Ksatria Dagang (III)

Asal mula bank, Templar, Paus Klemens V, Philip IV yang Rupawan, Keluarga Medici
Paus Klemens V




Empat tahun setelah eksekusi massal ksatria Templar di luar kota Paris, Grand Master Jacques de Molay dan Geoffroi de Charney diambil dari sel mereka dan dibakar hidup-hidup di sebuah pulau kecil di Sungai Seine pada tanggal 18 Maret 1314. Begitulah, Raja Philip benar-benar menghancurkan lembaga keuangan internasional terbesar dan terkuat masa itu. Pemerintah Prancis, yang usahanya mendapatkan seluruh kekayaan Templar di Paris terhalangi, menuntut bagian besar dari ordo Hospitaler sebagai kompensasi atas uang yang dipakai dalam penyelidikan dan pengadilan para ksatria Templar. Setelah menyaksikan nasib yang menimpa saudara-saudara Templar mereka, orang-orang Hospitaler dengan cepat menyerah pada ancaman mengerikan Philip yang hendak memurnikan ordo mereka dengan api yang sama yang dia pakai terhadap ordo Templar.
Paus Klemens V dan Raja Philip IV bertikai soal uang dan kekayaan ordo itu, tetapi tidak lama. Pada tahun itu juga, 1314, Paus dan raja sama-sama mangkat. Banyak pengamat, yang selalu melihat adanya kehendak Tuhan dalam kejadian-kejadian duniawi, berkesimpulan bahwa Tuhan memanggil Paus dan raja untuk hadir bersama orang-orang Templar yang dibakar untuk mendapatkan pengadilan terakhir di hadapan singgasana Tuhan.
Di bumi, tidak terlalu penting siapa yang salah, sebab apa pun tidak bisa mengubah yang sudah terjadi. Kemenangan mutlak raja Philip atas Ksatria Templar menandai peningkatan nyata kekuasaan sebuah pemerintah nasional yang tidak bakal membiarkan kehadiran saingan finansial internasional sekuat ordo Templar. Tidak penting apakah Philip dan Klemens hidup atau mati, penyelesaian pertikaian mereka jelas menguntungkan negara. Untuk kali yang pertama semenjak Roma jatuh, sebuah pemerintahan di Eropa barat berhasil meneguhkan kembali kewenangan dan kekuasaannya untuk mengontrol lembaga-lembaga keuangan, dan itu mematahkan kekuatan perdagangan gereja. Tak akan pernah lagi gereja maupun institusi-institusinya menjalankan kekuasaan sebesar itu atas berbagai aktivitas keuangan di Eropa barat.
Bagaimanapun juga, penghancuran ordo Templar menciptakan kekosongan keuangan dan perdagangan di mana gereja terlampau lemah dan takut untuk mendudukinya lagi sementara pemerintah belum cukup besar dan kuat untuk mengisinya.

KEBANGKITAN KELUARGA-KELUARGA BANKIR ITALIA
Pada momen penting dalam sejarah ekonomi Eropa ini, ketika kekuatan finansial gereja memudar dan kekuatan negara belum cukup kokoh untuk menggantikan gereja, sekelompok orang dan lembaga-lembaga baru menjejakkan kaki di kekosongan itu. Beberapa keluarga dari negara-kota Italia utara seperti Pisa, Florence, Venesia, Verona, dan Genoa mulai menawarkan layanan seperti yang diberikan para ksatria Templar, meski tentu saja dalam skala lebih bersahaja pada mulanya. Keluarga-keluarga tersebut menciptakan seperangkat baru lembaga perbankan di luar kontrol langsung gereja dan negara, tetapi tetap berkaitan erat dengan keduanya.
Sebuah sistem bank swasta keluarga berkembang di Italia utara. Keluarga-keluarga bankir tidak beroperasi di bawah suatu misi keagamaan atau dalam batas-batas ketat menyangkut uang sebagaimana yang diberlakukan atas ordo Templar oleh gereja dan doktrin-doktrin Kristen. Keluarga-keluarga bankir Italia melayani sama mudah dan cepatnya orang-orang Islam, Tartar, Yahudi, dan pagan seperti ketika melayani orang-orang Kristen Katolik maupun Ortodoks. Jaringan perbankan keluarga-keluarga dagang Italia dengan cepat membentang dari Inggris hingga Laut Kaspia, dan mereka membiayai misi-misi perdagangan di seluruh wilayah bumi yang dikenal dari Cina hingga Sudan dan dari India hingga Skandinavia. Mereka menawarkan suplai kredit yang ajek dengan bunga lebih rendah daripada yang ditawarkan kebanyakan pelaku bisnis keuangan lain, mereka juga mengrontrol lebih banyak uang dan meminjamkannya dengan bunga konsisten, kalau bukan selalu rendah. Tidak terpengaruh oleh prinsip-prinsip keagamaan seperti yang menghalangi ordo Templar, mereka cuma punya satu ambisi: membawa pulang keuntungan.
Keluarga-keluarga Italia itu juga berbeda dalam berbagai hal penting lain dengan para ksatria keagamaan. Mereka tidak menjalankan operasi dari benteng-benteng kokoh, juga tidak bepergian dalam konvoi bersenjata lengkap. Mereka hidup dan bekerja di tengah warga, melayani kebutuhan tuan tanah kecil, saudagar, dan pedagang kecil sama bersemangatnya seperti saat melayani kebutuhan aristokrat dan pejabat tinggi gereja maupun negara. Jika para ksatria Templar hanya melayani kaum bangsawan, para bankir baru Italia melayani siapa saja.
Dalam kerja-kerja finansial mereka, para saudagar Italia mendatangi pasar dan pekan raya di seluruh Eropa. Seperti saudagar dan penjual keliling lainnya, mereka menggelar meja dan bangku-bangku besar yang tidak cuma mereka pakai memperdagangkan jualan mereka tetapi juga untuk menukar uang, memberi pinjaman, mengurusi uang yang akan dibawa sebagai pembayaran utang untuk seseorang di kota berikutnya, dan memberikan berbagai layanan finansial terkait lainnya.
Kata modern bank berasal dari cara para pedagang uang mula-mula itu menjalankan bisnis mereka; kata itu diturunkan dari sebuah kata yang berarti ‘meja” atau ‘bangku’, perabot yang secara harfiah menjadi dasar operasi mereka di berbagai pekan raya. Dari bahasa Italia, kata bank, banco, dan banque segera menyebar ke bahasa-bahasa Eropa lainnya dan akhirnya ke seluruh dunia.
Peminjaman uang dalam berbagai bentuk tampaknya sudah ada sejak uang ada, tetapi bank menjadi lebih dari sekadar lembaga pemberi pinjaman uang, sebab para bankir tidak begitu banyak menangani emas dan perak dibandingkan dengan lembar-lembar kertas yang merepresentasikan emas dan perak. Perbankan, sebagaimana dipraktekkan ordo Templar, menghadapi rintangan besar karena gereja melarang bunga uang, penetapan bunga pada utang, dan menghindari hambatan itu terbukti merupakan salah satu persoalan paling berat yang harus diatasi keluarga-keluarga Italia itu dalam membangun bisnis perbankan besar mereka.
Larangan Kristen atas bunga didasarkan pada dua ayat dalam Alkitab: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba ....; melainkan engkau harus takut akan Allahmu ... Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba” (Imamat 25:36–37) dan “Kalau ia ... memungut bunga uang dan mengambil riba, orang yang demikian tidak akan hidup. Segala kekejian dilakukannya, ia harus mati; darahnya tertimpa kepadanya sendiri” (Yehezkiel 18:13).
Larangan kitab suci itu tidak pernah bisa benar-benar menghapus bunga, meski tentu saja menghambatnya. Orang-orang Yahudi sering bertindak sebagai rentenir sebab, di mata gereja, mereka sudah dikutuk untuk menghuni neraka selama-lamanya, tetapi jika orang Kristen meminjamkan uang dengan bunga, gereja Katolik akan mengucilkan mereka, artinya melarang mereka menghadiri segala macam kebaktian dan ekaristi. Hukumnya sangat jelas bahwa quidquid sorti accedit, usura est (segala yang melampaui pokok adalah bunga). Tetapi para bankir Italia menemukan cara menghindari larangan tersebut dan dengan demikian bertambah kaya tanpa membahayakan keselamatan rohani mereka.
Bunga hanya berlaku untuk utang, sehingga melalui pembedaan teknis yang lihai antara utang dan kontrak, para saudagar Italia membangun struktur pinjam-meminjam di balik tampilan yang tidak menunjukkan tanda-tanda riba. Mereka sangat berhati-hati menghindari utang. Mereka justru memperdagangkan bills of exchange (surat wesel). Surat wesel adalah dokumen tertulis yang memerintahkan pembayaran sejumlah uang tertentu kepada orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Nama Latin dokumen itu adalah cambium per lettras yang berarti “pertukaran melalui dokumen atau surat.” Transaksi ini adalah penjualan suatu jenis uang untuk memperoleh jenis uang lainnya yang akan dibayarkan dalam mata uang lain pada suatu waktu tertentu di kemudian hari.
Seorang saudagar yang butuh uang mendatangi seorang bankir di Italia. Bankir memberinya uang yang diperlukan secara tunai, dalam florin Florence atau ducat Venesia, lalu kedua belah pihak menandatangani surat wesel yang menyatakan bahwa sang saudagar setuju membayar sejumlah uang sedikit lebih tinggi dalam mata uang lain pada pekan raya mendatang di Lyons atau Champagne, Prancis. Sang saudagar tidak harus pergi sendiri ke pekan raya untuk membayar tagihan. Kedua pihak mafhum bahwa jika si saudagar tidak bisa datang ke pekan raya, kantor di Florence akan menagih uang yang diutang.
Orang-orang Italia memang bukan penemu surat wesel, tetapi mereka menempatkannya dalam cara penggunaan baru dan lebih menguntungkan. Para bankir menerima bayaran karena melakukan penukaran uang dan karena itu mereka terorganisir dalam gilda kurs mata uang, Arte del Cambio, yang tidak ada hubungan dengan rentenir dan tukang gadai kelas kambing yang amat dibenci semua orang. Dalam prakteknya, bankir menjadi pemberi pinjaman untuk orang kaya sedangkan rentenir dan tukang gadai terus menggarap orang-orang miskin.
Surat wesel itu berfungsi baik di negara-negara Kristen, tetapi tidak laku di dunia Islam. Qur’an mengharamkan riba secara lebih tegas dan jelas ketimbang Injil. Qur’an melarang segala bentuk pengambilan keuntungan dari pertukaran perak atau emas. Muhammad mengatakan, “Jangan menjual emas untuk emas kecuali dalam jumlah yang sama ... jangan pula perak untuk perak kecuali dalam jumlah yang sama.” Secara spesifik Qur’an melarang surat wesel dengan mencela penjualan “sesuatu yang sudah ada untuk sesuatu yang tidak ada.”

Dipetik dari Jack Weatherford, The History of Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera