Menjembatani Dua Dunia (9)



     Minat saya itu membagkitkan ketidaksetujuan sahabat karib saya yang lama bekerja di Timur Tengah dan memelihara prasangka kuat terhadap Islam. Pemahaman bahwa agama yang keras ini mempunyai dimensi spiritual  tampak absurd baginya. Agama ini, katanya meyakinkan saya, tak lebih dari formalisme lahiriah, ketaatan membuta pada larangan-larangan irasional, ibadah yang diulang-ulang, fanatisme picik dan kemunafikan. Dia menceritakan kepada saya praktik-praktik umat Islam yang, menurutnya, bakal meyakinkan saya. Yang terutama saya ingat adalah ceritanya tentang seorang perempuan muda yang sekarat kesakitan di rumah sakit dan dengan susah payah mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan menggeser tempat tidur besinya agar dia bisa mati menghadap ke Makkah. Teman saya tak habis mengerti dengan perempuan muda itu yang menambah kesulitan pada penderitaannya cuma untuk “takhayul bodoh.” Bagi saya, justru sebaliknya, itu adalah kisah yang sangat menakjubkan. Saya kagum dengan iman perempuan muda itu, kondisi pikirannya jauh melampaui yang bisa saya bayangkan.
     Sementara itu, saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Saya melamar hampir setiap pekerjaan yang diiklankan, termasuk jabatan Asisten Dosen Sastra Inggris di Universitas Kairo. Ini dungu, atau setidak-tidaknya saya rasa begitu. Di Cambridge saya belajar Sejarah dan tidak tahu apa-apa soal sastra sebelum abad kesembilan belas. Mana mungkin mereka mempertimbangkan orang yang tidak memenuhi syarat? Tetapi ternyata mereka mempertimbangkan saya dan benar-benar mempekerjakan saya. Pada Oktober 1950, dalam usia 29 tahun, saya bertolak ke Kairo tapat pada saat minat saya terhadap Islam mengakar.
(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)