Sastra Sebagai Sebuah Dunia (3)



La Republique mondiale des lettres, Pascale Cassanova

Derajat Otonomi
Ciri mendasar kedua dunia sastra adalah otonomi relatifnya.22 Isu-isu yang mengemuka dalam domain politik tidak bisa diletakkan di atas, atau dirancukan dengan, isu-isu dalam ruang sastra, entah itu nasional atau internasional. Nampaknya sebagian besar teori kesusastraan kontemporer cenderung menciptakan hubungan pendek ini, terus-menerus mereduksi kesusastraan menjadi politis. Sebuah contoh yang menonjol adalah Kafka karya Deleuze dan Guattari, yang mengklaim telah menyimpulkan dari satu entri buku harian saja (25 Desember 1911), bukan cuma sebuah pendirian yang sangat politis—yang dengan demikian menegaskan bahwa Kafka benar-benar ‘pengarang politis’—tetapi juga sebuah visi politis yang menjiwai segenap karyanya. Berbekal sebuah frase yang diterjemahkan meleset dalam versi Prancis Diary Kafka, mereka berdua membangun sebuah kategori ‘sastra minor’ dan mengaitkan pada Kafka, lewat sebuah anakronisme sejarah yang mencolok, sebuah kesibukan yang mustahil Kafka lakukan sebelum Perang Dunia Pertama.23
Otonomi mensyaratkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang sastra juga otonom: saat-saat tonggak, manifesto, tokoh, monumen, peringatan, kota-kota besar, semua ini bergabung menghasilkan sebuah sejarah spesifik, yang tidak bisa dirancukan dengan sejarah dunia politis—sekalipun bila ruang sastra untuk sebagian bergantung pada dunia politis, dalam sebuah bentuk yang menuntut perhatian yang cermat. Braudel, dalam karyanya tentang sejarah perekonomian dunia antara abad ke-15 dan ke-18, mencatat kemandirian relatif ruang artistik terhadap ruang ekonomi yang dengan demikian juga terhadap ruang politik. Venesia adalah ibu kota perekonomian abad ke-16, tetapi adalah dialek Florence dan Tuscany yang menanjak secara intelektual. Pada abad ke-17, Amsterdam menjadi pusat besar perdagangan Eropa, tetapi Roma dan Madrid berjaya dalam seni dan sastra. Pada abad ke-18, London adalah pusat dunia ekonomi tetapi Parislah yang menjalankan hegemoni kulturalnya.

Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, Prancis, walaupun tertinggal dalam segi ekonomi dari seluruh negara Eropa lainnya, tak bisa dibantah merupakan pusat seni rupa dan sastra Barat; masa-masa ketika Italia dan Jerman mendominasi dunia musik bukanlah masa ketika Italia atau Jerman mendominasi Eropa secara perekonomian; sekarang pun, perekonomian luar biasa yang dipimpin Amerika Serikat tidak menjadikan negara itu pemimpin kesusastraan dan artistik dunia.24

Kasus sastra Amerika Latin merupakan bukti lebih jauh mengenai otonomi relatif wilayah kesusastraan, yang tak punya kaitan langsung, tanpa hubungan sebab akibat antara kekuatan ekonomi-politik dengan kekuasaan atau legitimasi kesusastraan di tataran internasional. Pengakuan global yang diberikan pada kumpulan karya itu, dalam bentuk Hadiah Nobel, penghargaan mendunia bagi nama-nama besar mereka, legitimasi kokoh model estetis terkemuka mereka, tanpa menghiraukan kelemahan ekonomi dan politik negara-negara asal, semuanya menunjukkan bahwa kedua tatanan itu tidak bisa dicampuradukkan. Untuk memahami berbagai kondisi kemunculan ‘boom’ kesusastraan Amerika Latin, misalnya, kita perlu mempostulatkan independensi relatif fenomena kesusastraan.25
Tetapi jika dunia kesusastraan relatif independen dari semesta ekonomi dan politik, ia juga relatif tergantung pada semesta yang disebut terakhir itu. Seluruh sejarah ruang kesusastraan dunia—dalam totalitasnya, maupun di tiap-tiap ruang sastra nasional yang menyusun dunia itu—adalah salah satu ketergantungan awal dalam relasi-relasi nasional-politis, disusul oleh emansipasi progresif dari mereka melalui proses otonomisasi. Ketergantungan muasal itu masih ada hingga derajat tertentu, terkait pada senioritas ruang yang bersangkutan; terlebih pada tataran bahasa. Nasionalisasi ruang sastra yang nyaris sistemik di seluruh dunia membuat bahasa menjadi sebuah instrumen yang ambigu, baik secara kesusastraan dan maupun secara politis.

Bentuk-bentuk Dominasi
Berpijak pada uraian di atas, dalam masyarakat kesusastraan, mode-mode dominasi saling melingkupi. Tiga bentuk utama unjuk diri dalam derajat yang berlainan, tergantung pada posisi ruang yang ada: dominasi linguistik, kesusastraan dan politik—yang terakhir ini makin sering tampil dalam wajah ekonomis. Ketiganya tumpang tindih, saling menembus dan mengaburkan sampai sedemikian rupa hingga hanya bentuk yang paling gamblang—yakni dominasi ekonomi-politik—yang bisa dilihat. Banyak sekali ruang sastra yang tergantung secara linguistik (Kanada, Australia, Selandia Baru, Belgia, Swiss, Quebec) tanpa menjadi subordinat secara politis; yang lain-lainnya, terutama yang muncul dari dekolonisasi, barangkali meraih kemerdekaan linguistik tetapi tetap tidak bebas secara politis. Namun, subordinasi bisa pula diukur dalam batasan-batasan yang murni sastra, lepas dari segala penindasan dan penundukan politis. Mustahil menjelaskan jenis-jenis tertentu pengasingan, atau perubahan dalam bahasa tertulis, baik yang sementara atau yang permanen—August Strindberg, Joseph Conrad, Samuel Beckett, E. M. Cioran, umpamanya—tanpa menghipotesiskan adanya bentuk-bentuk dominasi yang sangat literer, kekuatan-kekuatan yang berada di luar bingkai kekuasaan-politik yang mana pun.26
Konsekuensi dominasi kesusastraan pada produksi, penerbitan dan pengakuan teks membutuhkan analisis tersendiri. Keunggulan yang diberikan kajian kesusastraan pada psikologi, misalnya—umum diketahui didasarkan pada kesunyian tiada tara para penulis—sering menghalangi penjelasan tentang hambatan struktural tidak terlihat yang menghadang produksi karya penulis, sampai ke pilihan bentuk, genre, bahasa mereka. Ambil contoh Gertrude Stein: walaupun kajian-kajian feminis dengan tepat menekankan kekhasan biografis dan psikologisnya, khususnya lesbianismenya, mereka tidak menyinggung lokasi Stein di ruang kesusastraan dunia, seolah-olah entah bagaimana hal itu terjelaskan dengan sendirinya. Atau barangkali, apa saja yang terkait dengan posisinya sebagai orang Amerika di Paris hanya disebut dalam konteks biografis atau anekdot. Tetapi kita tahu bahwa AS berada dalam posisi subordinat dalam urusan sastra selama 1910-an hingga 1920-an, dan bahwa penulis Amerika datang ke Paris mencari sumber daya sastra dan model-model estetis. Di sini kita punya contoh dominasi spesifik kesusastraan, berlangsung dalam ketiadaan bentuk ketergantungan lain yang mana saja. Analisis sederhana atas status Stein sebagai penyair ekspatriat di Paris—status ‘imigran’ adalah tanda jelas dari ketergantungan—dan posisi ruang sastra Amerika dalam Dunia Sastra, bisa membantu kita memahami mengapa Stein begitu sibuk, seperti halnya Ezra Pound pada titik yang sama, dengan ‘pengayaan’ sebuah sastra nasional Amerika. Pada saat yang bersamaan, minatnya dalam representasi kesusastraan Amerika sangat siginifikan — karya raksasanya, The Making of Americans, merupakan manifestasi yang paling terang benderang. Fakta bahwa dia seorang perempuan dan lesbian di Paris tahun 1910-an tentu amat penting untuk memahami dorongan subversifnya dan watak keseluruhan proyek estetisnya. Namun hubungan dominasi kesusastraan yang terstruktur secara historis, jelas sangat penting, tetap saja luput dari tradisi kritis. Seakan-akan, sebagai kelaziman, selalu ada semacam partikularitas—tentu penting, tetapi tetap sekunder—yang menyembunyikan keseluruhan pola relasi kekuasaan kesusastraan.
Bentuk keunggulan sastra ini—yang begitu tidak lazim, begitu sulit digambarkan, begitu paradoksikal—dalam beberapa situasi bisa menghadirkan sebuah pembebasan, dibandingkan dengan kerangkeng estetis, atau estetis-politis, ruang-ruang arkaik yang tertutup bagi inovasi. Kekuatan dari bentuk unggul tersebut berlaku atas setiap teks, setiap penulis di dunia, apa pun posisi mereka dan sejelas apa pun kesadaran mereka tentang mekanisme dominasi kesusastraan; tetapi yang lebih penting lagi, atas mereka yang berasal dari sebuah ruang sastra yang tak punya otonomi atau yang terletak di salah satu daerah subordinat Dunia Sastra.
Meski begitu, efek penobatan oleh pemegang otoritas sentral bisa begitu kuat hingga bagi penulis-penulis tertentu dari pinggiran yang meraih pengakuan penuh bisa timbul ilusi bahwa struktur dominasi sama sekali sudah lenyap; yang membuat mereka memandang diri sebagai bukti hidup dari pembentukan sebuah ‘tata kesusastraan dunia’ baru. Sambil menguniversalkan apa yang khusus dari kasus mereka, mereka menyatakan bahwa kita sedang menyaksikan pembalikan total dan final atas perimbangan kekuasaan antara pusat dan pinggiran. Carlos Fuentes, misalnya, menulis dalam The Geography of the Novel:

Eurosentrisme lama sudah ditekuk oleh sebuah polisentrisme yang ... niscaya menuntun
kita menuju ke sebuah ‘pengaktifan aneka perbedaan’ sebagai kondisi umum dari sebuah
kemanusiaan yang sentral ... Sastra dunia Goethe akhirnya mendapatkan maknanya yang
tepat: ia adalah sastra perbedaan, narasi keanekaragaman yang bertemu di satu dunia ...
Satu dunia, dengan banyak suara. Konstelasi-konstelasi baru yang secara bersama-sama
membentuk geografi novel adalah konstelasi yang beraneka dan terus berubah.27

Semangat multikulturalis yang berkobar telah mendorong pihak-pihak lain menyatakan bahwa hubungan antara pusat dan pinggiran kini sudah berbalik secara radikal, dan bahwa untuk selanjutnya dunia pinggiran akan menempati posisi sentral. Dalam kenyataan, efek dari dongeng hibrid yang menenangkan kegelisahan ini adalah mendepolitisasi relasi-relasi kesusastraan, melanggengkan legenda pesona kesusastraan besar dan melucuti para penulis dari pinggiran yang mengupayakan strategi pengakuan yang bakal subversif dan efektif.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)