austria dengan Jerman dan masuk sebagai penakluk ke Praha, Warsawa dan Paris. Dia menaklukkan, memperbudak dan membunuh – dan berniat menaklukkan lebih banyak, membunuh lebih banyak dan memperbudak lebih banyak.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bekas kopral Austria, yang pernah dibandingkan dengan anjing liar kuyu, mencapai puncak kekuasaan semacam itu sampai-sampai Joachim Fest menulis: “Jika Hitler tewas karena pembunuhan atau kecelakaan pada akhir 1938, tak banyak yang bakal ragu menyebutnya sebagai salah seorang negarawan terbesar Jerman, penyempurna sejarah Jerman?”
Melimpah buku yang ditulis tentang Hitler dan Jerman Nazi, tetapi beberapa sejarah terbaik dan paling banyak dibaca sepakat bahwa Hitler tetap enigmatik. “Makin banyak bahan yang kita punya dan makin jauh jarak sejarah, makin membingungkan Hitler jadinya,” tulis Christian von Krockow.7 Allan Bullock, penulis esai seperti Hitler – A Study in Tyranny dan Hitler and Stalin – Parallel Lives, menyatakan dalam sebuah perbincangan: “Makin banyak saya belajar tentang Hiter, makin sulit saya menjelaskan ... Saya tidak bisa menjelaskan Hitler. Saya tidak percaya ada yang bisa.” Dan bagi H. R. Trevor-Roper, “setelah lima puluh tahun Adolf Hitler masih merupakan misteri yang menakutkan.”

Dari Tuhan Hitler (Hitler & His God), Georges Van Vrekhem, diterjemahkan oleh Noor Cholis, disunting oleh Irwan Rouf, mediakita, Jakarta, 2011, h. 3 – 6.
Selanjutnya: Hitler & His God (2)

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)