Sastra sebagai Sebuah Dunia (4)


Pascale Casanova, Sastra Sebagai Sebuah Dunia
Pascale Casanova, penulis La République mondiale des lettres

Modernismo Sebagai Perebutan Kembali
Ketimpangan sastra dan hubungan-hubungan dominasinya menyulut bentuk-bentuk pertarungan, persaingan dan pertandingan mereka sendiri. Tetapi pihak yang ditundukkan juga mengembangkan strategi khusus yang hanya bisa dipahami dalam kerangka kesusastraan, sekalipun itu bisa saja memiliki konsekuensi politis. Bentuk, inovasi, gerakan, revolusi dalam tatanan narasi bisa saja dibelokkan, ditangkap, dirampas atau dicaplok, dalam upaya menjungkirkan relasi-relasi kekuasaan kesusastraan yang sedang berlaku.
Dalam persoalan inilah saya hendak menganalisis kebangkitan modernismo di negara-negara berbahasa Spanyol pada akhir abad ke-19. Bagaimana menjelaskan fakta bahwa gerakan ini, yang menjungkirbalikkan seluruh tradisi puisi Hispanik, didikte oleh seorang penyair dari Nikaragua, di tepi jauh imperium kolonial Spanyol? Rubén Darío, terpikat sejak kanak-kanak oleh legenda kesusastraan Paris, tinggal di kota itu pada akhir tahun 1880-an dan, cukup logis, terpesona oleh puisi simbolis Perancis yang baru saja naik daun. 28 Dia lalu melakukan gerakan yang memukau, yang hanya pantas disebut sebagai perebutan modal kesusastraan: dia mengimpor, ke dalam puisi Spanyol, prosedur, tema, kosakata dan bentuk-bentuk yang dipuja oleh kaum simbolis Prancis. Perebutan ini dinyatakan dengan cukup tegas, dan Prancisisasi puisi Spanyol, sampi ke fonem dan bentuk-bentuk sintaksisnya, menunjukkan apa yang bisa disebut sebagai ‘Gallisisme mental’. Pembelokan modal ini demi tujuan-tujuan kesusastraan dan politis29 sudah barang tentu tidak dilakukan dalam mode pasif ‘penerimaan’, apalagi ‘pengaruh’, seperti yang diyakini analisis kesusastraan tradisional. Sebaliknya, perebutan ini adalah bentuk aktif dan merupakan instrumen dari sebuah perjuangan kompleks. Untuk melawan sekaligus dominasi politik-linguistik Spanyol atas imperium kolonialnya dan pembekuan yang melumpuhkan puisi berbahasa Spanyol, Darío terang-terangan meneguhkan dominasi yang dikendalikan Paris pada masa itu.30 Paris, sebagai benteng kultural sekaligus sebagai wilayah politis yang lebih netral bagi warga negeri imperial dan nasional lain, dimanfaatkan oleh banyak penulis abad ke-19 dan ke-20 sebagai senjata perjuangan sastra mereka.
Maka dari itu problem yang muncul dalam teorisasi ketimpangan kesusastraan bukan apakah para penulis pinggiran ‘meminjam’ dari pusat atau tidak, atau apakah arus kesusastraan mengalir dari pusat ke pinggiran atau tidak; melainkan restitusi, kepada pihak tersubordinasi di dunia kesusastraan, menyangkut bentuk-bentuk, spesifisitas dan kesulitan perjuangan mereka. Dengan itulah mereka layak Baru diberi penghargaan untuk penciptaan—yang sering kali tersembunyi—dari kebebasan kreatif mereka. Dihadang kebutuhan untuk menemukan solusi bagi ketergantungan, dan menyadari bahwa semesta kesusastraan mematuhi prinsip terkenal Berkeley esse est percipi—ada adalah dianggap—pelan-pelan mereka menyempurnakan perangkat strategi mereka yang terkait dengan posisi mereka, bahasa tulis mereka, lokasi mereka dalam ruang kesusastraan, hingga ke jarak atau kedekatan yang ingin mereka bangun dengan pusat pemberi prestise. Di tempat lain, saya sudah berusaha menyatakan bahwa mayoritas solusi kompromis yang tercapai dalam struktur ini didasarkan pada ‘seni mengatur jarak’, suatu cara menempatkan diri, secara estetis, yang tidak tertalu dekat tidak pula terlalu jauh; dan bahwa sebagian besar penulis yang tersubordinasi bergerak dengan kecanggihan luar biasa untuk memberi diri sendiri peluang terbaik agar dianggap, mencari peluang untuk eksis dalam pengertian kesusastraan. Sebuah analisis atas karya-karya yang berasal dari zona tersebut, sebagaimana diperlihatkan begitu banyak strategi penempatan yang kompleks, mengungkapkan betapa banyak revolusi besar kesusastraan terjadi di pinggiran dan daerah-daerah tersubordinasi, sebagaimana dipersaksikan oleh Joyce, Kafka, Ibsen, Darío dan banyak lagi yang lainnya. Karena itulah, berbicara tentang bentuk dan genre kesusastraan pusat hanya sebagai warisan kolonial yang dipakai para penulis di daerah-daerah subordinat sama saja dengan mengabaikan fakta bahwa sastra itu sendiri, sebagai nilai bersama seluruh ruang, juga sebuah instrumen yang, jika direbut kembali, bisa memungkinkan penulis—dan khususnya penulis dengan sumber daya paling sedikit—mencapai suatu jenis kemerdekaan, pengakuan dan eksistensi di dalamnya. Lebih konkret dan lebih lugasnya, renungan-renungan tentang sangat luasnya apa yang mungkin dalam sastra ini, bahkan dalam struktur dominasi yang sangat besar dan tak terelakkan ini, juga dimaksudkan berfungsi sebagai senjata simbolis dalam perjuangan mereka yang paling miskin sumber daya sastra, dalam menghadapi rintangan yang para penulis di pusat sekedar membayangkaannya pun tidak bisa. Yang menjadi tujuan di sini adalah memperlihatkan bahwa apa yang mereka alami sebagai keadaan ketergantungan individual yang tak terselesaikan, tanpa preseden atau perbandingan, dalam kenyataannya adalah sebuah posisi yang diciptakan oleh sebuah struktur yang bersifat historis sekaligus kolektif.31 Di samping mempertanyakan metode dan alat kajian kesusastraan komparatif, komparativisme struktural yang saya sampaikan garis besarnya di sini juga berupaya menjadi instrumen dalam perang kesusastraan yang panjang dan tak kenal ampun.



Catatan Akhir:
  1. Noam Chomsky, Current Issues in Linguistic Theory, The Hague 1964, h. 105ff.
  2. Henry James, The Figure in the Carpet and Other Stories, Harmondsworth 1986, h. 381.
  3. Lihat André Schiffrin, The Business of Books: How the International Conglomerates Took over Publishing and Changed the Way we Read, London dan New York 2000.
  4. Lihat Kjell Espmark, Le Prix Nobel. Histoire intériure d’une consécration littéraire, Paris 1986.
  5. Penganugerahan hadiah terakhir untuk orang Austria Elfriede Jelinek—pengarang unik karya prosa dan lakon distortif dan eksperimental, dengan pendirian kritis feminis dan politis radikal, dan tak kurang radikal pesimisnya—adalah contoh lain kemandirian total juri Swedia dalam menentukan pilihan dan melaksanakan “kebijakan kesusastraan” mereka.
  6. ‘Modern ada di luar, kita harus mengimpornya,’ tulisnya, sebagai misal. Paz, La búsqueda del presente. Conferencia Nobel, San Diego 1990.
  7. Antonio Candido, ‘Literature and Underdevelopment, dalam On Literature and Society, diterjemahkan oleh Howard Becker, Princeton 1995, h. 128 – 9.
  8. ‘Pemanfaatan untuk kepentingan sendiri’ unsur asing yang sama menjelaskan kasus kaum Romantis Perancis yang dikutip oleh Christopher Prendergast—‘memanfaatkan’ Shakespeare dan tradisi teatrikal Inggris untuk memantaptkan diri dalam ruang Perancis. Lihat ‘Negotiating World Literature’, NLR 8, Maret – April 2001, h. 110 – 1.
  9. Artikel terkenal Sartre tentang The Sound and the Fury, ‘La temporalité chez Faulkner’, dimuat dalam Nouvelle revue française, Juni – Juli 1939; dimuat ulang dalam Situations I, Paris 1947, h. 65 – 75.
  10. Stefan Collini, Public Moralists: Political Thought and Intelectual Life in Britain, 1850 – 1930, Oxford 1991, h. 357.
  11. Dengan segala hormat kepada Christopher Prendergast, saya tidak mengatakan bahwa ide-ide ‘nasion’ atau ‘nasional’ mesti terkait dengan ide tentang ‘sastra’. Saya justru bermaksud mengistimewakan ide-ide itu sehingga dalam République mondiale des lettres (1999) saya menawarkan ‘ruang kesusastraan nasional’, yakni berbagai sub-ruang yang terletak di semesta kesusastraan dunia. Berbagai sub-ruang itu saling bersaing, lewat pertarungan para penulis, bukan demi alasan-alasan nasional (atau nasionalis), melainkan demi pertaruhan yang sangat bersifat kesusastraan. Artinya, derajat kemandirian kesusastraan yang relatif terhadap konflik-konflik dan ideologi nasional memiliki korelasi kuat dengan usia sub-ruang. Di sini contoh dari Wordsworth—yang karyanya sudah barang tentu tidak bisa ditafsirkan semata-mata berkenaan dengan persaingan antar-bangsa—merupakan ilustrasi sempurna tentang fakta bahwa ruang-ruang nasional tertua dan paling kaya bakatlah yang perlahan-lahan berupaya mewujudkan sebuah sastra otonom dalam pagar nasional mereka, (relatif) mandiri dari pertaruhan yang amat sastra; maksudnya, sebuah ruang yang mengalami depolitisasi dan (setidak-tidaknya secara parsial) denasionalisasi. Lihat Prendergast, ‘Negotiating World Literature’, h. 109 – 112.
  12. Untuk poin ini lihat Pierre Bourdieu, Les Régles de l’art. Genèse et structure du champ littéraire, Paris 1992.
  13. Fernand Braudel, Civilisation matérielle, économie et capitalisme—XVe-XVIIIe siècles, 3 jilid, Paris 1979, jilid 3, khususnya bab I, h. 12-33.
  14. Franco Moretti membahas konsep sistem-dunia dalam tulisannya ‘Conjectures on World Literature’, NLR 1, Januari–Februari 2000, dan dalam ‘More Conjectures’, NLR 20, Maret–April 2003. Di satu pihak itu memungkinkan dia meneguhkan kesatuan dan ketimpangan mendasar sistem kesusastraan yang nampaknya coba dia paparkan, sebuah peneguhan krusial dan menetapkan batas yang sepenuhnya saya terima. Di lain pihak, pemanfaatan pertentangan Braudelian antara ‘pusat’ dan ‘pinggiran’ bagi saya terlihat cenderung mengabaikan kekerasan (kesusastraan) yang terjadi, dan dengan demikian mengaburkan ketimpangannya. Daripada dikotomi spasial ini, saya lebih menyukai pertentangan antara yang dominan dan yang didominasi, guna mencuatkan kembali fakta suatu relasi kekuasaan. Di sini harus saya jelaskan bahwa ini tidak menyiratkan suatu pemilahan belaka ke dalam dua kategori melainkan, justru, sebuah kontinuum berbagai situasi berlainan di mana derajat ketergantungan sangat bervariasi. Kita dapat, misalnya, menggunakan kategori yang dikemukakan Bourdieu tentang ‘yang didominasi di antara para pendominasi’ untuk memaparkan situasi subordinasi (kesusastraan) di Eropa. Bagi saya, sistem-sistem dunia yang menggunakan istilah ‘semi-pinggiran’ untuk mendeskripsikan jenis posisi perantara ini mengecilkan dan menghaluskan relasi yang dominan – yang didominasi, tanpa menawarkan ukuran presisi derajat ketergantungan.
  15. Dalam menawarkan sebuah tabel komparatif ‘lembaga-lembaga sastra regional, nasional dan dunia di India’, Francesca Orsini mengemukakan bahwa ada ‘jenjang’ atau ‘wilayah’ berbeda-beda dan saling tergantung dalam suatu ruang sastra nasional. Saya ingin mengatakan bahwa kita sedang berurusan dengan posisi-posisi yang hanya ada dalam dan melalui relasi-relasi kekuasaan di mana satu sama lain saling topang, dan bukan dengan sebuah ‘sistem’ kaku tak tergoyahkan. Lihat ‘India in the Mirror of World Fiction’, NLR 13, Januari – Februari 2002, h. 83.
  16. Lihat terutama Wallerstein, The Modern World-System, 3 jilid, New York 1980 – 88.
  17. Ernst Cassirer, La Philosophie des formes symboliques, jilid 1, Le langage, Paris 1972, khususnya bab 1, h. 13 – 35.
  18. J. W. von Goethe, Goethes Werke, Hamburg 1981, jilid 12, h. 362 – 3. Lihat juga Fritz Strich, Goethe and World Literature, New York 1972, h. 10.
  19. Dictionaire Larousse memuat dua definisi tambahan ‘prestige’, yang masing-masing menyiratkan pengetian kekuasaan atau otoritas: ‘1. Keunggulan yang berasal dari kebesaran dan nampaknya memiliki karakter misterius. 2. Pengaruh, pengakuan.’
  20. Lebih tepatnya, yang paling lama berada di ruang kompetisi kesusastraan. Ini menjelaskan mengapa ruang-ruang kuno tertentu seperti negara-negara Cina, Jepang dan Arab berumur panjang dan subordinat: mereka memasuki ruang kesusastraan internasional sangat terlambat dan dalam posisi subordinat.
  21. Terutama yang bisa mengajukan klaim ‘klasik universal’ (dan paradoksnya) nasional.
  22. Tentang pengertian ‘otonomi relatif’, lihat Pierre Bourdieu, Les Règles de l’art, Paris 1992, khususnya h. 75 – 164.
  23. Klein—maksudnya hanya ‘sastra kecil’—Kafka diterjemahkan berlebihan oleh Marthe Robert sebagai ‘sastra minor’, sebuah ekspresi yang nasibnya di kemudian hari sudah umum diketahui. Lihat Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Kafka. Pour un littérature mineure, Paris 1975, h. 75; dan tulisan saya ‘Noevelles considération sur les littératures mineures’, Littérature classique, no. 31, 1997, h. 233–47.
  24. Braudel, Civilization and Capitalism, 15th–18th century: Volume III, The Perspective of the World, London 1984, h. 68; Civilisation matérielle, vol. 3, h. 9.
  25. Lihat perdebatan mengenai masalah krusial ini yang berlangsung di Amerika Latin sejak 1960-an dan direkonstruksi dengan bagus oleh Efraín Kristal dalam ‘Considering Coldly ...’ NLR 15, Mei – Juni 2002, h. 67 – 71. Di sini bisa kita lihat dengan jelas bahwa peran agen-agen transformasi sosial dan politik, terutama yang disandangkan pada para penulis ‘boom’, umumnya ilusif semata.
  26. August Strindberg sejenak menjadi ‘penulis Perancis’ antara 1887 hingga 1897, menulis Le Plaidoyer d’un fou dan Inferno langsung dalam bahasa Perancis demi pengakuan internasional.
  27. Fuentes, Geografia de la novela, Madrid 1993, h. 218.
  28. Dalam Autobiography, Darío menulis: ‘Aku memimpikan Paris sejak masih bocah, sampai-sampai ketika berdoa aku memohon kepada Tuhan agar tidak membiarkanku mati tanpa melihat Paris. Bagiku Paris seperti surga di mana orang bisa menghirup saripati kebahagiaan duniawi.’ Obras completas, Madrid 1950 – 55, vol. 1, h. 102.
  29. Yang oleh Perry Anderson disebut ‘sebuah deklarasi kemerdekaan kultural’: The Origins of Postmodernity, London dan New York 1998, h. 3.
  30. Analisis Efraín Kristal tentang masalah ini sangat menjelaskan dan sepenuhnya meyakinkan. Tetapi agaknya dia meyakini bahwa ide pemanfaatan atau pembelokan bertentangan dengan ide emansipasi. Apa kita tidak bisa, sebaliknya, mengemukakan hipotesis bahwa pembelokan awal ini (diperlukan kalau memang benar bahwa tidak ada revolusi simbolis yang bisa terjadi tanpa sumber daya) memungkinkan sebuah pembaruan kreatif? Setelah Rubén Darío memainkan peran akselerator estetis, modernismo tentu menjadi gerakan puitis Hispanik yang sepenuhnya terpisah, menemukan kode dan normanya sendiri tanpa rujukan apa pun pada Perancis.
  31. Inilah sebabnya saya sangat menyepakati penegasan Franco Moretti, yang bisa dipakai sebagai motto bagi disiplin yang masih berada pada tahap awal: ‘Tanpa kerja kolektif, sastra dunia tetap akan merupakan fatamorgana’. Lihat ‘More Conjectures’, NLR 20, Maret–April 2003, h. 75.


Pascale Casanova, perempuan kritikus berkebangsaan Prancis, penulis buku penting “La République mondiale des lettres”. Saya terjemahkan melalui versi Inggeris artikel ini yang terbit di New Left Review 31, January-February 2005.
Terjemahan ini sudah dimuat di www.jurnalcipta.com

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)