Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera



Novel bagus terlaris
Kekalan, Milan Kundera


Kalau Agnes bukan orang Jerman, itu karena Hitler kalah perang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tidak ada apa-apa yang tersisa bagi pihak yang bertekuk lutut. Jangankan kejayaan, derita kekalahan yang anggun pun tidak ada ceritanya lagi. Sang penakluk tidak puas hanya dengan menaklukkan saja, ia merasa perlu menghakimi pihak yang ditaklukkan. Dan itu berlaku bagi seluruh warga negara taklukan. Itulah sebabnya mengapa berbicara bahasa Jerman dan menjadi orang Jerman tidak begitu mudah pada masa-masa setelah perang.
Kakek Agnes dari pihak ibu adalah pemilik tanah pertanian di Swiss berbahasa Prancis yang berbatasan dengan wilayah berbahasa Jerman. Tentu saja mereka fasih berbicara dalam kedua bahasa itu, walaupun mereka terikat secara administratif dengan Swiss yang berbahasa Prancis. Kakek dari garis ayah adalah orang Jerman yang menetap di Hongaria. Ayahnya, pernah menjadi mahasiswa di Paris, menguasai dengan baik bahasa Prancis, Meski demikian, setelah menikah, bahasa Jermanlah yang menjadi bahasa sehari-hari pasangan tersebut. Tetapi setelah perang, mengingat bahasa resmi orang tuanya, Agnes dimasukkan ke sekolah berbahasa Prancis. Ayahnya, sebagai orang Jerman, harus cukup puas dengan satu-satunya kesenangan: membacakan puisi Goethe bagi putri sulungnya itu.
Inilah puisi Goethe yang paling tersohor sepanjang masa, yang tiap anak Jerman pasti hafal luar kepala:
Di puncak semua gunung,
Adalah kedamaian,
Di semua pucuk pohon
Kau dengar
Hela napas tertahan;
Burung-burung sunyi di hutan.
Bersabarlah, segera
Kau ‘kan terlelap juga.
Pokok pikiran puisi itu sederhana sekali: di hutan semua terlelap, kamu pun akan terlelap. Roh puisi itu memang tidak menyilaukan kita dengan ide yang luar biasa, tetapi menimbulkan kesan tidak terlupakan dan kenangan yang luar biasa.
Dalam terjemahan harfiah puisi ini kehilangan segalanya. Keindahannya hanya bisa dinikmati kalau Anda bisa membacanya dalam bahasa Jerman:
Über allen Gibfeln
Ist Ruh
In allen Wipfeln
Spürest Du
Kaum einen Hauch;
Die Vögelein schweigen im Walde.
Wartu nur! Balde
Ruhest du auch.
Masing-masing sajak mempunyai suku kata berbeda, trokea, iambus, rima berselang-seling, sajak keenam mencolok lebih panjang dari yang lain. Meski puisi itu terdiri atas dua kuatren, gramatika kalimat pertama berakhir simetris pada sajak kelima, menciptakan melodi yang tidak terdapat di mana pun selain dalam puisi unik itu, juga teramat indah dibandingkan dengan seumumnya puisi. Ayah Agnes mempelajari puisi itu pada masa kanak-kanaknya di Hongaria, ketika masih di sekolah dasar berbahasa Jerman, dan Agnes juga berusia sama saat ayahnya membacakan puisi itu untuk pertama kali. Mereka mengucapkannya saat berjalan-jalan, menekankan berlebihan pada setiap tekanan suku kata dan begitu pula pada ritme puisi itu. Kompleksnya unsur bukanlah hal yang gampang, mereka hanya berhasil dengan bagus pada dua sajak terakhir: war – te nur – bal – de – ru – hest – du – auch. Kata paling akhir, mereka teriakkan begitu kuat hingga terdengar dari jarak satu kilometer.
Saat ayahnya membacakan puisi itu lagi untuk terakhir kalinya, dua atau tiga hari menjelang meninggalnya, Agnes mulanya menyangka bahwa ayahnya tengah mengenang masa kecil dalam bahasa ibunya. Dia berpikir, karena ayahnya menatapnya lurus-lurus, begitu akrab, dengan mudah dia menyimpulkan bahwa ayahnya ingin mengenang masa-masa penuh kebahagiaan saat berjalan-jalan dahulu. Tetapi akhirnya Agnes menyadari bahwa puisi itu berbicara tentang kematian. Ayahnya ingin mengatakan bahwa dia akan segera meninggal dan dia tahu itu. Agnes tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa puisi yang polos, cocok untuk anak sekolah dasar ini, ternyata memberitahukan semacam isyarat.
Ayahnya hanya bisa berbaring, dahinya bersimbah peluh, Agnes menggenggam tangan ayahnya, berusaha menahan air matanya, dengan lembut mengulangi bersama ayahnya: warte nur, balde ruhest du auch. Kau pun, segera, akan terlelap juga. Dan Agnes sadar bahwa ternyata dia mengenal suara kematian ayahnya: itulah kebisuan burung-burung yang terlelap di pucuk-pucuk pepohonan.
Keheningan, yang akhirnya merambat setelah ayahnya meninggal dunia, memenuhi jiwa Agnes, dan itu sungguh indah. Mari kita ulangi lagi: itulah kebisuan burung-burung yang terlelap di pucuk-pucuk pepohonan. Dan seiring waktu berlalu, pesan terakhir ayahnya terngiang dengan jelas dan semakin jelas dalam keheningan itu, bagai terompet berburu di tengah hutan. Apa yang ingin dikatakan ayahnya dengan kenangan terakhir tersebut? Hidup bebas. Hidup sebagaimana yang Agnes inginkan, pergi ke mana dia ingin pergi. Ayahnya? Dia tidak pernah berani. Dan itulah mengapa dia melakukan segala cara agar putrinya berani. Agnes.
Dalam kehidupan perkawinannya Agnes terpaksa rela kehilangan kesenangannya akan kesunyian. Setiap hari, dia melewatkan delapan jam di kantor bersama dua teman sejawatnya dan kemudian pulang ke rumah. Apartemen dengan empat kamar. Tetapi tak satu pun dari ruang-ruang itu yang menjadi miliknya. Ada satu ruang tamu luas, satu kamar tidur, satu kamar untuk Brigitte dan ruang baca kecil Paul. Sewaktu dia mengeluh, Paul mengusulkan agar menganggap ruang tamu sebagai kamarnya dan berjanji (dengan ketulusan yang tidak layak diragukan) bahwa Paul maupun Brigitte tidak akan pernah mengusiknya. Tetapi bagaimana dia bisa merasa nyaman dalam satu ruang besar yang dilengkapi dengan sebuah meja besar dan delapan kursi yang biasa digunakan untuk kunjungan sore?
Mungkin sekarang kita bisa lebih mengerti mengapa Agnes merasa begitu gembira pagi hari itu di ranjang yang baru saja ditinggalkan Paul. Dan mengapa pula dia terburu-buru melintasi ruang tamu tanpa menimbulkan keributan, takut menarik perhatian Brigitte. Dia bahkan merasa sayang kepada lift yang bertingkah, sebab lift itu memberinya beberapa momen kesendirian. Mobilnya pun memberinya beberapa keuntungan, sebab tidak seorang pun berbicara kepadanya, tidak seorang pun melihatnya, Ya, itulah yang penting,  tak seorang pun melihatnya. Kesunyian: ketidakhadiran tatapan dan pandangan.
Suatu hari, dua sejawatnya jatuh sakit dan selama dua pekan Agnes bekerja sendirian di kantor. Sore harinya, dia menyadari tidak sedikit pun merasa lelah. Itulah yang menyadarkannya bahwa pandangan merupakan beban yang berat sekali, semacam ciuman vampir, menyengat serta memahat keriput di wajahnya.
Pagi itu, saat bangun, Agnes mendengarkan radio yang memberitakan bahwa intervensi terhadap pembedahan tidak bisa tidak diperlukan, sebab sebuah keteledoran pembiusan telah mengakibatkan kematian seorang perempuan muda. Akibatnya, tiga dokter dimejahijaukan, dan organisasi perlindungan konsumen mengusulkan di masa mendatang semua operasi seharusnya difilmkan, semua filmnya diarsipkan. Semua orang, kelihatannya, menyambut gembira insiatif tersebut.
Ribuan pandangan menusuk kita setiap hari, tetapi itu belum cukup: masih ditambah lagi dengan pandangan institusional, yang tidak meningalkan kita sedetik pun, yang akan mengamati kita di kamar periksa dokter, di jalanan, di meja operasi, di hutan, di kolong tempat tidur. Gambar kehidupan kita akan disatukan dalam arsip untuk digunakan sewaktu-waktu jika timbul perselisihan, atau ketika rasa ingin tahu publik menuntutnya.
Agnes bernostalgia lagi tentang Swiss. Semenjak kematian ayahnya, dia biasa mengunjungi Swiss dua atau tiga kali setahun. Paul dan Brigitte, dengan senyum penuh pengertian, membicarakan rencana kebutuhan emosional yang sehat itu: Agnes akan menyapu daun-daun kering di makam ayahnya, akan menghirup udara jernih melalui jendela besar terbuka hotel pegunungan Alpen. Tetapi suami dan anaknya itu keliru: walaupun tak ada kekasih yang menunggu di sana, Swiss adalah satu tindakan pengkhianatan yang mendalam dan sistematis terhadap mereka.
Swiss: kicau burung-burung di pucuk-pucuk pepohonan. Agnes memimpikan suatu hari tinggal di sana dan tidak kembali lagi. Dia bahkan sudah beberapa kali mencari apartemen di Swiss yang dijual atau disewakan; dia bahkan sudah merancang dalam benaknya surat bagi anak dan suaminya yang memberitahukan bahwa sungguhpun dia masih mencintai mereka dia memutuskan untuk hidup sendiri, tanpa mereka. Dia hanya minta agar mereka terus mengirimkan kabar karena dia ingin memastikan tidak ada sesuatu yang buruk menimpa mereka. Inilah yang paling sulit disampaikan dan dijelaskan: dia ingin tahu bagaimana keadaan suami dan anaknya, tetapi dia tidak ingin berjumpa atau hidup dengan mereka.
Agnes tidak melakukan itu, tentu saja, kecuali dalam mimpi. Bagaimana mungkin seorang perempuan baik-baik bisa meninggalkan perkawinan yang bahagia? Meski begitu, sebuah suara yang sangat jauh dan menawan hati mengusik kehidupan keluarganya yang damai. Itulah suara keheningan. Dia memejamkan mata dan mendengar suara dari kejauhan—di tengah belantara hutan—suara terompet berburu. Ada dua jalan di hutan itu, di salah satu dari keduanya berdiri ayahnya. Tersenyum kepadanya. Memanggilnya.
*
Dipetik dari novel
Judul           : Kekalan
Penulis        : Milan Kundera
Penerjemah: Noor Cholis
Diterbitkan : Penerbit Kakatua, Yogyakarta (2017)   
Berminat mendapatkan buku seharga Rp94.000 ini? Silakan sms atau wa ke 085647057458 

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)