Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung


Sejarah Mahkamah Agung Sistem Peradilan Civil Law Reformasi Hukum Orde Baru Daniel S. Lev
Oleh: Daniel S. Lev
       Ketika Presiden Soeharto melepaskan jabatannya di bawah tekanan pada Mei tahun 1998, salah satu tuntutan yang paling gencar dan lantang dilontarkan adalah reformasi hukum, secara sederhana berarti menjamin proses hukum yang jujur, konsisten, dan bisa diperkirakan. Hal ini sesungguhnya tidak baru. Sejak kejatuhan sistem parlementer dan tampilnya Demokrasi Terpimpin, yang disusul dengan kudeta Orde Baru (Orba) 1965, penyesalan terhadap merosotnya negara hukumrechtsstaat versi Indonesia—dan tuntutan agar ide itu dipulihkan, sudah kerap didengar, namun diabaikan elite politik Indonesia.
      Sesaat setelah Soeharto mundur, harapan akan reformasi hukum menguat, terutama dari masyarakat yang sudah muak dengan hukum yang tak berfungsi, advokat, akademisi, intelektual, hingga donor asing. Yang disebut terakhir ini datang dengan pendekatan meyakinkan untuk membentuk aparat penegak hukum, administrator, dan advokat yang lebih jujur dan kompeten, memberantas korupsi, serta menempatkan semua orang sama di hadapan hukum dan lembaga hukum. Kemarahan mahasiswa di jalanan, Organisasi non-Pemerintah (Ornop) reformis, yang sebagian secara khusus mengagendakan reformasi hukum, dan begitu banyaknya perhatian pers, menjadikan reformasi yang bersifat fundamental tampak niscaya, meski sama sekali tidak gampang. Tekanan diarahkan pada pengadilan, kejaksaan, kepolisian, profesi hukum, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pengadilan-pengadilan niaga baru dibentuk dengan bantuan International Monetary Fund (IMF). Komisi Hukum Nasional yang baru dibentuk dan beranggotakan para advokat terkemuka dan andal mulai mengangkat isu-isu pokok reformasi.
       Dalam tempo sekitar satu tahun, ketika Presiden Habibie (wakil presiden terakhir rezim Soeharto) digantikan oleh Abdurrahman Wahid – seorang reformis yang kemudian dipaksa meletakkan jabatan dan diganti oleh Megawati Soekarnoputri – optimisme mulai surut. Optimisme ini semakin surut sewaktu buku ini ditulis pada akhir tahun 2003. Bukan berarti tidak ada hal berguna yang terjadi, namun tekanan yang menurun dan perubahan yang lambat membuat banyak orang tidak yakin bahwa sebuah transformasi bisa diwujudkan. Peradilan korup dan tidak kompeten mulai luluh untuk melakukan reformasi, meski sangat pelan, dan ini berawal dari puncaknya: Mahkamah Agung, yang menjadi subjek kajian ini. Kejaksaan setidak-tidaknya merasakan adanya suatu tekanan. Sementara itu profesi hukum juga mulai berbenah diri; dalam waktu yang lebih cepat daripada lembaga penegaj hukum lainnya, namun juga tidak bisa dibilang mengesankan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menghasilkan keputusan formal dan perubahan-perubahan konstitusional. Memang, selalu lebih mudah mengundangkan daripada melaksanakan, namun tetap saja produk-produk mereka jarang memuaskan para pengamat, bahkan yang paling optimistis sekalipun. Undang-undang Dasar 1945 yang hanya diniatkan sebagai undang-undang dasar kilat itu diamandemen secara substansial dan peraturan perundang-undangan baru diperdebatkan, dirundingkan, serta disahkan; akan tetapi semua itu diikuti oleh janji-janji untuk melakukan perubahan lagi, karena begitu banyak kritik yang dilontarkan.
       Tulang punggung dan masa depan reformasi hukum umumnya terdiri atas Ornop, yang sebagian besar dibentuk tak lama sesudah pengunduran diri Soeharto terlihat membuka pintu bagi perubahan. Sarat dengan para advokat muda yang cakap dan penuh dedikasi, bersama beberapa non-advokat, mereka menghasilkan banyak penelitian, kritik, argumen, ide, informasi, dan tekanan. Mereka, antara lain, adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesian Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Judicial Watch, dan juga Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan masih banyak lagi. Bersama beberapa Ornop yang lebih dulu lahir, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan pada tahun 1970, organisasi-organisasi bantuan hukum baru berorientasi pada konstituen khusus. Organisasi-organisasi ini tidak hanya memberikan basis bagi reformasi hukum di masa mendatang, melainkan juga suatu kalangan profesional elite politik baru. Meskipun banyak profesional muda masih enggan terlibat secara politis, koalisi Ornop reformis—untuk sebuah konstitusi baru, misalnya, dan juga proyek-proyek lain—mulai bermunculan, sehingga dapat berkembang menjadi suatu kesatuan politis.
       Signifikansi evolusi garda depan reformasi ini, sayangnya, tenggelam dan kadang-kadang lenyap sama sekali dalam kabut pesimisme yang kian menebal. Pesimisme ini diakibatkan oleh luar biasa kompleks dan sulitnya mencapai perubahan substansial. Sebagian pihak merasa problemnya sedemikian ruwet, setidak-tidaknya sebagian, karena tidak semua paham betapa sistem hukum ternyata begitu bobrok. Sebagian besar sejarah awal kemerdekaan Indonesia lenyap dari ingatan atau sengaja diselewengkan selama periode Orba, ketika hanya kehebatan pemerintahan Soeharto yang diajarkan dan dirayakan. Alhasil, relatif sedikit warga negara yang mengerti bahwa selama periode parlementer (1950-1959), Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, dan advokat bekerja dengan sangat bagus, walaupun dalam kondisi pascarevolusi yang serba apa adanya, dengan kelangkaan sumber daya, minimnya personel terlatih, dan banyak sekali hambatan lainnya.
      Sistem parlementer berakhir beberapa tahun setelah tahun 1957, setelah tentara terang-terangan ikut berebut pengaruh politik, sementara partai-partai politik makin turun ke politik jalanan selama periode Demokrasi Terpimpin. Kekompakan elite politik sipil lenyap, otoritas dan kekuasaan terkonsentrasi di Jakarta, dan kepentingan-kepentingan sempit lebih mengutamakan keutuhan parlemen daripada proses hukum di bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang liberal, yang dibatalkan pada tahun 1959 dengan Dekrit Presiden yang memulihkan UUD 1945. Dalam kondisi demikian, integritas sistem hukum berantakan dengan cepat. Ketika para jaksa dan polisi memanfaatkan keunggulan politis mereka, para hakim akhirnya menyusul, maka korupsi pun mulai merasuki proses hukum. Setelah kudeta pada akhir tahun 1965, tentara sepenuhnya mengontrol negara. Ada janji untuk kembali pada hukum, tetapi tidak ada desakan yang memadai untuk memaksa pelaksanaannya. Akibatnya, selama tiga dekade Orba, yang terjadi hanyalah penghancuran negara Indonesia. Pernyataan ini barangkali terdengar dramatis. Tetapi sebenarnya memang penghancuranlah yang terjadi jika kita mendefinisikan negara modern dalam kaitannya dengan lembaga administratif dan hukum, berikut orientasi keduanya pada kebutuhan dan cita-cita masyarakat. Di Indonesia, lembaga-lembaga tersebut, dari puncak ke dasar, tidak hanya melakukan praktik penyelewengan; korupsi pun makin tidak lagi dipandang sebagai korupsi, melainkan “keuntungan sampingan”, bahkan hak, jabatan. Fungsi-fungsi mereka pada dasarnya dikebiri ketika pemerintah makin menyerupai semacam benteng dikelilingi wilayah yang bisa dieksploitasi.
      Untuk memahami mengapa dan bagaimana negara hukum pascakemerdekaan runtuh, mula-mula kita harus mengerti bahwa norma-norma hukum berdiri pada sebuah basis politik. Tidak ada lembaga dan tanggung jawab negara yang lebih jelas menunjukkan (dan lebih sering diluputkan atau disalahpahami) poin ini daripada sistem peradilan—khususnya Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian dan Advokat. Selain Kepolisian, walaupun dilakukan dalam cara masing-masing, semuanya lebih bertumpu pada otoritas ketimbang kekuasaan. Otoritas tersebut bisa dikatakan berasal dari konsesi sukarela oleh mereka yang mempunyai kekuasaan politis, di mana dari konsesi itu memperoleh bagian otoritas sah dan jaminan keamanan personal. Lebih dari yang lainnya, lembaga-lembaga peradilan cenderung menjelaskan bagi warga negara, secara praktis dan simbolis, tentang kualitas negara mereka serta sistem politik dan kepemimpinannya. Namun, bagaimana mereka bekerja dan berinteraksi dan menjalankan kontrol efektif, bagaimana mereka mempertahankan integritas atau tidak, bagaimana mereka sesungguhnya membuat sebuah sistem dan untuk keperluan apa, jarang terlihat jelas bagi warga negara. Ketika lembaga-lembaga peradilan bekerja dengan baik, mereka mungkin menikmati semacam aura enigmatik. Ketika lembaga-lembaga tersebut gagal, seperti yang terjadi di Indonesia, otoritas lenyap (memberi peluang bagi diberlakukannya kekuasaan telanjang), dan itu menimbulkan kemuakan, kemarahan, cemooh, pelemparan sepatu dan telur, dan hal lebih buruk lainnya. Dari situ muncul pertanyaan serius mengapa lembaga-lembaga tersebut gagal dan bagaimana membuat sistem itu seharusnya bekerja.
       Kajian Sebastiaan Pompe tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia  sebetulnya lebih dari sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sebab, pada saat menyajikan salah satu analisis paling cermat dan terperinci mengenai peradilan, studi ini juga menampilkan sejarah patologi yudisial dan legal di sebuah negara yang sangat rumit. Studi ini menempuh jalan panjang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar tentang kegagalan sebuah sistem peradilan—bukan cuma Mahkamah Agung—dan segala konsekuensinya. Karya ini sangat boleh jadi akan menjadi bacaan klasik atau, paling tidak, bacaan esensial bagi siapa saja yang berminat dengan sejarah Indonesia modern, kompleksitas distorsi dan kegagalan kelembagaan, dan studi komparatif badan-badan peradilan. Sekaligus kajian sejarah yang luar biasa mendalam tentang Mahkamah Agung dan upaya amat besar untuk mencari sebab-sebab kemerosotannya yang tak pelak melibatkan seluruh sistem peradilan sipil tanpa banyak perlawanan. Bukan itu saja, dalam analisis Pompe kita bisa mulai memahami mengapa reformasi hukum berjalan sedemikian alot sejak tahun 1998, bahkan kita bisa mengamati beberapa implikasi bagi strategi-strategi rasional reformasi itu. Tak lama setelah disertasi orisinal penulis disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden dan  beberapa salinan sampai ke Indonesia, temuan-temuan tentang kesalahan Mahkamah Agung menggegerkan berbagai kelompok kepentingan di Jakarta. Setelah direvisi untuk keperluan penerbitan, studi ini tampaknya memancing perdebatan lebih mendalam tentang isu-isu sejarah hukum dan politik Indonesia dan beberapa diskusi penting tentang bagaimana, dan apa konsekuensinya, negara Indonesia berubah selama lima puluh tahun terakhir.
       Sulit membayangkan orang dengan kualifikasi perbandingan hukum meyakinkan mengerjakan penelitian ini selain Sebastiaan Pompe. Memperoleh pendidikan hukum dari Universitas Leiden, dia menekuni kajian Indonesia dan Melayu di School of Oriental and African Studies di London, dan meraih gelar MA (Master of Arts) di bidang hukum di Cambridge. Berbekal cukup bahasa-bahasa berguna, termasuk bahasa Indonesia, dia juga sangat mahir dalam variasi-variasi civil law Kontinental dan derivasi common law turunan Inggris serta seluk-beluk evolusinya ketika semuanya itu menyebar ke seluruh dunia melalui pemberlakuan kolonial, peniruan, dan adaptasi. Karya terdahulu Pompe yang diterbitkan meliputi daftar panjang artikel-artikel penting tentang beragam isu dalam hukum Indonesia dan survei paling lengkap yang ada terhadap tulisan-tulisan tentang hukum Indonesia. Selama beberapa tahun, hingga akhir tahun 2004, Dr. Pompe terlibat dalam sebuah program reformasi kehakiman di Jakarta.

*Pengantar dengan judul asli "Studi tentang Runtuhnya sebuah Institusi" dalam Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung oleh Noor Cholis; penyunting Arsil, Dian Rosita, Nur Syarifah; pembaca akhir Prof. Soetanyo Wignjosoebroto dan Bivitri Susanti, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 2012, hlm. 9 – 13.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)