Sebuah Percakapan Dengan Milan Kundera
Wajahnya disapu temaram senja Paris yang menua, hanya
matanya yang berbinar, biru tua. Dia bertutur perlahan, dalam bahasa Prancis
yang sempurna, dengan aksen kental Slavia. “Hanya karya sastra yang mampu
menyingkap fragmen tak dikenal keberadaan manusia yang memiliki alasan
bertahan,” ujarnya dalam wawancara panjang lebar berikut ini. “Menjadi penulis
bukan untuk mengkhotbahkan kebenaran melainkan menemukan kebenaran.”
Dalam dekade 1980-an, Milan Kundera menyumbangkan bagi
tanah kelahirannya, Chekoslovakia, sesuatu yang diberikan oleh Gabriel Garcia
Marquez pada Amerika Latin di tahun 1960-an dan Aleksander Solzhenitsyn untuk
Rusia pada tahun 1970-an. Dia menghadirkan Eropa Timur kepada publik pembaca
Barat, dan melakukannya dengan wawasan universal yang penuh pesona. Seruannya
pada kebenaran dan kemerdekaan ruang dalam—inner
freedom (yang tanpa itu kebenaran tidak bisa ditemukan), kesadarannya bahwa
dalam mencari kebenaran kita harus siap berurusan dengan kematian—tema-tema
inilah yang mendatangkan pujian kristis bagi Kundera, termasuk Jerusalem Prize for Literature on the
Freedom of Man in Society yang pernah dia terima pada tahun 1985.
Novel-novel Kundera seperti The Book of Laughter and Forgetting (1980) dan The Unbearable Lightness of Being (1984), berkutat dengan kematian
budaya zaman kita. Tersirat dalam perasaan terancamnya adalah bahaya perang
nuklir. Kundera menguliti bahaya itu dengan cara alegoris, dengan cita rasa
fantastis yang tak tertahankan.
Seperti rekan setanah airnya Milos Forman, sutradara
peraih Academy Award yang harus hidup
di pengasingan dan mengharum namanya di Barat, Kundera—menetap di Prancis sejak
1975—juga cukup produktif dan berhasil menepis anggapan umum bahwa penulis yang
tercerabut dari tanah kelahirannya niscaya kehabisan inspirasi. Mambaca buku
demi buku yang diolah dengan piawainya, pembaca mendapati gairah, keriangan,
dan kadar erotisisme yang pekat. Kundera berhasil menyulap Chekoslovakia di
masa dia muda menjadi negeri yang betul-betul hidup, mistis, dan erotis.
Corak pencapaiannya barangkali bisa sedikit menjelaskan
mengapa Kundera begitu keras melindungi privasinya. Tidak satu pun pencipta
mitos dan ahli mistik yang suka diungkap. Dalam suatu wawancara, novelis Philip
Roth mengutip kata-kata Kundera yang diungkapkan kepadanya:
“Ketika kanak-kanak dan masih bercelana pendek, saya
berangan-angan tentang salep ajaib yang bisa membuat saya menghilang. Kemudian
saya beranjak dewasa, menulis dan menginginkan kesuksesan.
Sekarang saya sudah sukses dan berharap mempunyai salep
yang bisa membuat saya tak terlihat.”
Mudah ditebak, terdengar keengganan dalam suara Kundera
ketika saya meneleponnya di Paris dari San Francisco, meminta kesediaannya
diwawancarai. Pertolongan datang dari arah tak terduga—kenangan tentang kakek
saya, penulis drama Rusia pada penghujung abad kesembilan belas dan permulaan
abad dua puluh, Leonid Andreyev. Teman-teman mengingatkan saya bahwa penyerbuan
Soviet ke negerinya membuat Kundera tidak mempercayai orang Rusia—semua orang
Rusia. Maka saya merasa harus menjelaskan asal usul Rusia saya.
Kundera menjawab bahwa, di masa mudanya, dia membaca dan
mengagumi karya kakek saya. Es mencair, tanggal ditetapkan. Tetapi dalam
sepucuk surat yang saya terima tak lama sesudah itu dia menulis, “Saya harus
mengingatkan Anda tentang kekurangan saya. Saya tidak bisa berbicara tentang
diri saya dan istri saya atau keadaan jiwa saya. Sedemikian hati-hati saya
menjaganya hingga menyentuh tingkat patologis, dan tak ada yang bisa saya
lakukan mengenai itu. Jika ini bisa Anda terima, saya mau bicara soal sastra.
Milan Kundera dan istrinya, Vera, berdiam di Jalan
Montparnasse yang tenteram. Apartemen mereka adalah sebuah loteng yang ditata
ulang, dengan pemandangan atap abu-abu pemukiman warga Paris. Yang mengguratkan
karakter pada ruang tamu mereka adalah lukisan-lukisan surealis modern di
dinding. Sebagian karya seniman Cheko, selebihnya karya Kundera sendiri:
kepala-kepala kelewat besar aneka warna dan tangan berjemari panjang-panjang,
persis tangan Kundera.
Vera Kundera adalah wanita cantik berambut cokelat,
rambutnya dipotong pendek, langsing dalam balutan blue jeans. Dia menuang anggur dan dengan luwesnya mengupas buah
kiwi untuk kami. Selama berbincang-bincang, saya dikejutkan oleh apresiasi tuan
rumah terhadap sisi kehidupan serba pesta Paris—mudahnya berbelanja di bon marche sebelah, buah eksotis di toko
pojok, dan pameran seni sepanjang tahun. Tetapi selama wawancara, Vera sibuk di
ruang sebelah, mengetik dan menjawab telepon interlokal. Kemasyhuran
mengejar-ngejar Kundera, dan tugas Vera menangani permintaan yang datang dari
sutradara-sutradara televisi, teater dan film Eropa.
Tinggi kurus, mengenakan sweater biru, Kundera duduk membungkuk di kursi. Tak pelak lagi
inilah seorang pria yang diliputi ketenteraman—bien dans sa peau, untuk menggunakan istilah Prancis yang telah
penjang lebar dia jelajahi dalam The
Unbearable Lightness of Being. Tergugah oleh pertanyaan-pertanyaannya, saya
ceritakan sedikit tentang masa kecil emigran saya di Paris. Pesona Praha
membawa saya kembali ke masa lalu, saat-saat penyair emigram Rusia Marina
Tsvetayeva biasa bertandang ke rumah kami di malam hari dan melagukan
syair-syair dengan suara agak paraunya. Satu puisi yang tak pernah saya lupakan
mengisahkan salah satu patung di atas jembatan sungai Vltava, seorang ksatria
yang tiada putus mengawasi Praha:
Kstaria Muram, kaulah pengawal
Dari sungai yang ricik
Dari tahun-tahun yang berlalu,
Mengawasi cincin dan perjanjian yang dihempas ke
Tanggul batu
Sudah banyak yang diingkari
Dalam
Empat ratus tahun belakangan ini
Pada tahun 1936 atau 1937, juga setelah itu, Praha
kelewat rapat dengan Jerman Nazi—pun dengan Rusia Komunis.
Pengkhianatan-pengkhianatan yang terjadi dan janji-janji yang diingkari
mustahil dibayangkan jumlahnya.
Kundera adalah anak Musim Semi Praha 1968, janji
Sosialisme dengan wajah kemanusiaan yang kemudian remuk dilindas oleh tank-tank
Rusia. Novel pertamanya, The Joke,
terbit di Praha 1965, adalah salah satu selingan peristiwa-peristiwa besar itu.
Ditulis dengan ketat, dibangun dengan rinci, The Joke adalah dakwaan terhadap
absurditas kelam kehidupan di bawah Komunisme—juga kehidupan di mana
saja—manakala pengkhianatan dan dendam dibiarkan menggerogoti jiwa. Naskah The Joke melayang ke kantor penerbitan
Gallimard di Paris, dan dengan amat cepatnya mencapai sanjungan internasional.
Setelah serbuan Soviet ke Chekoslovakia, Kundera kehilangan jabatan selaku
profesor di Institut Pengembangan Studi Sinematografi Praha, dan buku-bukunya
diharamkan. Pelan tapi pasti, kehidupan dibuat tak tertanggungkan baginya, dan
dia diusir dari negeri tumpah darahnya sendiri.
Buku-bukunya yang meledak di kalangan pembaca Barat pada
tahun-tahun berikutnya meninggalkan jejak perjalanan intelektual dan emosional.
Life is Elsewhere, diterbitkan di
Amerika Serikat tahun 1974, adalah eksplorasi ironis dan muram tentang
konsekuensi akhir sebuah gelora yang revolusioner dan puitik. Laughable Loves (1974) dan The Farewell Party (1976) mengagungkan
cinta erotis dan mencampuradukkan keriangan dengan kasih sayang. Dalam The Farewell Party juga muncul satu
catatan yang mencengangkan. Ketika salah satu karakter utamanya, Jakob, memilih
kabur dari negerinya yang diserbu, dia merambah wilayah baru yang belum
terjamah, negeri pengasingan. Tentu saja citraan inilah yang terpampang di
hadapan Kundera tatkala dia sendiri angkat kaki dari Chekoslovakia pada tahun
1975, dan hal inilah yang pertama kali saya tanyakan dalam perbincangan kami.
Selama hampir sepuluh tahun, sejak usia 46 tahun, Anda
menetap di Prancis. Anda merasa sebagai seorang emigran, orang Prancis, orang
Cheko, atau cuma seorang Eropa yang tidak jelas kebangsaannya?
Ketika para intelektual Jerman kabur dari negeri mereka
dan hijrah ke Amerika pada era 1930-an, bisa dipastikan mereka ingin pulang ke
Jerman suatu hari kelak. Mereka menganggap kepergian ke luar negeri itu hanya
untuk sementara. Saya, sebaliknya, tak punya secuil harapan pun untuk pulang.
Menetapnya saya di Prancis adalah final, oleh karenanya saya bukan emigran. Prancis
adalah satu-satunya tanah air nyata saya sekarang.
Saya juga tidak merasa tercerabut. Selama ribuan tahun
Chekoslovakia adalah bagian dari Barat. Kini, ia bagian dari imperium Timur.
Saya akan merasa lebih tercerabut bila tetap tinggal di Praha ketimbang di
Paris.
Tapi Anda masih menulis dalam bahasa Cheko?
Saya menulis esai dalam bahasa Prancis. Tetapi menulis
novel dalam bahasa Cheko, karena pengalaman hidup dan imajinasi saya tertambat
di Bohemia, di Praha.
Adalah Milos Forman, jauh sebelum Anda, yang
memperkenalkan Chekoslovakia pada khalayak luas di Barat, melalui film-film
semacam “The Firemen’s Bell”.
Tepat sekali, dialah penjelmaan dari apa yang saya
namakan semangat Praha—dia dan para pembuat film Cheko lainnya, Ivan Passer dan
Jan Nemec. Ketika Milos datang ke Paris, semua orang terpana dan terpesona.
Bagaimana mungkin seorang pembuat film tersohor bisa begitu jauh dari sifat
tinggi hati? Di Paris, di mana gadis pramuniaga di Galeries Layayette saja
tidak tahu bagaimana harus bertingkah laku wajar, kebersahajaan Forman
tiba-tiba tampak begitu provokatif.
Bagaimana Anda mendefinisikan semangat Praha?
The
Castle-nya Kafka dan The Good Soldier Schweik-nya Jaroslav
Hasek dipenuhi dengan semangat demikian. Suatu kesan luar biasa tentang hal
nyata. Sudut pandang orang kebanyakan. Sejarah diintip dari bawah. Sebuah
kesederhanaan yang memukau. Seorang genius tentang hal-hal absurd. Humor dengan
pesimisme tanpa kesudahan.
Misalnya seorang Cheko memohon visa untuk pergi ke luar
negeri. Petugas menanyainya, “Mau pergi ke mana kamu?” “Ke mana saja,” jawab
orang itu. Dia diberi sebuah globe. “Silakan pilih.”
Orang itu memandangi globe, memutarnya perlahan-lahan dan
berkata, “Apakah Anda tidak punya globe yang lain?”
Masih terkait dengan akar Anda di Praha, kecintaan pada
sastra lain apa yang membentuk Anda?
Pertama, novelis Prancis Rabelais dan Diderot. Bagi saya
tonggak sejati, rajanya Sastra Prancis adalah Rabelais. Dan Jacques le Fataliste karya Diderot
mengusung semangat Rabelais ke abad ke-18. Jangan terkecoh oleh kenyataan bahwa
Diderot adalah seorang filsuf. Novel ini mustahil direduksi menjadi hanya
sebuah wacana filosofis. Inilah sebuah drama tentang ironi. Novel paling bebas
yang pernah ditulis. Belum lama berselang saya menggarap adaptasi teatrikalnya.
Adaptasi ini dipentaskan oleh Susan Sontag di Cambridge, Massachusetts, dengan
judul Jacques and His Master [Drama
tersebut dipergelarkan oleh American
Repertory Theater bulan Januari 1985, empat bulan sebelum wawancara ini].
Akar lainnya? Novel Eropa Tengah zaman kita ini. Kafka, Robert Musil, Herman
Broch, Witold Gombrovicz. Novelis-novelis ini luar biasa curiganya pada apa
yang disebut Andre Malraux “ilusi liris”. Curiga pada ilusi dalam kaitannya
dengan kemajuan, curiga pada seni murahan—kitsch—yang
memuja harapan. Saya ikut merasakan kesedihan mereka terhadap senja kala Barat.
Bukan kesedihan sentimental tentu saja. Kesedihan ironis. Akar saya yang
ketiga: puisi modern Cheko. Bagi saya, itulah sekolah imajinasi yang luar
biasa.
Apakah Jaroslav Seifert termasuk penyair modern yang
mengilhami Anda? Apa memang pantas dia menerima Hadiah Nobel yang
dimenangkannya tahun 1984?
Itu jelas. Konon dia dinominasikan pertama kali untuk
menerima Hadiah Nobel pada tahun 1968, tetapi para juri waswas; dikhawatirkan hadiah
yang diberikan kepadanya akan ditafsirkan sebagai tindakan simpati bagi sebuah
negeri yang baru saja diduduki.
Hadiah itu datang kelewat terlambat. Sangat terlambat
bagi rakyat Cheko, yang sudah dipermalukan. Sangat terlambat bagi puisi Cheko,
yang zaman emasnya sudah berakhir lama sekali. Sangat terlambat bagi Seifert,
yang umurnya sudah 81 tahun. Dikabarkan bahwa ketika Duta Besar Swedia berdiri
di sebelah ranjangnya di rumah sakit untuk memberitahukan soal honor, Seifert
menatapnya dalam-dalam. Akhirnya dia berkata dengan sedih, “Apa yang akan saya
lakukan dengan semua uang itu?”
Bagaimana tentang sastra Rusia? Masihkan menyentuh Anda,
atau peristiwa politik 1968 membuatnya memuakkan Anda?
Saya sangat menyukai Tolstoy, dia jauh lebih modern
dibanding Dostoyevsky. Boleh jadi Tolstoy adalah orang pertama yang memahami
peran irasionalitas dalam perilaku manusia. Peran yang dimainkan
ketololan—tetapi sebagian terbesar oleh tindakan manusia yang tak terkatakan
jumlahnya yang dipandu oleh suatu bawah sadar yang tak terkontrol maupun yang
tidak bisa dikontrol.
Baca lagi saja kalimat-kalimat yang mendahului kematian
Anna Karenina. Mengapa dia bunuh diri tanpa benar-benar menghendakinya?
Bagaimana keputusannya timbul? Untuk menangkap alasan-alasan itu, yang irasional
dan sukar dipahami, Tolstoy memotret arus kesadaran Anna. Anna adalah wahana
pengangkut; citra tentang jalan bercampur di kepalanya dengan pikirannya yang
tidak logis, terfragmentasi. Pencipta mula-mula monolog interior bukan Joyce
melainkan Tolstoy dalam beberapa halaman Anna
Karenina. Ini yang tak banyak diketahui orang. Saya pernah membaca
terjemahan karya itu dalam bahasa Prancis. Saya sungguh terkesima. Apa yang
dalam teks aslinya tidak logis dan terbelah-belah menjadi logis dan rasional
dalam terjemahan Prancisnya. Seolah-olah bab terakhir Ulysses-nya Joyce ditulis ulang—monolog panjang Molly Bloom
diimbuhi tanda baca yang logis dan konvensional.
Celakanya, banyak penerjemah mengkhianati kita. Mereka
tak cukup bernyali menerjemahkan keanehan dalam teks-teks—ketidaklaziman,
orisinalitas. Mereka waswas jika para
kritikus menuduh mereka menerjemahkan dengan buruk. Demi menyelamatkan diri,
mereka tega meremehkan kita. Sukar Anda bayangkan berapa banyak waktu dan
tenaga saya habiskan untuk mengoreksi terjemahan buku-buku saya.
Anda bicara dengan penuh kasih sayang tentang ayah Anda
dalam “The Book of Laughter and Forgetting”.
Ayah saya seorang pianis. Dia menaruh minat besar pada
musik modern—pada Stravinsky, Bartok, Schoenberg, Janacek. Dia berjuang
habis-habisan demi pengakuan Leos Janacek selaku seorang seniman. Janacek
adalah seorang komposer modern yang mempesona, tak tertandingi, mustahil
diklasifikasikan. Operanya, From the
House of the Dead, tentang kamp kerja paksa, yang didasarkan pada novel
Dostoyevsky, adalah salah satu karya besar dan profetik di abad kita, sejajar
dengan The Trial punya Kafka atau Guernica-nya Picasso.
Musik sukar ini dipergelarkan ayah di gedung konser yang
nyaris melompong. Sebagai seorang bocah, saya membenci publik yang menolak
mendengar Stravinsky dan memuja Tchaikovsky atau Mozart. Saya memelihara gairah
bagi seni musik modern, inilah bentuk bakti saya pada ayah. Tetapi saya tidak
mau meneruskan profesinya sebagai musisi. Saya suka musik tetapi tidak musisi.
Saya ingin muntah jika harus menghabiskan hidup di tengah-tengah para musisi.
Ketika saya dan istri saya meninggalkan Chekoslovakia,
kami hanya membawa beberapa buku. Di antaranya adalah The Centaur karya John Updike, buku yang menyentuh sesuatu dalam
diri saya—sebentuk cinta yang memilukan bagi ayah yang dipermalukan,
dikalahkan.
Anak-anak menduduki tempat yang ganjil dalam buku-buku
Anda. Dalam “The Unbearable Lightness of Being”, anak-anak menyiksa seekor gagak, dan Tereza mendadak berkata pada
Tomas, “Aku bersyukur karena kamu tidak menginginkan anak.” Di lain pihak,
dalam buku-buku Anda bisa kita temukan kasih sayang terhadap binatang. Dalam
salah satu buku, seekor babi menjadi karakter yang disukai. Bukankah pandangan
terhadap binatang yang seperti itu agak berlebihan (kitschy)?
Saya rasa tidak begitu. Kitsch adalah kehendak untuk menyenang-nyenangkan hati orang apa
pun bayarannya. Berbicara baik tentang binatang dan melihat skeptis terhadap
anak-anak tidak begitu menyenangkan hati publik. Malah agak menjengkelkan.
Bukan berarti saya anti-anak-anak. Tetapi pandangan yang melebih-lebihkan
terhadap anak-anak membuat saya jemu.
Di sini, di Prancis, sebelum pemilu semua partai politik
memasang poster tentang anak-anak. Di mana-mana terdengar slogan seragam
tentang sebuah masa depan yang lebih baik, dan di sana-sini dipajang foto
anak-anak yang tersenyum, berlarian, dan bermain-main.
Sayangnya, masa depan kemanusiaan kita bukanlaj masa
kanak-kanak melainkan usia dewasa. Humanisme sejati suatu masyarakat terkuak
melalui sikapnya terhadap usia dewasa. Tetapi usia dewasa, satu-satunya masa
depan yang kita hadapi, tidak akan pernah ditunjuk-tunjukkan dalam poster
propaganda yang mana pun. Dari kelompok kiri atau kanan.
Saya menangkap kesan bahwa pertikaian antara kanan dan
kiri tidak terlalu mengguah Anda.
Bahaya yang mengintip kita adalah imperium totalitarian.
Khomeini, Mao, Stalin—mereka itu kiri atau kanan? Totalitarianisme itu tidak
kiri tidak kanan, dan dalam imperiumnya sendiri keduanya akan musnah.
Saya tidak pernah menjadi orang beriman, tetapi setelah
melihat orang-orang Katolik Cheko dikejar-kejar semasa teror rezim Stalin, saya
merasakan solidaritas mendalam terhadap mereka. Apa yang memisahkan kami,
keyakinan pada Tuhan, hanya menempati urutan kedua ketimbang apa yang
menyatukan kami. Di Praha, mereka menggantung kaum sosialis dan pastor. Maka,
lahirlah persaudaraan tiang gantungan.
Inilah sebabnya pertarungan konyol antara kiri dan kanan
tampak kuno dan picik bagi saya. Saya tidak suka berperan serta dalam kehidupan
politik, kendati politik memang memukau saya sebagai sebuah pertunjukan. Sebuah
pertunjukan tragis dan mematikan di imperium Timur; tontonan garing murni
intelektual tapi memikat di Barat.
Kadang-kadang dikatakan bahwa, secara paradoksal,
penindasan melahirkan banyak keseriusan dan vitalitas bagi seni dan sastra.
Janganlah kita jadi romantis. Jika berlanjut, penindasan
bisa habis memorak-porandakan sebuah kebudayaan. Kebudayaan membutuhkan sebuah
kehidupan publik, pertukaran ide secara bebas; ia memerlukan publikasi,
pameran, perdebatan, dan perbatasan yang terbuka. Meski memang betul, untuk
suatu waktu, kebudayaan mampu bertahan dalam keadaan yang sangat sulit.
Setelah invasi Rusia pada tahun 1968, hampir semua sastra
Cheko diberangus, dan cuma diedarkan dalam bentuk naskah. Kehidupan kultural
publik yang terbuka dihancurkan. Tetapi sastra Cheko 1970-an sungguh luar biasa.
Prosa Hrabal, Grusa, Skvrorecky. Pada saat itulah, justru di masa paling
berbahaya bagi eksistensinya, sastra Cheko menangguk reputasi internasional.
Tetapi berapa lama ia bisa bertahan di bawah tanah? Tak seorang pun tahu. Eropa
tidak pernah mengalami situasi semacam itu sebelumnya.
Tatkala kemalangan menimpa suatu bangsa, tak bolek kita
lupakan dimensi waktunya. Di negara diktatorial dan fasis, setiap orang mafhum
bahwa rezim itu akan ambruk suatu hari nanti. Semua orang tahu di mana lorong
itu berakhir. Di imperium Timur, lorong itu tanpa ujung. Tanpa ujung,
setidak-tidaknya dari sudut pandang kehidupan seorang manusia. Itulah sebabnya
saya tidak suka jika ada yang membandingkan Polandia dengan, taruhlah, Chile.
Betul, siksaan dan penderitaannya memang sama. Tetapi panjang lorong-lorongnya
jauh berbeda. Dan itu mengubah segalanya.
Penindasan politik menyimpan bahaya lain, yang—bagi novel
terutama—jauh lebih buruk daripada sensor dan polisi. Yang saya maksudkan
adalah moralisme. Penindasan menciptakan batas yang amat sangat jelas sekali
antara baik dan buruk, dan penulis akan mudah menyerah pada godaan enaknya
berkhotbah. Dari sudut pandang kemanusiaan boleh jadi hal itu sangat menarik,
tetapi bagi sastra itulah lonceng kematian.
Herman Broch, novelis Austria yang paling saya kagumi,
pernah mengatakan, “Satu-satunya moralitas bagi penulis adalah pengetahuan.”
Hanya sebuah karya sastra yang mampu menguak fragmen tak dikenal keberadaan
manusia yang punya alasan untuk bertahan. Menjadi penulis bukan untuk
mengkhotbahkan kebenaran melainkan menemukan kebenaran.
Tapi apa tidak mungkin masyarakat yang mengalami
penindasan menawarkan lebih banyak kesempatan bagi penulis untuk menemukan
“sebuah fragmen tak dikenal dari eksistensi” ketimbang masyarakat yang
menjalani hidup dengan tenang?
Bisa jadi. Jika Anda membayangkan Eropa Tengah, sungguh
sebuah laboratorium sejarah yang luar biasa cemerlangnya! Dalam kurun 60 tahun
kami mengalami kejatuhan sebuah imperium, kelahiran kembali negara-negara
kecil, demokrasi, fasisme, pendudukan Jerman berikut pembantaiannya, pendudukan
Rusia berikut deportasinya, harapan terhadap Sosialisme, teror kaum Stalinis,
emigrasi ... Tak habis-habisnya keheranan saya menyaksikan bagaimana
orang-orang di sekitar saya membawa diri dalam situasi demikian.
Manusia menjadi sesuatu yang enigmatik, tak mudah
dikenal. Ia berdiri sebagai sebuah tanda. Dan dari ketakjuban itulah gairah
untuk menulis novel lahir. Skeptisisme saya terhadap nilai-nilai tertentu yang
nyaris tidak bisa digugat sama sekali berakar pada pengalaman Eropa Tengah
saya.
Sebagai contoh, kemudaan biasanya dirujuk bukan sebagai
suatu fase melainkan sebagai sebuah nilai dalam dirinya sendiri. Ketika
menyebut kata itu, para politisi selalu memasang seringai dungu di wajah
mereka. Tetapi saya, semasa masih muda, hidup adalah kurun waktu teror. Dan
yang mendukung teror itu adalah kaum muda, dalam jumlah besar, tanpa pengalaman,
tidak matang, dengan moralitas “ya atau tidak sama sekali”, berikut cita rasa
liris mereka. Yang paling skeptis dari sekian novel saya adalah Life is Elsewhere. Dengan kaum muda dan
puisi sebagai subjeknya. Petualangan puisi sepanjang teror kaum Stalinis.
Senyuman puisi. Senyum bersimbah darah keluguan.
Puisi adalah bentuk lain dari nilai-nilai tak
terbantahkan dalam masyarakat kami. Saya tercekat ketika, pada tahun 1950,
penyair besar Prancis Komunis Paul Eluard menyetujui penggantungan temannya,
penulis Praha, Zavis Kalandra. Saat Brezhnev memberangkatkan tank-tank guna
membantai orang-orang Afghanistan, itu sungguh mengerikan, namun itu,
katakanlah, normal—sudah bisa ditebak. Manakala seorang penyair besar memujakan
sebuah eksekusi, itulah hantaman yang meluluhlantakkan seluruh citra kita
tentang dunia.
Apakah kehidupan yang kaya pengalaman itu membuat
novel-novel Anda jadi autobiografis?
Tak satu pun karakter dalam novel-novel saya adalah
potret diri, juga tak satu pun yang memotret seseorang. Saya tidak suka
autobiografi terselubung. Saya muak pada kesembronoan penulis.
Bagi saya kesembronoan adalah dosa besar. Siapa pun yang
mengungkap kehidupan pribadi seseorang layak dicambuki. Kita hidup di zaman
ketika kehidupan pribadi diremukkan. Polisi menghancurkannya di negara-negara
Komunis, para wartawan siap menerkamnya di negara-negara demokratis. Sedikit
demi sedikit orang kehilangan selera pada kehidupan pribadi dan cita rasa
mereka terhadap kehidupan itu.
Kehidupan di mana orang tak bisa menyembunyikan diri dari
pandangan orang lain—itulah neraka. Mereka yang hidup di negara totalitarian
paham betul hal itu, tapi sistem tersebut cuma mewujudkan, seperti sebuah kaca
pembesar, kecenderungan semua masyarakat modern. Penghancuran alam; merosotnya
pemikiran dan seni; birokratisasi, depersonalisasi; miskinnya penghargaan
terhadap kehidupan pribadi. Tanpa kerahasiaan, tidak ada apa pun yang
mungkin—tidak cinta, tidak pula persahabatan.
Malam kiat larut ketika wawancara usai, dan Kundera
menemani saya kembali ke hotel, yang letaknya tak terlalu jauh. Kami berjalan
kaki di lembapnya malam kota Paris. Satu dua hari kemudian, keluarga Kundera
mengundang saya makan siang, hidangannya telur puyuh dengan saus juniper berry, dimasak ala Cheko.
Kundera sungguh tak terduga dan periang orangnya. Dia menceritakan bahwa makin
jarang saja dia membaca karena penerbit-penerbit Prancis mengeluarkan buku yang
semakin hari semakin kecil saja. Dia enggan mempertimbangkan kemungkinan bahwa
itu bukanlah “plot” Prancis dan bahwa dia membutuhkan kacamata baru
sesungguhnya.
Dia memperlihatkan keengganan penulis sejati ketika
ditanya fiksi apa yang sedang dia garap. Tetapi dia menjelaskan sepenuh hati
tentang kolaborasi mutakhirnya menggarap “lelucon metafisis” bersama sutradara film
Prancis Alaian Resnais. Kundera sedang menggarap naskahnya, dan dia sedang
menimbang-nimbang judulnya. Mungkin Three
Husbands and Two Lovers ataukah Two
Husbands and Three Lovers? Kerinduan akan kerahasiaan jadi rusak karena rasa
usil.
Itulah Milan Kundera. Pria yang dikenang penuh bahagia
oleh teman-temannya angkatan 1968, si periang Kundera dalam Laughavle Loves, buku yang paling dia
sukai dari seluruh karyanya, karena mengingatkan pada periode hidupnya yang paling
ceria.
-
Dimuat di New York Times, Minggu, 19 Mei 1985. Wawancara dilakukan
oleh Olga Carlisle, pengarang Voice in the Snow, yang
sering menulis tentang perkembangan budaya Eropa Timur. Ketika percakapan ini dibuat,
Chekoslovakia masih sebuah negara komunis. Negeri itu mencampakkan sistem
komunisme dan memproklamasikan diri menjadi negara republik pada tahun 1989, dengan
Vaclav Havel sebagai presiden pertamanya. Havel ternyata presiden pertama dan
terakhir Republik Chekoslovakia. Primordialisme yang kuat di sana akhirnya
akhirnya memecah negeri tersebut menjadi dua negara: Cheko dan Slovakia.
*
Wawancara di atas (diterjemahkan oleh Noor Cholis dan
disunting oleh AS Laksana) disertakan dalam novel Kekekalan (L’Immortalité)
yang diterjemahkan melalui terjemahan bahasa Prancis oleh Eva Bloch dan diterbitkan
akubaca, Jakarta, November 2000. Setelah
mengalami banyak sekali revisi, Kekekalan
(L’Immortalité) diterbitkan kembali oleh Penerbit Kakatua pada tahun 2017 ini.
Comments
Post a Comment