Sastra Sebagai Sebuah Dunia (1)
Oleh: Pascale Casanova
Pelanggan: Tuhan
membuat dunia hanya dalam enam hari, dan kamu ... kamu bahkan
tak bisa membuatkanku
celana panjang dalam enam bulan!
Penjahit: Tapi,
Tuan, lihatlah apa yang terjadi pada dunia, lalu lihatlah celana
Anda.
dikutip oleh Samuel Beckett
Jauh, jauh darimu sejarah
dunia membentang, sejarah dunia jiwamu.
Franz Kafka
Tiga pertanyaan.
Mungkinkah menjalin kembali ikatan yang sudah hilang antara sastra,
sejarah dan dunia, sambil tetap memelihara pengertian penuh tentang
keunikan teks-teks sastra yang mustahil ditawar? Kedua, bisakah
sastra itu sendiri dipahami sebagai sebuah dunia? Kalau bisa,
mungkinkah penjelajahan atas wilayahnya akan membantu kita menjawab
pertanyaan nomor satu?
Dirumuskan secara lain: mungkinkah menemukan sarana-sarana konseptual
yang bisa dipakai untuk menandingi postulat sentral kritik sastra
internal berbasis teks—keterpenggalan total antara teks dan dunia?
Bisakah kita mengusulkan suatu perangkat teoretis dan praktis yang
sanggup melawan prinsip baku otonomi teks, atau independensi yang
dianggap melekat pada wilayah linguistik? Sampai sekarang
jawaban-jawaban yang diberikan bagi pertanyaan krusial ini, antara
lain dari teori pascakolonial, bagi saya nampak hanya membangun
kaitan terbatas antara dua domain yang diandaikan tak terbandingkan.
Pascakolonialisme mengasumsikan adanya sebuah kaitan langsung antara
sastra dan sejarah, kaitan yang semata-mata berwatak politis. Dari
sini, ia beranjak menuju sebuah kritik eksternal yang berisiko
mereduksi sastra menjadi politis semata, melakukan serangkaian
aneksasi atau potong kompas, dan sering diam-diam mengabaikan
estetika aktual, karakteristik formal atau stilistik yang
sesungguhnya ‘membentuk’ sastra.
Saya
ingin mengajukan sebuah hipotesis yang akan bergerak melampaui
pembagian antara kritik internal dan eksternal ini. Kita anggap saja
ada sebuah ruang mediasi antara sastra dan dunia: sebuah wilayah
paralel, relatif otonom dari domain politik, dan dikhususkan untuk
berbagai pertanyaan, perdebatan, penciptaan sebuah alam yang khas
sastra. Di sini, segala macam pertarungan—politis, sosial,
nasional, gender, etnis—dibiaskan, dicairkan, dibongkar dan diubah
menurut sebuah logika kesusastraan, dan dalam bentuk-bentuk
kesusastraan. Bertolak dari hipotesis ini, sambil berupaya
membayangkan semua konsekuensi teoretis dan praktisnya, kita bisa
mulai menempuh sebuah perjalanan kritik yang bersifat internal maupun
eksternal; dengan kata lain, sebuah kritik yang bisa memberikan
penjelasan tunggal tentang, katakanlah, evolusi bentuk-bentuk puitis,
atau estetika novel, dan hubungannya dengan dunia politik, ekonomi
dan sosial—termasuk menerangkan bagaimana, dengan proses amat
panjang (bahkan historis), jalinan itu mulai retak di daerah-daerah
paling otonom di ruang antara ini.
Jadi:
ada sebuah dunia yang lain, yang pembagian dan
perbatasan-perbatasannya relatif mandiri dari batas-batas politik dan
linguistik. Dengan hukum-hukumnya sendiri, sejarahnya sendiri,
pergolakan dan revolusi khasnya, ia adalah sebuah pasar di mana
nilai-nilai non-pasar diperdagangkan, dalam sebuah perekonomian
non-ekonomi; dan dinilai, sebagaimana akan kita saksikan, dengan
sebuah timbangan estetis waktu. Umumnya Dunia Sastra ini bergerak tak
kasatmata, kecuali bagi mereka yang berada sangat jauh dari
pusat-pusatnya dan terhalang dari sumber daya-sumber dayanya;
merekalah yang bisa melihat lebih jelas bentuk-bentuk kekerasan dan
dominasi yang beroperasi di dalamnya.
Kita
sebut saja kawasan mediasi ini ‘ruang kesusastraan dunia’.
Sebetulnya ini tidak lebih dari alat yang harus diuji dengan
penelitian konkret, sebuah instrumen yang bisa memberikan penjelasan
tentang logika dan sejarah sastra, tanpa harus terjatuh ke dalam
perangkap otonomi total. Ini juga merupakan sebuah ‘model
hipotesis’ dalam pengertian Chomsky—sekumpulan pernyataan yang
elaborasinya (sekalipun berisiko) bisa membantu dirinya sendiri
merumuskan objek deskripsi secara lebih baik; yakni, seperangkat
proposisi yang koheren secara internal.1 Bertolak dari
sebuah model, akan lahir sebuah kebebasan tertentu dari sesuatu yang
“diterima begitu saja”. Selain itu, hal tersebut memberi kita
peluang mengkonstruksi setiap kasus baru; dan setiap kasus itu
menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa eksis dalam isolasi, sebab ia
adalah sebuah peristiwa khusus dari sesuatu yang mungkin, sebuah
unsur dalam sebuah kelompok atau keluarga, yang tidak bisa kita lihat
tanpa merumuskan terlebih dahulu sebuah model abstrak dari segala hal
yang mungkin.
Alat
konseptual ini bukan ‘sastra dunia’ itu sendiri—yaitu
sekumpulan sastra berskala dunia, yang dokumentasi dan eksistensinya
sekalipun sebenarnya masih tetap problematis—melainkan sebuah
ruang: seperangkat posisi kait-mengait, yang harus dipikirkan
dan dipaparkan dalam batasan relasional. Yang dipersoalkan bukan
modalitas untuk menganalisis sastra dalam skala dunia, tetapi sarana
konseptual untuk memikirkan sastra sebagai sebuah dunia.
Dalam
kisahnya, ‘The Figure in the Carpet’—ditulis sangat baik untuk
mengangkat soal penafisran dalam sastra—Henry James menggunakan
metafora bagus permadani Persia. Dipandang sekilas atau terlalu
dekat, permadani itu hanya menampilkan jalinan kusut corak dan warna
sembarangan yang tak terurai; tetapi dari sudut yang tepat, serta
merta karpet itu menyodori pengamat yang cermat ‘kombinasi pas’
dari ‘kompleksitas yang menakjubkan’—serangkaian motif tertata
yang hanya bisa dipahami dalam hubungan satu sama lain, dan itu hanya
terlihat ketika dipahami dalam totalitas, dalam saling ketergantungan
dan interaksi timbal balik rangkaian itu.2 Setelah dilihat
sebagai sebuah konfigurasi—meminjam istilah Foucault dalam Les
Mots et les choses—yang menyusun corak dan warna, maka barulah
keberaturan, variasi, repetisi karpet itu bisa dipahami; koherensinya
maupun hubungan-hubungan internalnya. Tiap gambar hanya bisa
dimengerti sehubungan dengan posisi yang ditempati dalam keseluruhan,
dan kesalingterkaitannya dengan gambar-gambar lainnya.
Metafora
karpet Persia itu meringkas dengan sempurna pendekatan yang
dikemukakan di sini: menggunakan sebuah perspektif berbeda, menggeser
sudut pandang lazim dalam melihat sastra. Tidak melulu memusatkan
perhatian pada koherensi global karpet, melainkan lebih menunjukkan
bahwa, bertolak dari sebuah pemahaman atas pola keseluruhan desain,
dimungkinkan memahami setiap motif, setiap warna dalam setiap detail
terkecil; jelasnya, setiap teks, setiap pengarang, berdasarkan
kedudukan relatif mereka dalam struktur yang sangat besar ini. Maka
tujuan saya adalah mengembalikan koherensi struktur global di mana
teks terlihat, dan yang hanya bisa dilihat dengan menempuh rute yang
nampaknya paling jauh: melalui wilayah luas tak kasatmata yang saya
sebut ‘Republik Sastra Dunia’. Tetapi ini dilakukan hanya untuk
kembali ke teks-teks itu sendiri, dan untuk menyediakan alat baru
dalam membaca mereka.
Kelahiran Sebuah
Dunia
Ruang sastra ini tentu tidak menyeruak begitu saja dengan
konfigurasinya yang sekarang ini. Ia muncul sebagai produk sebuah
proses historis, lalu tumbuh secara progresif menjadi lebih otonom.
Tanpa mengungkap detail, bisa kita katakan ruang itu muncul di Eropa
pada abad ke-16. Prancis dan Inggris membentuk daerah-daerah
tertuanya. Ruang itu dimantapkan dan diperluas ke Eropa tengah dan
timur pada abad ke-18 dan khususnya pada abad ke-19, didorong oleh
teori kebangsaan Herderian. Ruang itu mengembang selama abad ke-20,
terutama lewat proses dekolonisasi yang terus berlangsung. Berbagai
manifesto yang memproklamirkan hak eksistensi atau kemerdekaan sastra
terus bermunculan, sering terkait dengan gerakan nasional penentuan
nasib sendiri. Walaupun ruang sastra boleh dikata terwujud di
mana-mana di dunia, unifikasinya di seluruh planet masih jauh dari
rampung.
Mekanisme
berfungsinya semesta sastra ini berlawanan secara diametral dengan
yang umumnya dipahami sebagai ‘globalisasi sastra’—lebih pas
didefinisikan sebagai penggelembungan jangka pendek keuntungan
penerbit di pusat-pusat yang kuat dan paling berorientasi pasar
melalui pemasaran produk-produk yang ditujukan bagi sirkulasi
‘de-nasionalisasi’ yang cepat.3 Kesuksesan buku jenis
ini di lapisan terdidik Barat—merepresentasikan tidak lebih dari
pergeseran sastra stasiun kereta api ke sastra bandara—menyuburkan
keyakinan tentang adanya proses berkelanjutan penjinakan sastra:
normalisasi dan standardisasi progresif berbagai tema, bentuk, bahasa
dan jenis cerita di seluruh permukaan bumi. Pada kenyataannya,
ketimpangan struktural dalam dunia sastra memunculkan serangkaian
pergumulan, persaingan dan pertentangan spesifik atas sastra itu
sendiri. Justru lewat benturan-benturan inilah proses unifikasi
berkesinambungan ruang sastra menjadi terlihat.
Stockholm dan
Greenwich
Salah satu indikator objektif eksistensi ruang sastra dunia ini
adalah kepercayaan yang (nyaris) bulat pada universalitas Hadiah
Nobel untuk sastra. Signifikansi yang disandangkan pada penghargaan
ini, diplomasi ganjil yang terlibat di dalamnya, harapan-harapan
nasional yang ditimbulkannya, popularitas kolosal yang disodorkannya;
bahkan (yang terpenting?) kritik tahunan terhadap juri Swedia yang
dianggap tidak objektif, dugaan prasangka-prasangka politisnya,
kekeliruan estetisnya—semuanya berjalinan menjadikan kanonisasi
tahunan ini sebagai sebuah hajatan global bagi para pelaku ruang
sastra. Saat ini Hadiah Nobel adalah salah satu dari segelintir
penobatan kesusastraan internasional yang sebenar-benarnya, sebuah
laboratorium unik bagi penamaan dan definisi atas apa yang universal
dalam sastra.4 Gaung yang diciptakannya setiap tahun,
harapan-harapan yang timbul, keyakinan-keyakinan yang menggugah
semuanya, meneguhkan kembali eksistensi sebuah dunia sastra yang
merentang nyaris menjangkau seluruh planet ini, dengan mode
perayaannya sendiri, yang otonom—tidak terikat, atau
setidak-tidaknya tidak terikat langsung, pada kriteria politis,
linguistik, nasional, nasionalis atau komersial—dan global. Dalam
pengertian ini, Hadiah Nobel adalah indikator primer objektif
eksistensi sebuah ruang sastra dunia.5
Indikator
lain—lebih tidak mudah diamati—adalah keberadaan sebuah ukuran
spesifik waktu, yang berlaku umum bagi semua pemain. Setiap pendatang
baru sejak awal harus memahami sebuah titik referensi, sebuah norma
yang akan dipakai untuk mengukurnya; semua posisi terletak secara
relatif dari pusat di mana kekinian sastra ditetapkan. Saya usulkan
untuk menyebut itu Garis Bujur Greenwich sastra. Persis seperti garis
imajiner geografis itu yang, meski dipilih secara manasuka guna
menetapkan garis-garis bujur, telah menyumbang bagi pengorganisasian
riil dunia dan memungkinkan pengukuran jarak serta perkiraan posisi
di seluruh permukaan bumi, begitu pula garis bujur kesusastraan
memungkinkan kita mengira-ngira jarak dari pusat protagonis dalam
ruang sastra. Inilah tempat di mana pengukuran waktu
kesuasastraan—tegasnya, penilaian modernitas
estetis—dikristalisasi, dipertanyakan, dielaborasi. Yang dianggap
modern di tempat ini, pada momen tertentu, akan dinyatakan sebagai
‘kini’: teks-teks itu akan “menjadi penanda”, mampu
memodifikasi norma-norma estetis yang berlaku. Karya-karya itu
berfungsi, untuk sementara sekurang-kurangnya, sebagai unit
pengukuran dalam sebuah kronologi spesifik, model-model perbandingan
bagi produksi-produksi berikutnya.
Ditabalkan
sebagai ‘modern’ adalah salah satu bentuk pengakuan paling sulit
bagi para penulis di luar pusat, dan ini sungguh persaingan yang
keras dan getir. Octavio Paz dengan cemerlang memaparkan perjuangan
aneh ini dalam pidato penerimaan Hadiah Nobelnya, yang berjudul, pas
sekali, Mencari Yang Kini (In Search of the Present). Dia
menggambarkan perjalanan personal dan puitisnya sebagai sebuah
pencarian gila-gilaan—dan sukses, sebagaimana dikukuhkan dengan
penerimaan penghargaan tertinggi sastra itu—sebuah kekinian
kesusastraan, yang dari situ pagi-pagi sudah disadarinya bahwa,
sebagai orang Meksiko, secara sruktural dia amat jauh.6
Teks-teks yang dianugerahi status modern menciptakan kronologi
sejarah kesusastraan, menurut sebuah logika yang bisa sangat berbeda
dari yang berlaku di dunia sosial lainnya. Misalnya, ketika Ulysses
Joyce dinobatkan sebagai sebuah karya ‘modern’ oleh terjemahan
bahasa Perancis Valéri Larbaud tahun 1929, lalu menangguk berbagai
ulasan dan perhatian kritis yang sebelum itu selalu menjauh dalam
bahasa Inggris, ia lantas menjadi—dan tetap demikian, di
daerah-daerah tertentu ruang kesusastraan—salah satu pengukur
modernitas novel.
Temporalitas
Modernitas adalah, tentu saja, sebuah entitas yang tidak stabil:
sebuah lokus pertarungan permanen, sebuah penetapan yang kurang
lebihnya disuratkan akan cepat kedaluwarsa, dan merupakan salah satu
prinsip perubahan di jantung ruang kesusastraan dunia. Siapa saja
yang menghendaki modernitas, atau yang berusaha meraih kendali
monopoli atas atribusinya, maka ia terlibat dalam klasifikasi dan
de-klasifikasi konstan karya—di mana teks gampang menjadi bekas
modern atau klasik baru. Penggunaan berulang-ulang metafora temporal
dalam kritik, misalnya dengan enteng menyatakan karya sebagai
‘ketinggalan zaman’ atau ‘tidak mode’, arkaik atau inovatif,
anakronistis atau dijiwai ‘semangat zaman’, merupakan salah satu
tanda paling jelas dari berfungsinya mekanisme-mekanisme tersebut.
Ini menjelaskan, setidak-tidaknya untuk sebagian, latar permanennya
istilah ‘modernitas’ dalam gerakan dan proklamasi kesusastraan
sekurang-kurangnya sejak 1850—dari modernisme berlainan Eropa dan
Amerika Latin, lewat futurisme Italia dan Rusia, hingga beraneka
ragam posmodernisme. Tak terbilang klaim atas ‘kebaruan’—‘Nouveau
Roman’, ‘Nouvelle Vague’ dan lain sebagainya—itu semua
menganut prinsip yang sama.
Karena
kegoyahan inheren prinsip ‘modernitas’, sebuah karya yang
dinyatakan modern disuratkan menjadi ketinggalan zaman kecuali kalau
ia dinaikkan ke kategori ‘klasik’. Melalui proses ini, sebagian
karya bisa lolos dari perubahan mendadak pendapat dan perselisihan
menyangkut nilai realtif mereka. Dalam jagat kesusastraan, sebuah
karya klasik berada di atas persaingan temporal (dan ketimpangan
spasial). Di lain pihak, praktek-praktek yang jauh dari kekinian
kesusastraan, yang tentunya dibentuk oleh keseluruhan sistem
penobatan di pusat, akan dinyatakan sangat ketinggalan zaman.
Misalnya, novel naturalis masih diproduksi di zona-zona terjauh dari
Garis Bujur Greenwich (entah itu ruang-ruang kesusastraan pinggiran
atau daerah-daerah paling komersial pusat), walaupun itu sudah lama
tidak dianggap ‘modern’ oleh berbagai otoritas otonom. Kritikus
Brazil Antonio Candido menyatakan:
yang perlu diperhatikan di Amerika Latin adalah bagaimana karya-karya
yang anakronis bisa secara estetis dianggap sahih ... Inilah yang
terjadi dengan naturalisme dalam novel, yang tiba agak terlambat dan
yang tetap mempertahankan diri hingga sekarang tanpa keterputusan
mendasar dalam kontinuitas ... Sehingga, ketika naturalisme sudah
menjadi sekadar sisa-sisa sebuah genre ketinggalan zaman di Eropa, di
antara kita ia masih bisa menjadi unsur formula sastra yang sah,
seperti novel sosial 1930-an dan 40-an.7
Pertarungan estetis-temporal macam ini sering dilangsungkan lewat
perantaraan pihak-pihak yang punya kepentingan dalam ‘penemuan’
pengarang dari luar negeri. Ibsen, orang Norwegia itu, dinobatkan
sebagai salah satu dramawan terbesar Eropa kurang lebih secara
serempak di Paris dan London, sekitar tahun 1890. Karyanya, diberi
label ‘realis’, menjungkirbalikkan semua praktek teatrikal,
penulisan, dekorasi, bahasa dan dialog, mendorong lahirnya revolusi
orisinal dalam teater Eropa. Penobatan internasional penulis lakon
dari sebuah negara yang belum lama merdeka, yang bahasanya jarang
dipakai (dan karena itu jarang diterjemahkan) di Perancis dan
Inggris, dipastikan lewat tindakan beberapa perantara—Bernard Shaw
di London, André Antoine dan Lugné-Poe di Paris. Mereka ini punya
rencana sendiri ‘memodernkan’ teater di negeri mereka
masing-masing, melampaui kepengapan, menetapkan norma-norma
vaudeville dan drama borjuis yang berlaku di London dan Paris, dan
mencuatkan nama mereka sebagai dramawan dan produser.8 Di
Dublin tahun 1900, Joyce pada gilirannya memanfaatkan estetika
cemerlang dan kebaruan tematik karya Ibsen itu dalam pertarungan
melawan teater Irlandia, yang dalam pandangannya, terancam hendak
menjadi ‘terlalu Irlandia’.
Hal
yang persis sama berlaku pada Faulkner. Setelah disanjung-sanjung
sejak 1930-an sebagai salah seorang novelis paling inovatif abad itu,
9 Faulkner menjadi ukuran inovasi novel setelah menerima Hadiah Nobel
pada tahun 1950. Menyusul penobatan internasionalnya, karya Faulkner
memainkan peran ‘akselerasi temporal’ untuk banyak sekali novelis
dari periode berbeda, di negara-negara yang secara struktural bisa
dibandingkan, dalam hal ekonomi dan kultural, dengan Amerika Selatan.
Semuanya menyatakan secara terbuka pemanfaatan mereka
(setidak-tidaknya dalam pengertian teknis) akselerator Faulkenrian
ini. Di antara novelis itu adalah Jean Benet di Spanyol tahun
1950-an, Gabriel García Márquez di Kolombia dan Mario Vargas Llosa
di Peru pada tahun 1950-an, Kateb Yacine di Aljazair tahun 1960-an,
António Lobo-Antunes di Portugal tahun 1970-an, Edouard Glissant di
Antilles Perancis tahun 1980-an, dan sebagainya.
Comments
Post a Comment