Menjembatani Dua Dunia (10)
Di antara kolega-kolega saya adalah seorang Muslim
Inggris, Martin Lings, yang memilih berdiam di Mesir. Dia teman Guénon, yang
juga berteman dengan dua orang yang berbicara dengan saya di London itu. Dan
saya tidak pernah bertemu orang seperti Lings. Dialah perwujudan nyata dari apa
yang, hingga saat itu, tak lebih dari teori dalam benak saya, dan akhirnya saya
tahu bahwa saya bertemu dengan orang yang utuh, total lagi konsisten. Dia
tinggal di sebuah rumah tradisional tepat di luar kota dan mengunjunginya serta
istrinya, seperti yang saya lakukan hampir tiap pekan, adalah keluar dari hiruk
pikuk Kairo dan memasuki tempat perlindungan tak lekang oleh waktu di mana
lahir dan batin tak terpisah dan di mana realitas dunia yang konon saya geluti
tak ubahnya sebuah eksistensi bayang-bayang.
Saya perlu tempat perlindungan. Saya sudah jatuh cinta
dengan Jamaika, kalau boleh jatuh cinta dengan tempat, dan saya membenci Mesir
hanya karena ia bukan Jamaika. Di mana Pegunungan Biru saya, laut tropis saya,
gadis-gadis Hindia Barat cantik saya? Bisa-bisanya saya meninggalkan
satu-satunya tempat yang saya anggap sebagai rumah? Tetapi bukan cuma itu, sama
sekali bukan. Saya tidak hanya meninggalkan tempat tetapi juga seseorang,
perempuan muda yang tanpanya hidup
terasa hampa dan nyaris tak layak dijalani. Saya jadi tahu apa maksud kata “obsesi”
sesungguhnya, pelajaran pahit namun berguna bagi mereka yang mencoba memahami
diri sendiri dan orang lain. Tak ada yang bernilai dari hidup saya sebelumnya,
satu-satunya realitas adalah kebutuhan saya akan seseorang yang menguasai
pikiran saya dari pangi hingga malam dan melangkah masuk ke mimpi saya. Ketika,
di tengah-tengah pekerjaan mengajar, saya membacakan puisi cinta keras-keras
kepada para mahasiswa, air mata membasahi pipi saya dan mereka berujar satu
sama lain, “Ini dia orang Inggris yang punya hati. Kami pikir semua orang Inggris
sedingin es!”
Para mahasiswa itu, terutama sekelompok kecil lima atau
enam orang, adalah tempat berlindung juga. Boleh saja saya membenci Mesir karena
berada 8.000 mil dari tempat yang saya inginkan, tetapi saya mencintai
anak-anak muda Mesir itu. Saya gembira dalam kehangatan mereka, keterbukaan mereka
dan kepercayaan yang mereka berikan kepada saya untuk mengajari apa yang mereka
ingin ketahui; dan saya pun segera mencintai iman mereka, sebab anak-anak muda
itu adalah Muslim yang baik. Saya tidak punya keraguan lagi. Jika mungkin bagi
saya mendedikasikan diri pada suatu agama – mengurung diri dalam sebuah agama –
itu pastilah Islam. Tetapi belum saatnya! Saya memikirkan doa St. Agustinus: “Tuhan, murnikan
aku, tetapi belum saatnya!, karena tahu bahwa selama berabad-abad banyak anak muda
lain, beranggapan bahwa mereka punya waktu seluas samudra, berdoa memohon
kemurnian atau kesalehan atau cara hidup lebih baik, tetapi dengan syarat yang sama,
dan banyak yang dijemput kematian dalam keadaan yang sama.
Comments
Post a Comment