Di Istana Setan Angka


Robert (12) membenci guru matematikanya yang membuatnya kesal dengan soal cerita dungu dan tidak mengizinkannya menggunakan kalkulator. Lalu, dalam mimpinya, dia bertemu setan angka yang menunjukkan padanya apa sesungguhnya matematika itu; nol dan satu, rangkaian tak terhingga dan bilangan irasional, bilangan prima dan probabilitas.

***

Sebelas malam berlalu dengan berbagai petualangan kesal-gembira bersama Setan Angka dalam mimpi.

***

Robert berhenti bermimpi. Tidak ada lagi ikan raksasa yang hendak menelannya, tidak ada lagi semut merah yang merayapi kakinya. Dia tidak meluncur lagi, tidak membeku lagi, tidak lagi terperangkap dalam gudang bawah tanah.

Tentu itu bagus dan menyenangkan, walaupun jadi agak membosankan. Apa yang sedang dilakukan Setan Angka? Mungkin dia memperoleh gagasan bagus dan tidak dapat membuktikannya. Atau, dia terjerat di penampang polipnya (atau apalah yang dia bicarakan terakhir kali itu).

Mungkin saja dia sudah melupakan Robert.

Robert sama sekali tidak menyukai kemungkinan ini.

[...]

Suatu malam dia tidur begitu lelap hingga cukup lama dia baru menyadari kalau ada seseorang yang menggedor-gedor pintunya.

“Robert, Robert!”

Dia akhirnya melompat dari tempat tidur dan membuka pintu. Ternyata Setan Angka di sana.

“Senang sekali melihatmu,” kata Robert, “aku merindukanmu.”

“Sini cepat,” kata Setan Angka. “Aku punya undangan untukmu! Lihat!” Dia pun menyerahkan selembar undangan cetak dengan garis tepi dari emas kepada Robert. Undangan menghadiri “Acara makan malam di Neraka Angka/Surga Angka” untuk Robert murid setan angka Teplotaxl itu dibubuhi tanda tangan Sekretaris Jenderal. Tanda tangan mirip cakar ayam itu nampaknya dibubuhkan dalam huruf Arab.

“Jadi, namamu Teplotaxl,” kata Robert, mengenakan pakaiannya cepat-cepat. “Mengapa tidak kamu katakan padaku kemarin-kemarin?”

“Hanya orang dalam yang boleh mengetahui nama Setan Angka,” jawabnya.

“Apa itu berarti aku termasuk orang dalam sekarang?”

“Kelihatannya begitu. Sebab kalau tidak, kamu tidak akan mendapat undangan.”

[...]

“Naiklah ke punggungku.”

Robert khawatir dirinya terlalu berat bagi Setan Angka, yang bukan raksasa, tetapi dia tidak mau menyinggung perasaan gurunya itu. Dan, lihatlah, begitu dia melingkarkan tangan ke leher Setan Angka, Setan Angka segera melompati jendela dan melesat ke angkasa.

Ini hanya mungkin terjadi dalam mimpi, kata Robert dalam hati. Tapi, apa salahnya? Penerbangan tanpa suara bising, tanpa sabuk pengaman, tanpa pramugari menjengkelkan yang memberimu buku mewarnai dan mainan plastik seolah-olah umurmu baru tiga tahun—ini pilihan bagus.

Penerbangan itu berakhir dengan pendaratan mulus di teras sebuah istana megah.

“Kita sudah sampai,” kata Setan Angka, menurunkan Robert.

“Di mana undanganku?” tanya Robert. “Jangan-jangan ketinggalan di rumah.”

“Jangan khawatir,” kata Setan Angka. “Siapa pun bisa masuk ke sini asal dia sungguh-sungguh menginginkan. Kuncinya adalah sampai di sini terlebih dahulu. Dan, itu, seperti yang kamu bisa bayangkan, hanya sedikit yang bisa melakukannya.

Robert memperhatikan bahwa tidak ada satu pun petugas yang memeriksa pengunjung di gerbang raksasa berpintu ganda itu.

Lalu, mereka masuk dan menyusuri koridor panjang, panjang sekali, dengan pintu yang tak ada habisnya. Kebanyakan terbuka, ada yang sedikit terbuka ada pula yang terbuka lebar.

Robert mengintip ke dalam ruangan pertama. Teplotaxl menempelkan jari di mulut seraya berbisik, “Sst!” Yang mereka lihat adalah seorang pria amat tua berambut seputih salju dan berhidung mancung. Dia berjalan berputar bolak-balik dan berdebat sengit dengan dirinya sendiri.

“Semua orang Inggris adalah pembohong,” gumam pria itu, “tetapi kalau aku bilang begitu, lalu apa? Aku sendiri orang Inggris. Jadi, aku juga sedang berbohong. Dengan demikian apa yang baru saja kukatakan—yaitu bahwa semua orang Inggris adalah pembohong—tidaklah benar. Tapi, jika orang-orang Inggris mengakuinya, maka yang kukatakan tadi pasti juga benar. Dengan kata lain, kami adalah pembohong.”

Setan Angka memberi isyarat kepada Robert, mereka pun melanjutkan langkah.

“Itu tadi Lord Rustle,” Teplotaxl menjelaskan kepada tamunya. “Kamu ingat orang yang membuktikan 1 + 1 = 2.”

“Bukankan dia agak ..., linglung?” tanya Robert. “Aku tidak heran. Dia pasti sudah sangat tua.”

“Dia sama sekali tidak linglung; dia sangat pandai. Sedangkan mengenai umurnya, umur tidak ada artinya di sini. Lagi pula, Lord Rustle adalah salah satu yang termuda di antara kami. Dia belum sampai 150 tahun.”

[...]

Begitulah. Mereka menyambangi Bonacci, tetapi ruangannya dipenuhi kelinci; mereka melewati sejumlah ruangan, tempat orang-orang Maya, Arab, Persia, dan India sedang bekerja, bercakap-cakap, dan tidur. Makin jauh mereka berjalan, makin tua saja orang-orang yang mereka lihat.

“Orang yang di sana itu, yang terlihat seperti seorang maharaja,” kata Teplotaxl, “paling tidak umurnya sudah dua ribu tahun.”

Ruangan-ruangan yang mereka lalui semakin besar dan semakin megah, hingga akhirnya Teplotaxl dan Robert berdiri di depan semacam kuil.

“Kita tidak diperbolehkan di sini,” kata Teplotaxl. “Orang berpakaian putih yang akan kamu lihat nanti sangat penting, sampai-sampai setan kecil seperti aku bahkan tidak boleh mengatakan huu kepadanya. Dia dari Yunani, dan kamu tidak akan percaya apa saja yang ditemukannya! Kamu lihat ubin di lantai? Ubin berhias segilima dan bintang? Suatu hari dia memutuskan untuk menutup lantai dengan ubin-ubin itu. Ketika dia tidak bisa melakukannya tanpa menyisakan celah antarubin dia menciptakan bilangan-bilangan tidak masuk akal untuk menjelaskan mengapa itu terjadi. Ingat umbi akar? Akar dua, akar lima. Dan bilangan-bilangan menyebalkan itu. Kamu tentu masih ingat.”

“Jelas,” Robert mengiyakan.

“Asal tahu saja, orang itu bernama Pythagoras,” Setan Angka berbisik. “Kamu tahu apa lagi yang dia ciptakan? Kata matematika! Ayo kita pergi dari sini.”

[...]

“Ikuti aku,” kata Teplotaxl. “Tempat kita di ujung meja ini.”

Ketika mereka sudah duduk, mereka memandangi iring-iringan para Setan Angka ternama. Robert mengenali sang Burung Hantu dan Profesor Horor, juga Bonacci (dari kelinci yang bertengger di pundaknya), tetapi dia belum pernah melihat sebagian besar dari mereka. Ada orang-orang Mesir berbusana upacara resmi, dan orang-orang India dengan bintik jingga di dahi mereka, ada orang-orang Arab yang mengenakan jubah dan pakaian mirip rahib, ada orang-orang Afrika dan orang-orang Indian, ada orang-orang Turki dengan pedang bengkok mereka, ada orang-orang Amerika bercelana jins. Jumlah mereka ribuan.

Robert terheran-heran melihat betapa banyaknya Setan Angka, tak kalah herannya mendapati betapa sedikitnya wanita di antara mereka. Dia menghitung tak lebih dari enam atau tujuh, dan tampaknya tidak ada yang menganggap serius mereka.

“Mengapa tidak banyak wanita di sini?” tanya Robert. “Apa ada aturan yang menghalangi mereka?”

“Mereka biasanya mengalami kesulitan dengan angka. Kebijakan istana tegas: Matematika adalah pekerjaan laki-laki. Tapi, banyak perubahan akhir-akhir ini.”

Ketika para tamu sudah menempati kursi mereka dan saling menggumamkan salam, penabuh gong melakukan tugasnya dan ruangan diselimuti keheningan. Seorang pria Cina terhormat, mengenakan busana sutera halus, mula-mula naik ke tangga lalu ke singgasana.

“Siapa dia?” tanya Robert.

“Boleh jadi dia yang menemukan angka nol,” bisik Teplotaxl.

“Apa dia pemimpin tertinggi di sini?”

“Tertinggi kedua,” kata Teplotaxl. “Pemimpin tertinggi tinggal di ujung atas tangga ini, di awan.”

“Dia orang Cina juga?”

“Tidak ada yang tahu. Dialah panglima semua Setan Angka, orang yang menemukan satu, Walaupun setahu kami dia boleh jadi bukan pria. Mungkin saja dia wanita!”

Robert begitu terkesan hingga kehabisan kata-kata.

Sementara itu, para pelayan mulai menyajikan hidangan.

“Hei, mereka mulai dengan hidangan penutup!” kata Robert, ketika seorang pelayan menaruh sepotong kue pastel di piringnya.

“Sesuatu! Jangan keras-keras, Nak. Kami hanya amakan pastel, karena pastel bundar dan lingkaran adalah bentuk yang paling sempurna. Ini, cobalah.”

Robert belum pernah merasakan makanan apa pun selezat itu dalam hidupnya.

[...]

Ketika acara makan-makan usai, penabuh gong memukul gongnya lagi dan pria yang menemukan nol bangkit dari singgasananya. Ia lenyap menaiki tangga. Satu demi satu para Setan Angka lainnya menyusul bangkit—tentunya urut dari yang paling terkemuka—dan mereka beranjak ke ruangan mereka masing-masing. Tinggal Robert dan walinya yang masih ada di aula itu.

Tepat ketika mereka hendak berlalu, seorang pria terhormat berpakaian seragam menawan menghampiri mereka.

Dia pasti Sekretaris Jenderal, Robert membatin, orang yang menandatangani undangannya,

“Jadi, ini anak didikmu,” kata petinggi itu dengan suara berwibawa. “Bukankan dia agak terlalu muda?” Dia belum membuat satu keajaiban pun, bukan?”

“Belum,” jawab teman Robert. “Tapi, itu tidak akan lama. Dia tidak seperti anak sebayanya.”

“Bagaimana kemajuannya dengan bilangan prima?” Tahukah dia ada berapa banyak bilangan itu?”

“Tepat sebanyak bilangan biasa dan bilangan ganjil maupun bilangan melompat,” sahut Robert cepat.

“Bagus sekali. Dia lulus ujian. Siapa namanya?”

“Robert.”

“Berdiri, Robert. Dengan kewenangan yang diberikan kepadaku selaku Sekretaris Jenderal, dengan ini aku menerimamu dalam peringkat terendah siswa angka dan menganugerahkan bagimu, sebagai pengakuan, Bintang Pythagoras Kelas Lima.

Dengan kata-kata itu secara resmi dia melingkarkan kalung emas yang berat dengan bintang bersudut lima di leher Robert.

“Terima kasih,” kata Robert.

“Tidak perlu dijelaskan bahwa keistimewaan ini harus dirahasiakan,” Sekretaris Jenderal menambahkan dan, tanpa mengangguk, dia membalikkan badan lalu lenyap.

“Nah, selesai sudah,” kata teman sekaligus guru Robert. “Aku harus pergi, kamu sendiri sekarang.”

“Apa?” teriak Robert. “Kamu tidak bisa meninggalkan aku seperti ini.”

“Maaf,” kata Teplotaxl, “tetapi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

Robert tahu, Teplotaxl terharu. Robert pun demikian. Bahkan air matanya nyaris bobol, sesungguhnya. Dia tidak tahu seberapa besar Setan Angka itu sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Tetapi tampaknya keduanya tidak merasa perlu untuk mengungkapkan perasaan, sehingga yang dikatakan Teplotaxl hanya, “Sampai jumpa lagi, Robert,” dan yang dikatakan Robert cuma, “Dah.”
Dipilah dan dipetik dari "Setan Angka: Sebuah Petualangan Matematika, karya Hans Magnus Enzenberger, diterjemahkan oleh Noor Cholis, disunting oleh A. S. Laksana, diterbitkan oleh TransMedia, Jakarta, 2007.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)