Keadilan Alam

keadilan alam, Matinya Tuhan Komunis, God That Fails
Ignazio Silone

   Hari Minggu, saat melewati sebuah lingkungan kecil kelahiran saya bersama ibu yang menggandeng tangan saya, saya menyaksikan sebuah pemandangan keji dan bodoh. Pemuka masyarakat setempat menyuruh anjing besarnya menyerang penjahit miskin yang baru saja keluar dari gereja. Wanita malang itu terjerambap ke tanah, dianiaya habis-habisan, dan pakaiannya tercabik-cabik menjadi pita. Kemarahan merebak di desa, tetapi semua membisu. Umur saya lima tahun saat itu.


Saya tak pernah bisa mengerti, bisa-bisanya wanita miskin itu punya gagasan tidak pantas menuntut si tuan tanah ke pengadilan. Satu-satunya hasil yang muncul adalah mengimbuhkan olok-olok terhadap keadilan pada kerugian yang diderita. Meskipun, harus saya tandaskan, semua orang jatuh iba kepadanya dan banyak yang diam-diam menolongnya, wanita malang itu tidak bisa menemukan satu pun saksi yang siap memberikan bukti di hadapan hakim, tidak pula seorang pengacara yang bersedia mengajukan tuntutan. Di lain pihak, pengacara (diduga orang Sayap Kiri) tuan tanah hadir tepat waktu, begitu pula sejumlah saksi sogokan yang menipu diri sendiri dengan mengemukakan versi dibuat-buat tentang apa yang terjadi, dan menuduh wanita itu memprovokasi anjing. Hakim—orang yang paling terpuji, paling jujur dalam kehidupan pribadi—membebaskan si tuan tanah dan menghukum wanita miskin itu membayar ongkos pengadilan.


“Itu sangat bertentangan dengan kemauanku,” ia minta maaf beberapa hari kemudian di rumah kami. “Sumpah, percayalah, aku sangat menyesalkan itu. Tetapi bahkan kalau aku menyaksikan kejadian memuakkan itu sebagai warga negara biasa dan menyalahkannya, sebagai hakim aku harus bertindak menurut bukti perkara, dan sayangnya bukti menguntungkan si anjing.” “Seorang hakim,” begitu katanya, dengan nada khotbah, “harus bisa menutupi perasaan egoistiknya, dan tidak memihak.”


“Benar, kan,” ibu saya berkomentar, “itu profesi yang amat buruk. Lebih baik kita menjaga diri di rumah, Nak.” Ibu melanjutkan dengan nasihat, “Ketika dewasa kelak jadilah apa saja yang kamu suka, tapi jangan hakim.”


Banyak episode ketidakadilan lain semacam itu memperkokoh ketidakpercayaan, sikap menahan diri, dan skeptisisme di benak para petani kami. Bagi mereka, Negara adalah penyakit tak terobati buah karya setan. Seorang Katolik yang baik, kalau ia ingin menyelamatkan jiwanya, harus menghindari, sejauh-jauhnya, semua kontak dengan Negara. Negara selalu berarti pengecohan, intrik dan privilese, dan tidak bisa berarti selain itu. Hukum maupun kekuatan tak bisa mengubahnya. Jika kadang-kadang hukuman kedapatan mengiringinya, itu pasti berkat dispensasi dari Tuhan.


Pada tahun 1915 sebuah gempa sangat hebat menghancurkan sebagian besar provinsi kami dan menewaskan, dalam tiga puluh detik, kira-kira lima puluh ribu orang. Saya heran mendapati betapa banyak rekan-rekan sedesa saya menganggap bencana mengerikan itu sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Penjelasan berbusa-busa para geolog, yang dimuat di koran, membangkitkan kegusaran mereka. Di distrik seperti yang kami diami, di mana begitu banyak ketidakadilan melenggang tak terjamah hukuman, orang menganggap gempa bumi yang kerap terjadi sebagai fenomena yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Malah dianggap mengherankan gempa bumi tidak datang lebih sering lagi. Gempa bumi mengubur orang kaya dan miskin, terpelajar dan buta huruf, penguasa dan warga tanpa pandang bulu di bawah rumah-rumah yang hancur berantakan. Sesungguhnya di sinilah letak penjelasan tentang daya tahan terkenal bangsa Italia saat ditimpa bencana alam. Gempa bumi mewujudkan apa yang dijanjikan hukum tetapi tidak terlaksana dalam praktiknya—kesetaraan semua orang.




*Dicuplik dan diolah dari Ignazio Silone dalam “The God that Failed”, Richard Crossman MP (Ed.) Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Noor Cholis dalam Matinya Tuhan Komunis, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta 2004.


Catatan: Ignazio Silone lahir tanggal 1 Mei 1900 di Pescina di Marsi, sebuah desa di Abruzzi Apennines. Ayahnya seorang pemilik tanah kecil-kecilan, ibunya seorang penenun. Selama Perang Dunia Pertama, pada usia tujuh belas tahun, ia ditunjuk menjadi sekretaris penggarap tanah untuk distrik Abruzzi, dan diadili karena mengorganisir demonstrasi dengan kekerasan menentang perang. Pada tahun 1921, ia ikut serta dalam pendirian Partai Komunis Italia; menjadi redaktur mingguan Avanguardia di Roma dan Lavoratore, sebuah harian di Trieste. Ia tetap berada di Italia bahkan setelah diberlakukannya undang-undang khusus bagi penentang Fasisme, dan larangan penerbitan surat kabar ilegal. Pada tahun 1930, setelah dipenjara dan ditendang dari berbagai negara Eropa, ia menetap di Swiss, dan tetap di sana hingga 1944, saat ia pulang ke Italia. Ia meninggalkan Partai Komunis pada tahun 1930. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1940, ia menerima jabatan sebagai direktur Pusat Luar Negeri Partai Sosialis Italia, di situ ia merumuskan platform politik “Front Ketiga”.


Bibliografi: Fontamara (novel), 1930; Roti dan Anggur (novel), 1937; Sekolah untuk Diktator (dialog),1938; Benih di bawah Salju (novel), 1940; Dan Dia Menyembunyikan Diri (lakon), 1944.





Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)