Ksatria Dagang (II)

Philip IV berhasil membubarkan Ordo Ksatria Templar
Philip IV



Walaupun para ksatria Templar berdedikasi tinggi dalam menunaikan misi, di Palestina mereka terus-terusan menemui kekalahan dihajar pasukan Mameluk Mesir, tentara budak militer yang ganas, sebagian besar anggotanya direkrut dari keluarga-keluarga Kristen dan masuk Islam. Pada tahun 1291, ksatria Templar harus melepaskan kota Akra, benteng terakhir mereka di daratan Mediterania, dan kabur ke pulau Cyprus. Meski mengalami kemunduran secara militer, usaha keuangan mereka terus berkembang.

BAHAYA KEBERHASILAN
Walaupun para anggotanya hidup miskin, ordo Ksatria Templar bertambah kaya dan gendut, dan tampaknya berada di luar kontrol negara atau raja mana pun. Mereka adalah sasaran empuk, cuma menunggu seorang monarki yang cukup kuat dan tamak untuk menggasak mereka. Monarki itu akhirnya muncul dalam bentuk menawan Raja Philip IV dari Prancis, dikenal dengan julukan Philip yang Rupawan karena dianggap sebagai pria paling tampan di dunia. Pada tahun 1295, Philip menarik pengelolaan keuangannya dari tangan para Templar dan mendirikan kas kerajaan di Louvre, Paris. Selanjutnya dia melancarkan serangan yang dimaksudkan untuk mengambil alih properti maupun kekayaan Templar yang amat banyak itu.
Kebutuhan luar biasa Philip akan uang muncul setelah dia mencoba trik yang pernah dipakai Nero seribu tahun sebelumnya: dia menurunkan nilai mata uang perak di wilayah kekuasaannya demi memproduksi lebih banyak koin dengan mencetak ulang koin-koin lama dengan menyusutkan kandungan peraknya. Dalam jangka pendek, dia menangguk untung dari manuvernya itu, tetapi masalah bermunculan dengan cepat ketika para petani mulai membayar pajak dengan koin-koin baru yang mengandung lebih sedikit perak itu. Seperti Nero, Philip menghadapi koin-koin yang lebih banyak tetapi uang berkurang, sebab daya beli tiap koin berkurang. Philip pun berupaya merombak mata uang Prancis dengan mengembalikannya ke nilai semula, dan pada tahun 1306, dia menarik semua koin dan mencetak ulang dengan nilai yang ditetapkan pada tahun 1266 oleh Louis IX. Berkali-kali Philip mengganti nilai mata uang dalam tahun-tahun berikutnya, tetapi setiap upaya penggantian itu justru membuatnya sakit hati. Dia membutuhkan pasokan konstan emas dan perak guna memulihkan mata uang yang sudah digerogoti.
Demi mencukupi kebutuhan konstannya akan uang, Philip melirik para pedagang Lombardia, yang emasnya dia rampas. Dia berusaha memajaki para rohaniwan, lalu menoleh kepada orang-orang Yahudi, mendepak mereka pada tahun 1306, setelah merampas harta mereka. Kekayaan orang Yahudi dan Lombardia digabung dengan pajak atas para rohaniwan itu pun tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan pemerintahan Philip yang sedang berkembang dan kehausannya akan kekuasaan. Dia memerlukan uang yang banyaknya bukan main.
Konsentrasi kekayaan terbesar di Eropa tersimpan persis di luar kota Paris dalam puri-puri amat kokoh yang berfungsi sebagai rumah penyimpanan utama bagi kekayaan Templar. Untuk memperoleh kekayaan itu tidak bisa tidak sang raja harus menghancurkan ordo tersebut, dan nyatanya dia memang mau dan mampu melakukannya. Pada tahun 1307, Philip mengeluarkan perintah rahasia yang diawali dengan kecaman sengit terhadap ordo itu.
“Memilukan, sangat patut disesalkan, sesuatu yang mengerikan untuk digagas, menakutkan untuk didengar, kejahatan memuakkan, keburukan menjijikkan, perbuatan nista, aib memuakkan, sesuatu yang nyaris tidak manusiawi, bahkan tercerabut dari segala kemanusiaan.” Dengan kata-kata ini Philip membuka pentas bagi kampanye propaganda ampuh yang harus dia lancarkan dalam rangka menjatuhkan dan menggasak institusi keuangan terbesar di dunia itu.
Bukannya berperang melawan para kstaria Templar, agen-agen Philip IV mengatur serangan dadakan untuk menangkapi para pemimpin ordo, yang tidak memperhitungkan sama sekali kemungkinan itu, di seluruh Perancis. Philip mengatur sergapannya sedemikian rupa untuk menangkap Jacques de Molay, grand master senior ordo, yang datang ke Prancis dari markas besarnya di Cyprus untuk menyelesaikan beberapa urusan bagi ordo Templar dan Paus Klemens V.
Sekutu-sekutu Philip dengan gesit melancarkan perang humas melawan orang-orang Templar, menuduh mereka sebagai penjahat paling buruk dalam rangka mambangkitkan kengerian dan amarah publik terhadap mereka. Tuduhan-tuduhan itu bermuara pada proses peradilan berlarut-larut yang berpuncak pada serangkaian pengadilan dramatis di mana para jaksa Prancis mendakwa para pemimpin ordo sudah menyimpang, membuang iman, menyembah setan, mengidap kelainan seksual dan segudang katalog pelanggaran paling jahat menurut kode moralitas Abad Pertengahan. Di bawah tekanan siksaan hebat, para petinggi ordo menandatangani pengakuan yang berisi detail mengerikan tentang aktivitas mereka selaku penyembah berhala, penghujat hal-hal sakral, antek-antek iblis, pelaku penyimpangan seksual sesama anggota ordo.
Dakwaan itu mencakupi sangkaan bahwa para Templar menyetubuhi mayat-mayat wanita bangsawan, menyembah seekor kucing, makan jasad para ksatria yang sudah tewas, dan mengikat persaudaraan sedarah dengan orang-orang Islam. Saksi-saksi lain mengatakan bahwa para Templar merayu gadis-gadis perawan demi menghasilkan bayi-bayi yang lemaknya bisa dipakai para ksatria itu untuk membuat minyak keramat bagi berhala-berhala mereka. Para jaksa Philip mendakwa orang-orang Templar giat menggalakkan sodomi di lingkungan ordo, dan mereka menyebut dosa ini secara khusus sebagai alasan mengapa Templar kalah dalam Perang Salib di Tanah Suci dan kehilangan kekuasaan atas Yerusalem. Maka kejatuhan Yerusalem sejalan dengan kisah Injil tentang murka Tuhan yang berbuntut penghancuran kota-kota Sodom dan Gomorah karena pelanggaran serupa. Tuduhan sodomi ini menjelaskan, bagi pikiran paling sederhana sekalipun, mengapa Tuhan mengizinkan kaum Muslimin menaklukkan Yerusalem. Tuduhan itu menjadikan bisa dipahaminya sebuah sejarah yang membingungkan orang-orang saleh yang tekun berdoa bertahun-tahun bagi pembebasan Tanah Suci.
Para jaksa Philip bahkan menggunakan kekayaan ordo untuk memberatkan pemiliknya sendiri. Semua orang Kristen percaya bahwa Setan menampakkan diri di hadapan Kristus di gurun dan menawarinya kekayaan dunia jika dia mau menghujat Tuhan dan mengikuti Setan. Kristus tidak mau, dan dia hidup dalam kemiskinan. Tetapi orang-orang Templar justru berkembang menjadi kelompok terkaya di dunia dan hidup dalam keberlimpahan, kalau bukan kemewahan. Menurut para penuntut umum, kaum Templar pasti sudah membuat perjanjian dengan setan agar bisa sekaya itu.
Setelah pulih dari kejutan awal penangkapan dan penyiksaan, kebanyakan ksatria Templar menarik pengakuan ajaib mereka, membela diri dan ordo mereka dengan keberanian dan kekuatan yang mendongkrak reputasi Kstaria Templar di medan perang. Bukannya melawan tentara Islam, kini mereka harus menghadapi hakim, jaksa, dan penyiksa yang berbicara dalam bahasa mereka dan mengaku menyembah tuhan mereka. Dalam keadaan sangat membutuhkan, kaum Templar tidak memperoleh bantuan dari ibu gereja yang mereka bela dengan nyawa mereka bertahun-tahun. Selama hampir satu dekade, para penguasa Prancis menyiksa para anggota ordo Templar untuk memeras pengakuan dari mereka. Tetapi saat ditampilkan di depan publik orang-orang Templar segera bangkit dan menarik pengakuan mereka, dan ini memicu ronde baru penyiksaan dan pengakuan.
Tak berdaya menghadapi tekanan monarki Prancis, Paus Klemens V membubarkan ordo tersebut dalam sebuah Keputusan Paus, Vox in Excelso, pada tanggal 22 Maret 1312. Paus menganggap lebih bijaksana mengorbankan para ksatria gerejanya daripada harus menentang kehendak raja Prancis. Dengan membubarkan ordo itu Paus berharap masih bisa mengontrol kekayaan Templar, yang dia alihkan ke kelompok-kelompok keagamaan lain, utamanya bagi Hospitaler, ordo ksatria agama yang lain.

Dipetik dari Jack Weatherford, The History of Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005) 

Comments

Popular posts from this blog

Para Pembunuh

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Kekekalan (L'Immortalite), Milan Kundera