Menjembatani Dua Dunia (11)




Kalau semuanya berjalan seperti biasa, saya mungkin tidak akan pernah mengatasi keraguan saya. Berniat suatu saat menerima Islam, saya mungkin menunda tindakan menentukan itu tahun demi tahun seraya terus mengatakan “Belum saatnya!” ketika usia menggerogoti saya. Tetapi semuanya tidak berjalan seperti biasa. Kerinduan pada Jamaika dan pada sosok istimewa itu kian membesar bukannya menyusut seiring bulan-bulan berlalu, seolah-olah tumbuh dengan sendirinya. Saya bangun suatu pagi dengan kesadaran bahwa cuma tidak adanya uang yang menahan saya kembali ke Jamaika. Saya menghitung-hitung dan mendapati bahwa, kalau saya membeli tiket kelas dek kapal uap, saya bisa menempuh perjalanan dengan biaya £70. Saya yakin bisa mengumpulkan uang sejumlah itu pada akhir bekerja di universitas, dan hidup saya akan berubah seketika. Mengetahui bahwa saat pergi makin dekat, saya malah bisa mulai menikmati Kairo. Tetapi satu pertanyaan kini menuntut jawaban, dan jawaban itu tidak bisa lagi ditunda. Kesempatan untuk masuk Islam mungkin tidak akan pernah datang lagi. Di depan saya ada pintu terbuka yang, saya rasa, jika saya tidak memasukinya akan tertutup selama-lamanya. Tetapi saya tahu kehidupan macam apa yang menunggu di Jamaika dan ragu apakah saya punya kekuatan karakter untuk hidup sebagai Muslim di lingkungan itu.
Saya membuat keputusan yang pasti, dan itu bisa dimengerti, tampak mengejutkan bagi kebanyakan orang, dan bukan cuma rekan-rekan Muslim saya. Saya memutuskan – begitu kata saya kepada diri sendiri – untuk “menyebar benih” di hati saya, untuk menerima Islam sekaligus dengan harapan benih itu suatu saat akan bertunas dan tumbuh menjadi tanaman yang sehat. Saya tidak akan membuat dalih apa pun untuk keputusan ini, dan saya tidak akan menyalahkan siapa pun yang menuduh saya tidak tulus dan punya niat tidak benar. Tetapi mungkin saja mereka meremehkan betapa Tuhan Maha Pemaaf atas kelemahan manusia dan kuasa-Nya untuk menumbuhkan tanaman yang menghasilkan buah dari benih yang disemai di lahan tandus. Yang jelas, saya dikuasai semacam desakan dan tahu apa yang harus saya lakukan. Saya menemui Martin Lings, menumpahkan semua cerita saya dan memintanya menjadi saksi ucapan syahadat saya. Walaupun ragu-ragu pada mulanya, dia bersedia. Diliputi kekhawatiran sekaligus sukacita, saya salat untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Keesokan harinya, karena saat itu Ramadan, saya berpuasa, sesuatu yang tak pernah bisa saya bayangkan bakal mengerjakannya. Tak lama sesudah itu saya mengabarkan keislaman saya kepada para mahasiswa senior saya dan kegembiraan mereka bagai pelukan yang hangat. Tadinya saya menyangka dekat dengan mereka, barulah saya paham bahwa selalu ada sekat antara kami. Kini sekat itu roboh, dan saya diterima sebagai saudara mereka. Enam pekan sebelum keberangkatan diam-diam saya (Saya tidak memberitahukan kepada Kepala Departemen saya tentang rencana kepergian itu) salah seorang dari mereka mendatangi saya setiap hari untuk mengajarkan Al Qur’an. Saya memandangi bayangan diri di cermin. Wajah yang sama, tetapi menghias pribadi yang berbeda. Saya Muslim! Masih dalam keadaan takjub saya naik kapal di Iskandariyah dan berlayar menuju masa depan tak pasti.

(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)