MISTERI MONETER BILANGAN




Keluarga Medici, bersama keluarga-keluarga kaya Florence lainnya, membiayai kebangkitan kembali besar-besaran di bidang kesarjanaan dan belakangan di bidang lukisan, patung, dan arsitektur. Kini kita mengingat era tersebut terutama karena karya-karya seni besarnya seperti patung-patung Daud yang bisa dijumpai di museum-museum dan plaza di seluruh Florence. Berkembangnya seni di Florence, betapapun, berakar pada penekanan warga Florence terdahulu pada pendidikan yang tidak cuma terdiri atas pembelajaran ilmu-ilmu klasik melainkan juga penguasaan keterampilan dasar yang dibutuhkan para pedagang dan bankir: bilangan dan matematika. Renaisans berawal bukan sebagai gerakan dalam seni dan sastra melainkan sebagai kebangkitan praktis matematis untuk membantu para bankir dan pedagang dalam menangani pekerjaan yang kian sukar untuk mengonversi uang, menghitung bunga dan menentukan laba rugi.
Pada tahun 1202, Leonardo Fibonacci, juga disapa Leonardo Pisano karena berasal dari Pisa, menerbitkan Liber Abaci, di mana dia memperkenalkan kepada Eropa apa yang sekarang kita sebut angka Arab, walaupun orang Arab sendiri meminjam angka itu dari India. Sistem sederhana tersebut menawarkan banyak keunggulan dibanding angka aneh Romawi yang susah dijumlahkan dan dikurangi dan boleh dikata tak tersentuh oleh perkalian dan pembagian.
Penggunaan angka Arab menghapus kebutuhan akan abakus, karena para pedagang bisa menghitung angka-angka baru itu secara lebih gampang dalam benak mereka atau di atas secarik kertas. Universitas, pemerintah, dan otoritas agama menunjukkan kecurigaan besar terhadap angka baru itu, yang datang dari “orang-orang kafir” dan dipakai para pedagang serta juru tulis tanpa abakus yang bisa diandalkan. Dalam penolakan kepala batu terhadap angka-angka pemilik toko itu, kebanyakan universitas Eropa terus menggunakan abakus dan mengajarkan matematika dengan angka Romawi hingga abad ketujuh belas. Sebagian besar pemerintah juga tidak sudi menerima penggunaan angka Arab untuk urusan resmi, seraya menyatakan bahwa angka-angka itu gampang dipalsu, bahkan oleh seorang berpendidikan minim sekalipun. Hingga sekarang pun, delapan abad setelah penggunaan angka Arab, angka Romawi menyandang gengsi tinggi dalam berbagai tindakan seperti penulisan tahun di gedung universitas atau kantor pemerintah.
Sudah barang tentu kaum pedagang tidak bisa menunggu persetujuan para profesor dan pastor. Mereka membutuhkan sarana praktis berhitung, walaupun tidak bergengsi seperti angka Romawi klasik, maka langsung saja mereka memanfaatkan sistem angka baru itu. Ketika para pedagang mendapati sebuah barang kelebihan bobot atau kurang bobotnya, mereka menandainya dengan tanda plus atau minus. Segera saja tanda-tanda tersebut menjadi simbol untuk penjumlahan dan pengurangan dan, akhirnya, untuk bilangan negatif dan positif.
Angka-angka baru itu ternyata memang praktis dan gampang, penggunaannya pun menyebar dengan pesatnya ke seluruh sektor perdagangan. Dalam bahasa sejarawan matematika J. D. Bernal penggunaan angka Arab “mempunyai dampak terhadap aritmetika hampir sama seperti dampak alfabet terhadap tulisan.” Membawa matematika “dalam jangkauan setiap juru tulis gudang; angka-angka tersebut mendemokratisasi matematika.”
Abad ketiga belas dan keempat belas menghasilkan sebuah revolusi matematika yang mengeluarkan penghitungan angka dari negeri rahasia tukang-tukang sihir ke jalanan dan toko-toko Eropa, dan ekspansi perbankan menjadikan Italia sebagai pusat perkembangan matematika baru ini. Revolusi itu berkobar bukan dalam hal penemuan ide-ide baru melainkan dalam hal penyebaran ide-ide misterius matematika bagi orang awam, untuk sebagian besar revolusi itu terbantu oleh media cetak yang masih belia.
Pada tahun 1478, Treviso Arithmetic, sebuah buku teks anonim, muncul. Buku itu dimaksudkan untuk mengajari orang-orang perdagangan lebih banyak hal tentang bilangan dan penghitungan. Pengarangnya tidak hanya mengajari pembaca bagaimana cara menjumlah dan mengurangi, operasi yang sudah dikenal orang pada masa itu, tetapi juga bagaimana mengalikan dan membagi serta bagaimana menangani pecahan dan progresi aritmetis maupun geometris yang sangat penting dalam menghitung bunga. Hanya segelintir sarjana berpendidikan terbaik yang bisa memahami, itu pun samar-samar saja, operasi matematis abstrak semacam itu.
Bagi kebanyakan mahasiswa dan anak-anak muda pegawai magang toko, ternyata nol susah dipahami dan digunakan ketika ada beberapa nol dalam suatu bilangan atau perhitungan. Lebih mudah memahami bahwa angka Romawi M berarti seribu daripada mengartikannya 1000 atau membedakannya dari 10000 atau 100000. Pada tahun 1484 Nicolas Chuquet, seorang dokter Paris, menyelesaikan persoalan itu dengan menulis Triparty en la science des nombres, di mana dia memperkenalkan sebuah sistem yang menjadikan nol lebih mudah dipahami dengan mengelompokkannya dalam himpunan tiga-tiga dengan sebuah penanda di antara tiap-tiap himpunan.
Dia bahkan memberi tiap-tiap tiga nol itu nama sendiri-sendiri. Bahasa-bahasa Eropa sudah punya nama untuk himpunan yang pertama (ratusan) dan himpunan kedua (ribuan), tetapi secara tradisional siapa saja yang menghendaki bilangan lebih tinggi harus mengungkapkannya dengan “ratusan  ribu” kemudian “ribuan ribu”. Chuquet memperkenalkan myllions, byllions, tryllions, quadryllions, dan seterusnya hingga nonylion. Menggunakan sistem nol yang dikelompokkan tiga-tiga, satu nonilon bisa ditulis, dan jauh lebih mudah dibaca, sebagai 1,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000. Walaupun Chuquet menggunakan titik di mana kita sekarang menggunakan koma,* bilangan itu merepresentasikan bilangan terbesar yang dikenal pada masa itu.
Pada tahun 1487, Luca Pacioli, seorang frater Fransiskan, menerbitkan mahakarya setebal enam ratus halaman Summa de aritmetica geometria proportioni et proportionalità, yang mengajarkan operasi matematika yang sekarang sudah lazim dan mendorong pelajar memasuki misteri lebih besar tata buku entri ganda. Dengan buku semacam itu, seorang pemilik toko tidak perlu kuliah di universitas untuk menjalankan bisnis yang efisien lagi menguntungkan.
Para ahli matematika Arab memanfaatkan aljabar sebagai sarana untuk mengerjakan kuantitas-kuantitas tak dikenal. Kata algebra berasal dari al-jabr, sebuah kata yang dipakai dalam judul buku berbahasa Arab Hisab al-Jabr w-al-Muqabalah (Ilmu Pemulihan dan Pengurangan), yang ditulis oleh seorang matematikus Muhammad ibn Musa al Khwarizmi. Dia meminjam kata al-jabr dari istilah kedokteran Arab, kata yang merujuk pada penempatan kembali atau pemulihan tulang, sebuah proses yang dia pandang secara metaforis menyerupai penempatan kembali bilangan-bilangan yang dilakukannya. Al Khwarizmi bekerja di Baghdad dan banyak meminjam untuk ide-idenya dari karya Hindu Brahmagupta; karya al Khwarizmi, di kemudian hari, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan disebarkan ke seluruh Eropa oleh Gerard de Cremona.
sejarah uang Jack Weatherford
Muhammad ibn Musa al Khwarizmi

Al Khwarizmi juga membantu mengatasi beberapa persoalan dalam mengerjakan pecahan, yang cukup sulit bagi rata-rata pedagang untuk menjumlah dan mengurangkannya, apalagi mengalikan dan membagi. Para ahli matematika Arab juga menggunakan sebuah sistem canggih desimal untuk menggantikan pecahan. Penggunaan desimal ini, disebut algorism—penyimpangan dari nama al Khwarizmi—pada akhirnya menjadi algorithm (algoritme) modern, menunjuk pada setiap prosedur mekanis atau rekursif penghitungan.
Para sarjana Yahudi seperti Immanuel ben Jacob Bonfils de Tarascon memperkenalkan gagasan-gasan Arab tersebut kepada para sarjana Eropa sekitar tahun 1350; kadang-kadang gagasan-gagasan tersebut dipakai para sarjana lain seperti Regiomontanus pada tahun 1453 dan Elijiah Misrachi pada tahun 1532. Penghitungan desimal cuma mendapat sedikit perhatian hingga diterbitkannya De Thiende pada tahun 1532 oleh sarjana Belanda Simon Stevin van Bruges (1548–1620), yang mengawali karier sebagai kasir di balai perdagangan Antwerp. Stevin berusaha memperkenalkan metode tata buku Italia kepada bangsa-bangsa Eropa utara, selain itu dia juga menerbitkan tabel pertama bunga sehingga orang bisa memahami prosedur misterius yang dilakukan para bankir, rentenir, dan para kreditor lainnya. Pada tahun 1525, Christoph Rudolff menerbitkan buku berbahasa Jerman pertama tentang aljabar, memperkenalkan lambang akar kuadrat.
Suka atau tidak para akademisi universitas dipaksa mencermati langkah-langkah besar dalam matemetika selama Renaisans dan, sungguh terlambat, mencari landasan teoretis sistem-sistem bilangan itu. Dengan melakukan upaya itu, mereka meletakkan dasar bagi sebuah bentuk baru ilmu pengetahuan, sebuah disiplin objektif yang didasarkan pada keajaiban bilangan. Pijakan filosofis bagi metode matematis ilmu pengetahuan itu sebagian besar dikembangkan oleh René Descartes, yang menerbitkan buku berjudul Discourse de la Méthode pada tahun 1637. Descartes membenci studi matematika an sich, oleh sebab itu dia berusaha menggunakan matematika sebagai sarana memahami dunia dalam rangka mencapai hasil-hasil praktis dalam alam. Pemanfaatan matematika untuk memahami alam memperoleh sokongan besar kedua pada tahun 1686 dengan diterbitkannya Principia Mathematica karya Sir Isaac Newton.
Kebangkitan ekonomi uang menciptakan sebuah cara berpikir baru. Mengenai hal itu filsuf abad kedua puluh Georg Simmel menulis, “berkat wataknya uang menjadi representasi paling sempurna suatu kecenderungan kognitif dalam sains modern secara keseluruhan: reduksi determinasi kualitatif menjadi determinasi kuantitatif.” Uang mengubah sistem dunia pengetahuan, pemikiran dan nilai-nilai.

* Sistem penulisan bilangan kita (Indonesia) justru mengikuti cara penulisan Chuquet.

Dipetik dari Jack Weatherford, The History of Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera