Menjembatani Dua Dunia (13)



  Akhirnya saya pun kembali ke Inggris dan mendapat pekerjaan sebagai Pegawai Pers Pemerintah. Pekerjaan ini membawa saya kembali ke Jamaika dengan anggota keluarga saya yang bertambah untuk membuka Dinas Informasi Inggris sebelum kemerdekaan Jamaika. Dengan tibanya kemerdekaan pada tahun 1962 kantor saya dilebur ke dalam Komisi Tinggi yang baru dibentuk. Tanpa melakukan usaha apa pun, saya menjadi anggota Korps Diplomatik Inggris. Di sepanjang hidup saya, selain satu keputusan menentukan (meninggalkan Kairo), saya membiarkan diri dibawa ke mana angin berembus, dan angin berembus itu pula yang menentukan di mana saya berdiam.

Sekitar sepuluh tahun setelah kepergian dramatis saya dari Mesir saya mulai menulis lagi, mengerjakan draf pertama sebuah buku yang, setelah melalui banyak revisi, akhirnya diterbitkan dengan judul The King Castle, dengan subjudul penjelasan Choice and Responsibility in the Modern World.1 Sesuatu yang mencengangkan terjadi. Begitu saya mulai menuangkan kata-kata ke kertas saya mendapati diri menulis sebagai seorang Muslim, bahkan sebagai orang beriman, dengan keyakinan penuh. Mestinya hal itu tidak mengejutkan saya. Cukup lumrah bagi penulis mendapati bahwa, dalam aktivitas menulis, mereka mengungkapkan ide dan keyakinan yang tanpa disadari mereka miliki, lapis lebih dalam kepribadian mereka terungkap, lapis yang sebelumnya tersembunyi dari pengetahuan sadar. Seperti apa pun kehidupan yang saya jalani, tampaknya benih yang disemai di Kairo mulai berkecambah. Saya mulai berpikir sebagai Muslim, meski kelakuan saya tidak.
    Sebelum saya bisa merampungkan naskah, kami dipindah ke Madras. Seperti sebelumnya, saya tidak suka meninggalkan Jamaika, tetapi kali ini sungguh saat yang tepat. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, saya kembali berada di tengah-tengah kaum Muslimin. Tidak diragukan lagi karena alasan sejarah “wajah” Islam di Selatan berbeda dari “wajah” yang terlihat di Utara dan di Pakistan. Iman dibawa ke India Selatan, tidak melalui penaklukan tetapi oleh para pedagang Arab, yang kebanyakan adalah sufi. Iman itu datang dengan cara lembut dan manis menghampiri orang-orang Selatan, dan mereka menerima Islam karena pesona tak bisa ditolak keyakinan yang membentuk orang-orang sedemikian piawai dan berbudi luhur seperti para pedagang itu. Anak turun mereka tampaknya mencerminkan sabda Nabi bahwa “Allah memberikan bagi kelembutan apa yang tidak Dia berikan bagi sikap kasar."

1. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 oleh The Bodley Head; diterbitkan ulang pada tahun 1990 oleh The Islamic Texts Society, Cambridge.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)