Jaringan Uang (I)
Yang membedakan manusia
dari binatang adalah uang
—GERTRUDE STEIN
Seorang ibu muda, bertelanjang kaki dan
bertelanjang dada, bergegas keluar dari sebuah gubuk tanah liat membawa bayi
menetek digendong samping dengan sehelai selendang dan enam butir telur
mengambang dalam semangkok susu yang bertengger begitu imbang di kepalanya.
Sungguhpun matahari belum merekah di ufuk, keringat membasahi wajahnya dan
berjatuhan dari cincin emas yang menembus tepat di tengah bibir bawah. Dari
cincin itu, keringat menetesi dadanya dan merayapi sayatan dekoratif yang
berkilauan di perutnya.
![]() |
Gubuk tanah liat Suku Dogon, Mali |
Satu pagi setiap lima hari, dia
bangun sebelum fajar untuk mengawali perjalanan delapan belas kilometer dari
desanya, Kani Kombole, di belahan Barat Afrika, Mali, ke kota kecil Bandiagara,
tempat diselenggarakannya pasar setiap lima hari. Dia bergegas-gegas
meninggalkan perkampungan gubuk keluarganya untuk menyusul saudari-saudarinya,
sepupu perempuannya, dan wanita-wanita desa lain yang sudah mulai
perlahan-lahan merayapi tebing yang menampung kuburan leluhur mereka dan
merupakan bagian dari Tebing Bandiagara, menjulang 457 meter menjangkau plato
di atasnya.
Tatkala para wanita yang
terengah-engah itu mendaki perlahan-lahan permukaan berbatu-batu tebing, gubuk
tanah liat dan jerami sedikit demi sedikit mengecil dalam pandangan sehingga
terlihat tak lebih bagaikan istana pasir di pantai. Ditimpa panas, gubuk
bertingkat dua atau tiga, lumbung-lumbung jagung reot, dan kandang kambing tampak
meleleh disiram sinar pertama matahari tropis yang menyengat. Para wanita itu
sudah berjalan hampir tiga jam. Mereka membawa serta bayi-bayi yang masih menetek,
terpaksa meninggalkan anak-anak mereka yang lebih besar tetapi masih terlalu
belia untuk menempuh perjalanan sukar dan melelahkan itu. Di atas kepala atau
di punggung, masing-masing wanita membawa sesuatu untuk dijual di
pasar—sekarung tomat, seikat bawang, semangkuk lombok, atau sekarung ubi jalar.
Tak henti-hentinya lalat mendengung mengerumuni mereka, terpikat oleh pesta
makanan segar berjalan. Kadang-kadang mereka berhenti untuk beristirahat di
batu-batu besar di bawah naungan pohon baobab berbentuk aneh yang dengan
ganjilnya tegak berdiri di dataran kering kerontang. Mereka minum sedikit dari
mangkuk susu, tetapi mereka tidak bisa berlama-lama istirahat. Terusik oleh
gerombolan serangga yang kian membesar dan selalu tergesa-gesa untuk tiba di
pasar sebelum para pembeli mereka berdatangan dan sebelum terik matahari
memuncak, para wanita itu melangkah maju dengan mantap.
Tak jauh di depan para wanita
itu, sebuah kafilah kecil kaum pria berjalan dengan keledai-keledai dimuati jawawut
sedemikian tinggi hingga tampak seperti parade timbunan jerami. Meskipun para
pedagang itu berasal dari desa yang sama dan sering kali datang dari keluarga
yang sama, para wanita dan pria itu berjalan dalam kelompok-kelompok terpisah
untuk melaksanakan misi masing-masing.
Di belahan bumi lain di sebuah
gedung apartemen di Upper West Side Manhattan, seorang pria muda mendekap erat
sebuah tas kulit baru hadiah wisuda sedang menunggu lift. Mengenakan setelan
abu-abu, sepatu sport, dan jas hujan, tetapi tidak memakai dasi, dia melangkah
masuk lift yang sudah penuh sesak. Menunduk diam-diam, pria muda itu menjepit
tas diantara kedua lutut dan dengan kikuk mengikat dasi sutra bermotif kembang
tanpa menyikut orang-orang di sekitarnya. Setelah meninggalkan gedung dan
menapaki trotoar, dia segera menyatu dengan kerumunan orang dari gedung-gedung
sekitar yang bergerak menuju stasiun kereta bawah tanah di mana mereka
bergabung dengan kerumunan orang lebih banyak lagi yang berjejal-jejal dalam
gerbong yang mengangkut mereka ke selatan menuju Financial District di ujung selatan pulau. Sesudah
muncul dari stasiun bawah tanah, pria itu berhenti sejenak membeli roti gulung
isi wijen, yang dia masukan ke saku, dan segelas kertas kopi campuran Etiopia
panas, yang dia seruput dengan sedotan plastik. Lima hari dalam sepekan dia
melakukan perjalanan pulang pergi seperti itu dari apartemennya ke Bursa Efek
New York, yang terletak di antara gedung-gedung pencakar langit tertinggi di
dunia.
Kota kecil Bandiagara, Mali,
terletak di Sahel, perbatasan antara Sahara selatan dan hutan basah lebat yang
membentang sepanjang pantai Afrika Barat. Sesampai di pasar, wanita-wanita Kani
Kombole itu berpencar. Salah seorang dari mereka membawa bawang putih ke truk
bawang. Pihak pembeli akan mengangkut bawang dengan truk itu ke kota besar.
Mereka yang membawa tomat membentangkan selendang di tanah dan menata
hasil bumi mereka di atasnya, melindungi dagangan mereka dari sengatan matahari
dengan payung kecil jerami tipis yang dijalin pada jari-jari kayu. Wanita yang
menyunggi susu dan telur itu membongkar bawaannya di los susu, dia lalu
memajang telur-telur di sebuah labu kecil dekat mangkuk besar susu. Setelah
menjual barang dagangannya kepada warga kota atau tengkulak keliling, wanita
itu bisa membeli ember plastik, sedikit tembakau, sebongkah garam balok,
beberapa cangkir gula, atau beberapa barang mewah lainnya untuk dibawa pulang.
Makanan yang dijajakan di pasar itu untuk warga kota, bukan untuk dia. Pisang
terlampau matang dari pantai, kurma kering yang didatangkan dari sebuah
oasis di Sahara, dan jeruk mahal dari perkebunan pantai lebih mahal harganya
daripada sayur-mayur atau susu yang sanggup dia bawa ke pasar.
Kecuali dalam
komunitas-komunitas Muslim, di mana hampir semua aktivitas publik menjadi
bagian kaum pria, kaum wanita menjalankan dan mengelola pasar di seluruh Afrika Barat. Para wanita membawa barang
dagangan ke dan dari pasar, mereka melakukan tawar-menawar dalam jual beli.
Sebagian besar orang yang datang ke pasar sebagai penjual dan pembeli adalah
perempuan. Meski banyak juga kaum pria yang hilir mudik untuk keperluan khusus,
gaya interaksi pasar adalah feminin dan kebanyakan didasarkan pada ikatan
kekerabatan, pertemanan dan pengetahuan personal satu sama lain.
Walaupun buta huruf dan sama
sekali tak terjamah pendidikan formal, kebanyakan wanita di pasar Bandiagara
mahir dalam tawar-menawar, membeli dan menjual. Mereka menukar produk
dengan produk, tetapi juga menerima pembayaran berupa uang logam dan uang
kertas—sering dalam beberapa mata uang berbeda—dan bisa memberikan uang
kembalian. Walaupun tidak bisa membaca kata-kata yang tertera pada uang, mereka
bisa mengenali nilai uang kertas yang berlainan terutama dari warna, bentuk,
ukuran, dan gambarnya. Karena transaksi dilakukan secara terbuka di hadapan
sederetan perempuan lain yang ikut memperhatikan, pasar itu melimpah dengan
saran dan bantuan dalam tiap-tiap transaksi untuk memastikan agar semuanya
berjalan sesuai tradisi. Bahkan para wanita itu melakukan tawar-menawar
dan barter bukan dalam bahasa yang sama. Yang mereka perlukan cuma beberapa
patah kata dan serangkaian gerak tangan guna menunjukkan bilangan. Jemari
terkepal berarti lima; sebuah tepukan tangan artinya sepuluh.
Pesaing nomor wahid penjual
susu di Bandiagara bukanlah perempuan pedagang susu lain di sekitarnya, para
pesaingnya adalah peternak sapi perah di Wisconsin, Selandia Baru, dan Negeri
Belanda. Susu impor dipadatkan, dikalengkan, dan dibagi-bagikan gratis di
negara-negara miskin Afrika. Meski jelas-jelas ditandai “not for sale”,
susu impor tetap saja dijual di kios tepat di sebelah si ibu muda dari Kani
Kombole. Banyaknya susu kalengan yang dijual bergantung pada kondisi
perekonomian di Amerika Utara, Eropa, dan Pasifik Selatan. Tergantung pada
seberapa banyak susu yang dibeli Nestlé, Hershey, atau Kraft untuk produksi
tahunan mereka dan fluktuasi nilai dolar Amerika, gulden Belanda, dan dolar
Selandia Baru terhadap franc Perancis sebagai tambatan franc Afrika Barat Mali.
Tergantung pula pada seberapa panas musim panas dan sebanyak apa es krim
dikonsumsi orang, juga tergantung pada panen kedelai tahunan dunia, salah satu
pesaing utama produk susu. Jumlah susu kalengan yang dijual di Bandiagara pada
bulan apa saja bergantung pada subsidi susu dan anggaran bantuan luar negeri
yang ditetapkan Konggres AS di Washington DC; kebijakan pangan komisi tinggi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi di Jenewa dan Pasar Bersama Eropa
yang bermarkas di Brussels; dan program bantuan sewaktu-waktu organisasi derma
keagamaan dan swasta lainnya di seluruh dunia.
Saat pasar Bandiagara
dibanjiri susu sumbangan, ibu muda itu tidak begitu berminat menjual susu
segarnya. Ketika kaleng-kaleng susu menghilang, dia akan memperoleh lebih
banyak uang dan mampu membawa pulang barang lebih banyak pada hari itu.
Telur-telurnya memberikan sedikit penopang keuangan yang lumayan membantu
menstabilkan pendapatannya, karena program bantuan pangan asing sering
menyumbangkan produk susu tetapi jarang mengirim telur ke luar negeri. Biasanya
dia bisa menjual telur, bahkan pada hari-hari di mana dia dan keluarganya minum
susu tak terjual daripada harus susah-susah membawanya kembali ke Kani Kombole.
Catatan:
Sumber gambar http://awanderingjo.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
Dipetik dari Jack Weatherford, The History of Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)
Comments
Post a Comment