Kosmologi Edgar Allan Poe
Eureka, Edgar Allan Poe |
Edgar Allan Poe dikenang
sebagai tokoh sastra paling penting awal abad kesembilan belas. Hidupnya
relatif pendek—dilahirkan tahun 1809, meninggal dunia tahun 1849—tetapi
kontribusinya sungguh menakjubkan. Dimasyhurkan sebagai pencipta novel
detektif; seorang empu thriller psikologis, dia juga penyair besar dan
penulis banyak cerita pendek. Selain itu dia menghasilkan kritik sastra yang
boleh jadi paling berpengaruh pada zamannya. Tetapi dia jelas bukan seorang
ilmuwan didikan sekolahan, dan inilah salah satu alasan mengapa Eureka
jadi begitu menggoda. Poe adalah sosok berwawasan luas dan, sudah barang tentu,
memiliki otak imajinatif lagi cemerlang.
“Esai tentang Semesta Material dan Spiritual” adalah
salah satu karya terakhirnya, dan esai ini bisa dipastikan tahun terbitnya,
sebab Poe menyebutkan bahwa asteroid kesembilan—Flora, salah satu benda langit
kecil yang mengitari Matahari di antara orbit Mars dan Yupiter—ditemukan tepat
setelah cetakan percobaannya jadi. Flora ditemukan pada 1848, dan Poe meninggal
dunia tahun berikutnya. Boleh jadi inilah satu-satunya sumbangan nyata Poe bagi
apa yang sekarang kita namakan kosmologi; sumbangan yang tidak banyak
diketahui, dan edisi baru ini sangat layak disambut.
Dalam pendahuluannya dia mengatakan hendak membahas
“semesta fisika, metafisika dan matetamatika ... material dan spiritual,” juga
menambahkan beberapa gagasannya sendiri. Bagian pertamanya sungguh ruwet, dan
Poe bisa-bisa dituduh sedang bermain-main kata, tetapi sewaktu menginjak
kosmologi dia menyodorkan konsep yang jelas-jelas mendahului zamannya. Dia
tidak takut berspekulasi, atau mengakui keterbatasan-keterbatasannya; pikiran
“menerima ide tentang ketidakterbatasan, melalui banyak kesulitan yang
dijumpai dalam ikhtiarnya menerima ide tentang keterbatasan, ruang.”
Pernyataan yang sekarang pun masih sama berlakunya seperti pada tahun 1848.
Baginya, semesta adalah suatu wilayah “yang pusatnya di mana-mana, keliling
lingkarannya tidak di mana-mana”—dan ini dikatakan, ingat baik-baik, tujuh
puluh tahun sebelum Einstein. Dia meyakini semacam ide tentang semesta yang
mengembang: “kesatuan absolut dianggap sebagai sebuah pusat ... semesta bintang
adalah hasil radiasi dari pusat itu.” Yang jauh lebih penting lagi, dia pun
membahas gaya tolak (repulsi). “Desain gaya tolak itu—keniscayaan
eksistensinya—sudah saya coba tunjukkan, sayangnya segala daya untuk
menyelidiki tabiatnya benar-benar diabaikan.” Einstein menyodorkan konstanta
kosmologisnya dan sungguhpun dia kemudian menelantarkannya, dengan mengatakan hal
itu sebagai blunder terbesar, konstanta itu kembali dikaji serius. Apakah Poe
sudah memperkirakannya satu setengah abad sebelumnya?
Poe menerima gagasan Sir William Herschel tentang bentuk
galaksi dan berspekulasi tentang sebuah benda langit sentral teramat besar;
tapi mengapa “kita tidak melihat matahari sentral raksasa itu? Paling
tidak massanya setara dengan seratus juta Matahari kita ... benda itu pastilah tidak bersinar, seperti
halnya planet kita.” Kini kita sudah
punya bukti kuat tentang keberadaan lubang hitam superbesar di pusat galaksi.
Poe tidak bisa memvisualkan entitas itu, dan tak banyak astronom pada zamannya
yang mendiskusikan konsep benda langit sentral raksasa itu. Anehnya dia juga
terdengar modern tatkala membahas kluster bintang: “Galaksi, saya tekankan,
hanyalah satu dari sekian kluster yang sedang saya bicarakan ini ... Kita tidak
punya alasan untuk menganggap bahwa Bimasakti sungguh lebih besar dari kluster
paling kecil ‘nebulae’ itu.” Meski begitu, hingga lima puluh tahun kemudian
ahli sejarah Agnes Clerke masih beranggapan bahwa ide tentang galaksi-galaksi
abadi adalah spekulasi yang setengah dilupakan, dan bahwa Bimasakti mencakupi
seluruh semesta.
Pandangan-pandangan Poe tidak sepenuhnya diakui benar
sebelum Edwin Hubble merampungkan karyanya di Observatorium Gunung Wilson pada
tahun 1923. Dan Poe meyakini bahwa kita melihat berbagai “kluster” bukan
seperti kenyataan yang kita lihat saat ini, melainkan dalam keadaan mereka
dahulu kala, sebab cahaya mereka membutuhkan “tempo tahunan” untuk sampai pada
kita. Ia memperkenalkan apa yang kini kita sebut Paradoks Olbers—mengapa malam
gelap—dan menjelaskan bahwa hal itu mungkin disebabkan cahaya dari benda-benda
yang sangat jauh tidak punya cukup waktu untuk mencapai kita. Juga ada sebuah
isyarat tentang relativitas dalam pendiriannya yang menyatakan bahwa sekalipun
kita memandang galaksi sebagai punya kita, klaim serupa bisa diajukan bagi
semua bintang mana pun di langit. Sama sekali tidak ada yang istimewa dengan
posisi kita.
Pada awal abad kesembilan belas teori tentang asal usul
tata surya yang kini diterima dikemukakan Laplace, dan Poe menerima hipotesis
nebular, meski dia membuat beberapa modifikasi mengesankannya sendiri. Tentu
saja dia jauh lebih dekat pada pemikiran masa kini ketimbang Sir James Jeans
pada tahun 1940-an, ketika dia menjagokan
ide bahwa planet-planet dibetot dari matahari oleh aksi gravitasional
sebuah bintang yang melintas. Poe juga yakin bahwa ada banyak sekali bintang
yang tidak bisa kita lihat, dan bintang-bintang itu maupun yang lainnya sangat
boleh jadi mempunyai sistem planet sama seperti yang kita punya.
Dalam membicarakan aspek spiritual maupun material, Poe
menyajikan titik signifikan lain tatkala dia tampaknya hendak melangkah ke arah
mengaitkan perkembangan “vitalitas” dengan vitalitas Bumi itu sendiri. Meski
harus diakui gagasan itu agak kabur, bukan tidak mungkin di dalamnya ada
isyarat menyangkut apa yang kini kita sebut prinsip antropis.
Apa pun, Eureka adalah karya memukau. Ia
menyorotkan seberkas sinar lagi pada sosok Poe; andai hidup lebih lama, atau
andai tidak kelewat sibuk dengan karya sastra murni, boleh jadi dia akan
memberikan sumbangan sangat berharga bagi pemahaman terhadap semesta.
—Sir
Patrick Moore, 2002
Diterjemahkan
dari Edgar Allan Poe, Eureka, Foreword by Sir Patrick Moore, Hesperus Classics,
2002.
Comments
Post a Comment